Bab 1: Rapor Semester Ganjil

36 13 24
                                    

"Ayah, besok ada acara pembagian rapor, semua murid harus bawa orang tua nya. Ayah bisa datang, kan, besok?" tanya Gadis cantik yang masih memakai seragam sekolah itu, dia baru pulang dari sekolah. Tadi Gurunya memberikan lembaran yang tidak lain adalah, surat undangan untuk Wali Murid agar datang pada acara pembagian rapor.

"Tentu, Zahra. Ayah pasti akan datang untuk mengambil raport Kamu," jawab Ruslan, ayah dari gadis bernama Syakilla Az-Zahra. Pria paruh baya itu memberikan senyuman termanisnya pada Putri Kesayangannya.

"Ayah emang terbaik deh." Zahra terkekeh sambil memeluk Ruslan dari samping. Posisi mereka sekarang sedang duduk di kursi kayu yang berhadapan dengan televisi kecil.

Ruslan mengelus puncak kepala Zahra dengan sayang. "Ganti baju dulu, gih!" titahnya yang langsung dilaksanakan oleh Zahra.

Keesokan harinya, pukul 06.30 WIB. Zahra sudah siap dengan pakaian seragam yang melekat rapih ada tubuh gadis itu. Dia melangkahkan kakinya keluar kamar dan berjalan menuju dapur. Dillihatnya tidak ada siapapun. Ruslan sepertinya masih di kamar mandi, karena terdengar suara keran air dari kamar mandi yang berada sebelah kiri dapur tersebut.

Gadis itu lantas berjalan menuju rice cooker dan membukanya, nasi masih ada sisa semalam. Dia menuju rak, dibukanya pintu rak tersebut lalau mengambil bawang merah dan garam untuk membuat nasi goreng. Zahra pun mulai menyiapkan bahan untuk membuat nasi goreng tersebut dengan telaten. Saat dia mencoba menyalakan kompor, benda itu malah tidak mau menyala, dia mencobanya berulang kali, tapi tetap saja tidak bisa.

Ctek! Ctek!

"Ya Allah, apa gasnya abis, ya?" tanya nya pada diri sendiri. Mencoba menyalakan kompor itu lagi, tapi tetap saja hasilnya sama.

"Ada apa, Nak?"

Suara Ruslan tersebut membuat Zahra mengalihkan atensinya. Disana terlihat Ruslan yang baru keluar dari kamar mandi, dengan handuk yang melilit di pinggangnya. "Ini loh, Yah. Kompornya gak mau nyala," adu Zahra.

Ruslan berjalan menuju tempat Zahra berdiri. Dia mengambil alih posisi gadis itu, untuk mencoba menyalakan kompor.

Ctek! Ctek!

Ruslan sudah mencobanya berulang kali, tapi memang tidak mau menyala. Dia lantas berjongkok, sedikit menarik tabung gasnya, melirik regulator yang tertempel pada tabung tersebut. Jarum yang berada disana menunjuk ke warna merah, yang artinya gas di dalam tabung tersebut sudah habis. "Gas nya sudah habis, Nak. Memang kamu mau apa?"

Mendengar itu, bahu Zahra merosot kebawah. "Yaah... Padahal tadinya mau bikin nasi goreng," jelas gadis itu.

"Hm, biar Ayah beli kerupuk dulu, buat kita sarapan," ucap Ruslan sambil tersenyum pada Zahra.

"Biar Zahra aja yang beli, Ayah pake baju aja ya. Soalnya hari ini suruh pagi ke sekolah nya," kata gadis itu. Dia pun pergi ke warung dekat rumahnya.

***

"Huh, Ayah! Zahra degdegan deh, takut nilainya jelek gimana?" resah Zahra setelah mereka sampai di sekolah. Meski nilainya 2 tahun kemarin selalu bagus, tapi tetap saja gadis itu takut. Apalagi ini kelas akhir, penentuan dirinya akan lulus atau tidak nanti.

Ruslan mengelus puncak kepala Zahra yang terbalut hijab putih itu dengan lembut, mencoba menenangkan putrinya. "Ayah yakin seratus persen kalo nilai kamu pasti bagus. Kamu selalu belajar dengan tekun, usahamu in syaa allah tidak akan mengkhianati hasil."

Zahra mengangguk, semoga saja begitu. Zahra benar-benar menginginkan nilai yang terbaik, karena itu yang akan mementukan dia bisa lanjut sekolah atau tidak. Jika nilai raportnya bagus, Zahra masih ada peluang untuk bisa melanjutkan pendidikannya ke SMA dengan bantuan beasiswa tentunya.

Zahra dan Ruslan memasuki ruang kelas dan mencari tempat duduk yang kosong. Tidak lama setelah itu Bu Rani-Wali Kelas IX B juga terlihat masuk ke ruangan.

Bu Rani duduk menempati kursi yang sudah disediakan, dia mengarahkan matanya pada semua orang yang berada dikelas. "Baiklah, Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, selamat pagi semuanya!" sapa Bu Rani.

Para orang tua dan murid menjawab kalimat tuturan dari Bu Rani. Mereka sedikit berbasa-basi terlebih dahulu sebelum membahas inti dari pertemuan hari ini.

"Sebelum saya membagikan raportnya, saya akan mengumumkan beberapa nama siswa dan siswi berprestasi di kelas ini. Saya akui bahwa dikelas ini memang rata-rata semua memiliki nilai yang baik, sampai saya pun benar-benar takjub pada anak-anak dikelas ini." Bu Rani tersenyum, Guru itu melirik kertas yang dipegangnya sebelum lanjut berbicara, "Namun, ada sepuluh orang yang akan saya sebutkan namanya, mereka adalah siswa dan siswi yang nilainya paling tinggi. Bagi yang merasa namanya terpanggil, silahkan maju ya."

"Ibu panggil dari urutan ke 10 dulu ya... Di urutan ke 10, ada Nurul Aini dengan rata-rata nilai 87,9!"

Siswi yang namanya baru saja disebutkan itu maju dengan senyuman merekah. Ibunya yang datang pun ikut senang dengan bertepuk tangan.

Bu Rani terus menyebutkan nama-nama siswa dan siswi berprestasi dikelas itu. Hingga pada pada saat akan menyebutkan 1 nama lagi, guru itu melirik pada semua orang. "Nah sekarang, yang menempati peringkat pertama. Dia adalah Syakilla Az-Zahra dengan rata-rata nilai 92,6!"

Zahra yang mendengar itu tidak bisa untuk tidak memeluk Ayahnya, yang berada disampingnya. "Ayah bilang juga apa! Sana maju!" Dengan langkah penuh semangat, dia maju ke depan.

"Ibu ucapin selamat sama kalian ya, terus tingkatkan prestasi yang kalian punya." Bu Rani memberikan selamat juga nasihat kepada murid-muridnya. Guru cantik dengan jilbab hitam itu mengalungkan satu persatu medali dan memberikan sertifikat apresiasi pada 10 murid tersebut.

Setelah acara pemberian penghargaan dan pembagian raport selesai, Zahra berjalan beriringan bersama Ruslan untuk pulang. Mereka melewati koridor dengan diiringi ucapan bangga Ruslan atas prestasi yang dimiliki Zahra. "Ayah bangga sama kamu! Kamu keren! Ayah bersyukur punya anak sepertimu, Nak. Terima kasih ya, kamu selalu saja bisa membanggakan Ayah. Ayah benar-benar merasa beruntung!"

Pujian yang terus terdengar dari pita suara Ruslan, benar-benar membuat Zahra terharu. Dia merasa sangat beruntung sekali memiliki Ayah seperti Ruslan, yang selalu membanggakan anaknya setiap saat. Karena ada orang tua yang terlihat biasa saja bahkan tidak peduli saat anaknya meraih prestasi. Hanya sekedar mengucapkan kata 'Selamat' namun setelah itu mereka seakan melupakannya. Ada juga yang terus menuntut anaknya agar bisa mendapatkan lebih, mereka tidak berpikir betapa sakitnya hati seorang anak ketika prestasinya dihadiahi kalimat 'Baru juga segitu' dan sebagainya.

"Makasih Ayah! Ini semua juga berkat Ayah. Zahra gak bisa mencapai ini semua, tanpa do'a dan restu dari Ayah. Makasih ya, Ayah!" ucap Zahra.

Ruslan menghentikan langkahnya dan menggelengkan kepalanya. "Loh.. Loh.. Loh... Kok malah berkat Ayah sih. Enggak dong, Nak. Ini semua itu berkat kerja keras kamu! Kamu selalu berusaha melakukan yang terbaik selama ini, dan benda ini..." Ruslan memegang medali yang menggantung di leher Zahra. "Memang berhak kamu dapatkan, sebagai hadiah untuk semua yang udah kamu lakukan."

Ruslan memang selalu seperti itu. Baginya keberhasilan yang diraih oleh putrinya adalah murni dari apa yang dia telah lakukan. Tentunya, dengan campur tangan Sang Pemilik Semesta, yang mampu memberikan apapun pada hamba-hambanya.

Saat mereka melewati Ruang Guru, terdengar suara Bu Rani memanggil nama Zahra. "Zahra tunggu!"

***

Kalian kalo abis dapet prestasi (akademik ataupun non akademik), biasa dibanggain atau biasa aja? :)

Kira-kira kenapa Bu Rani manggil Zahra?

Jangan lupa vote, komen, dan share!

Ig: jasjusolen_

Minggu, 02 April 2023

JasjusOlen ❤

Az-Zahra: Kesalahan yang Tidak DisesaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang