Bagian Sembilan

37 8 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Duduk! Lupa Banget Buat Planning Cadangan!


Sore hari adalah waktu untuk yang kebagian shft pagi pulang. Sudah ada Puput , ari, dan bela. Giilang sudah pulang tadi terlebih dahulu.

“Ki, tolong ambilin stok air mineral di gudang. Lagi kosong di rak.” Pinta Dilya. Ia sengaja meminta Kiki , karena ada yang harus ia lakukan dengan perempuan itu.

“Merk apa, Mbak ?”

“Aqua yang kecil.”

“Oke.”

Bela yang melihat Dilya bangkit dari duduknya di bawah meja kasir bertanya, “Mau kemana, Mbak ?”

“Ke gudang.”

Bela menatap tak mengerti, bukankah Dilya tadi sudah memerintahkan Kiki ? Lalu buat apa KTnya itu ke gudang lagi.

“Ketemu, Ki?” pertanyaan yang sukses mengagetkan Kiki .

Kiki mengusap dadanya untuk mengusir keterkejutan. “Udah, Mbak. Ini.” Kiki  menunjuk kardus di samping kakinya.

Ketika Kiki  akan mengangkat kardus itu, Dilya melarang. “Tunggu bentar, Ki.”

Kiki menegakkan tubuh dan menatap Dilya bingung. “Ya, kenapa, Mbak ?”

“Siapa?”

Pertanyaan Dilya membuat Kiki  bingung. “Siapa apa. Mbak ?” tanya balik Kiki .

“Siapa laki-laki itu?” mereka berdiri berhadap-hadapan di bawah remangnya pencahayaan di gudang.

Kiki semakin bingung. “Laki-laki mana, Mbak ?”

Satu sudut bibir Dilya terangkat membentuk senyum sinis. Ia membuka ponsel dan menunjukkan sebuah foto yang berhasil diabadikan oleh Adrean  dan menampilkan wajah Kiki  dan sosok yang mencuri di toko selama ini.

Dilya tak pernah berani menatap muka mayat selama ini, tapi pucatnya wajah Kiki  mungkin hampir sama. Wanita itu tampak membeku, sebelum berusaha mengelak dengan terbata, “I-itu si-siapa?”

“Itu kamu, ‘kan? Sama pacar kamu?” tutur Dilya lugas.

“Mbak ngomong apa sih, itu bukan aku. Kebetulan aja mirip.” Kiki  masih mencoba mengelak. “Udah ah, Mbak . Aku mau pulang dulu.”

Tangan Kiki  segera Dilya tangkap sebelum gadis itu kabur. “Yakin itu bukan kamu? Lalu ini apa?” Dilya menunjukan video singkat, jelas-jelas itu Kiki .

“Itu bukan aku, Mbak .”

Masih mencoba mengelak. “Kalau bukan kamu, terus kenapa kamu hapus rekaman CCTV tadi siang kalau bukan buat hilangin bukti kejahatan kamu.”

Pegangan Dilya pada lengan Kiki  segera di sentak wanita itu. “Mbak jangan asal nuduh kalau enggak ada bukti!” ujar Kiki  dengan nada suara yang mulai tinggi.

Memasang senyum sinis dan menatap Kiki  tajam, Dilya berujar tajam, “Jangan kamu kira kamu sudah menghapus rekaman CCTV itu maka kamu akan lolos kali ini, kamu enak menikmati hasil curian dengan pacar kamu sedangkan kita di sini mati-matian potong gaji buat bayar minus. Di mana hati nurani kamu, enggak mikir kalau rekan-rekan yang lain itu punya banyak tanggungan?!”

“Aku enggak kenal sama cowok itu, dan aku enggak nyuri barang!” Kiki  adalah gadis yang keras kepala rupanya, pertahanan dirinya sangat kukuh.

“Mau kamu mengelak bagaimanapun, kalau bukti sudah saya kantongi kamu akan tertangkap juga.”

Tatapn Kiki  berubah dari seorang korban fitnah menjadi sosok yang penuh kebencian. “Siniin hape nya!” desisnya.

Dilya seketika waspada dan menjauhkan ponselnya ketika Kiki  hendak menjangkaunya. “Jangan terlalu berharap. Kamu duduk diam aja dan tunggu polisi datang. Kecuali, kamu mau mengaku dan meminta maaf. Perusahaan mungkin akan memproses ini dengan baik.”

Entah penglihatan Dilya yang salah atau memang ekspresi Kiki  berubah menggelap. “Siniiin hapenya!” sentaknya dengan tangan yang terulur ke belakang tubuh Dilya. Kedua saling mendorong. Dilya terus mendorong Kiki  agar menjauh dan begitupun sebaliknya, Kiki  terus mendorong Dilya ke belakang agar bisa menjangkau ponsel itu.

“Siniin hapenya!”

“Enggak! Sebelum elo bersedia ngaku!”

“Argh!”

Kiki melihat di belakang Dilya adalah tumpukan kardus minyak goreng. Ia sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. Kejahatannya telah terbongkar, bila bideo itu sampai ke tangan polisi maka sudah pasti ia akan tertangkap. Karena sosok yang ada di video itu memang dirinya, dan laki-laki itu adalah kekasihnya. Setidaknya bila bukti itu hilang maka ia akan selamat. Ponsel itu harus ia ambil.

Dengan segenap tenaga Kiki  mendorong Dilya hingga membentur tumpukan kardus minyak goreng. Dilya yang tak siap kehilangan keseimbangan dan terjatuh, ponselnya membentur lantai dengan cukup keras hingga menyebabkan keretakan. Yang tidak keduanya kira, ada kardus yang baru diambil isinya satu pcs namun tidak diletakkan dengan benar. Posisinya agak kepinggir hingga ketika Dilya membentur kadus yang berada di bawah, kardus itu goyah dan jatuh.

“Aght!” Kiki  terbelalak dengan tubuh yang gemetar menyaksikan bagaimana kardus itu menimpa kepala Dilya sebelum jatuh ke bawah dengan isinya yang berceceran.
“Mbak Dilya? Kiki ? Ada apa?” Kiki  semakin panick ketika mendengar suara Puput  dari luar. Dalam keadaan gamang, Kiki  melihat ponsel Dilya yang tergeletak di lantai dan segera mengambilnya dan berlari meninggalkan Dilya yang meringis kesakitan.

“Ki? Ada apa?” Kiki  hampir menjatuhkan ponsel Dilya ketika berpapasan dengan Puput  tepat di persimpangan rak menuju gudang. Masih diserang panio ia justru mendrong rekannya itu hingga membentur lemari pendingin dan segera melarikan diri.

“Kiki!” sentak Puput  yang tak terima didorong seperti itu tanpa tahu apa salahnya.

Ari yang berjaga di kasir menatap Kiki  dengan bingung lantaran gadis itu berlari ketakutan. “Ki, kenapa?” tanyanya. Tapi wanita itu hanya menatapnya sekilas sebelum kemudian berlari terbirit-birit meninggalkan toko.

“Ari! Tolong!” jeritan Puput  yang menyerukan permintaan tolong membuat Ari dan Bela saling pandang sebelum keduanya menujur sumber suara.

Ketika Bela tiba di gudang, ia melihat Puput  yang berdiri dengan … mata Bela melotot melihat Dilya yang jatuh di antara kardus minyak goreng dan … dan … kepalanya berdarah. Ari yang melihat itu lebih cepat bereaksi dari para gadis. “Ini kenapa?” tanyanya panik.

Puput  menggeleng dengan ekpresi ketakutan yang kentara. “Enggak tahu, tadi aku dengar ada teriakan di sini. Terus Kiki  keluar, dia sempat dorong aku, enggak tahu kenapa. Pas aku masuk ke gudang, Mbak  Dilya udah kayak gitu,” jawabnya panik, takut disalahkan, takut Dilya kenapa-kenapa.

“Rumah sakit, Ri, rumah sakit!” Bela berteriak membuat Puput  dan Ari segera sadar.

Ari membopong tubuh Dilya yang masih setengah sadar di depan badan. “Aku sama Puput  akan bawa Mbak  Dilya, kamu jaga toko. Nanti hubungi Gilang suruh balik!” pinta Ari.

Ketika membopong Dilya ke luar toko, beberapa orang yang secara kebetulan lewat sana jadi tertarik. Mereka mengreubuni penjaga toko yang mengenakan seragam berwarna ungu itu.

“Enggak tahu, Pak, kenapa bisa gini,” jawab Puput  pada penjual cilok yang biasa nongkrong di depan toko.

Salah seorang ibu-ibu yang tadi akan berbelanja ikut panik melihat ada sesosok yang tergolek lemah dengan ringisan pelan yang keluar dari mulutnya. “Ayo naik mobil ibu saja, kita bawa mbaknya ke rumah sakit.” Ibu itu menggiring Ari dan Puput  menuju mobilnya yang terparkir di depan toko.

“Terima kasih, Bu,” ucap Puput  yang merasa sangat lega karenaa mereka tak perlu menunggu untuk mendapatkan kendaraan yang bisa membawa mereka ke rumah sakit.
Dilya mendengarkan semua percakapan orang-orang di sekitarnya. Hanya saja dikarenakan kepalanya yang pusing membuat dara itu memilih untuk memejamkan mata. Rasanya benar-benar luar biasa apalagi ujung dari kardus yang berat itu tepat mengenai kepalanya yang menjebabkan terjadinya pendarahan. Dan demi apapun, iu kardus berisi minyak dua liter! Jadi bagamana tidak sesakit ini.


***

Adrean  Panji Wiwardana saat ini menjabat sebagai general manajer di gedung algamaret. Sebuah jabatan yanag ia dapatkan bukan karena kakeknya adalah pemilik algamaret, tetapi karena ia memiliki kemampuan yang memumpuni setelah sebelumnya sempat merasakan bagaimana menjadi coordinator wilayah selama satu tahun, lalu menjadi kepala devisi perencaan, hingga sudah dua tahun ini menjadi general manajer. Dan bila tidak ada halangan, ia akan segera menggantikan sang ayah menjadi wakil direktur.

Laki-laki itu tengah menuju parkiran yang ada di basement gedung perkantoran. Tangannya memainkan ponsel, mencari kontak seseorang dan menghubunginya. Hal yang aneh, nomor tersebut tidak aktif. Mencoba peruntungan sekali lagi, hal yang sama terjadi; nomor yang anda tuju sedang tidak aktif.

Meletakkan ponsel di dekat parseneling, lelaki itu memilih untuk langsung menemui orang itu di tempat kerja. Perjalanannya diwarnai dengan pergerakan kendaraan yang mulai melamban karena jalanan mulai diramaikan oleh kendaraan lainnya. Bila tidak sedang melakukan rapat di kantor, ponsel Adrean  akan selalu dalam mode bersuara. Suara merdu dari Agnes Mo mengalun—bukan dia yang menyetel lagu itu. Itu … ulah Nyimas. Maksudnya Dilya, hanya saja Adrean  lebih suka menyebut perempuan itu dengan sebutan ‘Nyimas’

Menyambungkan earphone dan melajukan mobil agak ke tepi dengan kecepatan sedang, Adrean  segera menjawab panggilan telepon itu sebelum agnes mo sempat menyanyikan bagian reff.

Krisna Korwil Jaksel Memanggil

Bunyi dari ban yang dipaksa berhenti setelah berputar cukup cepat tanpa ada perlambatan terlabih dahulu terdengar. Di susul bunyi klakson dari salah satu kendaraan bermotor yang hampir menambrak bagian belakang mobil yang baru saja  lunas tiga bulan yang lalu. Untunglah pengendara motor itu tak terlalu acuh dan terus melajukan kendaraan roda duanya.

“Tadi elo bilang apa?”

“Dilya. Kepala toko di wilayah Kemang dilarikan ke rumah sakit karena mengamali cidera. Dari kesaksian temannya, ada indikasi penyerangan oleh sesama kru toko.” Suara Krisna  di seberang sana membuat Adrean  menggenggam kemudi dengan erat. Laki-laki itu, telah memberikan amanat pada lawan bicaranya  untuk mengawasi Dilya; bagaimana wanita itu di tempat kerja? apa masalah yang tengah wanita hadapi di toko?

“Lalu sekarang di mana dia?”

“Teman-temannya sudah membawa Dilya ke rumah sakit.”

“Kirimin alamatnya.”

“Oke.”

Sambungan terputus dan tak lama sebuah pesan yang menerangkan keberadaan Dilya saat ini. Tanpa menunggu lebih lama, Adrean  segera melajukan kendaraannya menuju tempat Dilya berada saat ini. Pantas saja saat lelaki itu menghubungi wanita itu, nomornya justru tidak aktif.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ahad, 16 Januari 2022

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ahad, 16 Januari 2022

Nah, loh, Kiki akhirnya ketangkap basah. Tapi karena aksi OTT yang dilakukan Dilya  tanpa persiapan, membuat dirinya sendiri celaka. Kira-kira gimana, ya, reaksi  bapak mantan korwil?

Vote dulu di sini kalau penasaran!

The Broked Wings Not Mean End Off AllTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang