SATU

1.1K 183 5
                                    


Masa remaja itu, apa sih? Apakah yang sepulang sekolah, berganti pakaian kekinian kemudian berkumpul bersama di salah satu cafe atau rumah makan yang sedang popular di sosial media? Mungkin sebagian besar remaja melakukan hal tersebut. Oh, atau mungkin sekadar jalan-jalan di mall lalu menonton film yang baru rilis. Entahlah, aku tidak melakukan semua kegiatan tersebut. Sebab aku hanyalah seorang remaja dari keluarga yang terbilang- berkecukupan.

"Lolos! Elo lolos, Sam!!" Suara Atsumu membuatku berani mengangkat kelopak mataku. Tepat di layar laptop itu, menunjukkan bahwa aku lolos dalam seleksi SNMPTN. Ya, Atsumu tak henti-hentinya memelukku erat.

"Terimakasih Tuhan." Tentu saja aku senang, tapi untuk sekarang- entah mengapa rasanya aku ingin menangis. Tiga tahun perjuanganku disekolah, serta waktu tidur yang terpakai demi portofolio, semuanya tidak sia-sia. Pada akhirnya aku bisa melanjutkan kuliah di salah satu Institut Seni yang lumayan terkenal di kota tempat tinggalku.

"Kasih tau bunda, yuk!" Atsumu menarik tanganku, akan tetapi aku menahannya sejenak. Ada sesuatu, yang ingin aku tanyakan padanya.

"Tsumu, Lo gimana? Apa mau kuliah juga, coba SBMPTN." Pertanyaanku langsung dijawab dengan sebuah gelengan kepala.

"Gue kerja, dan bakal gue jamin kalo adek gue ini bakal jadi sarjana tepat pada waktunya." Atsumu bicara dengan cukup lantang. Seolah-olah sedang mengatakan bahwa 'akulah seorang kakak yang akan mendukung kesuksesan adikku seratus persen'.

--

"Iya, terus tau gak Bun? Si Osamu ngerjain portofolio sampe pagi. Terus karena ngantuk dia malah langsung minum kopi pas pagi, padahal belom makan nasi ataupun roti. Akhirnya dia sakit perut Bun, hahaha..." Sedaritadi, Atsumu terus mengoceh tanpa henti. Ia menceritakan mulai dari kesehariannya, sampai berita bahagia kepada bunda. Disaat terakhir- suara Atsumu terdengar sedikit bergetar. Ia menunduk tepat diatas batu nisan dihadapannya- mengecupnya.

Bunda meninggal dunia tepat dua bulan yang lalu. Nyawanya melayang akibat sebuah kecelakaan- yang diduga akibat rem mobil tersebut tidak berfungsi pada saat lampu merah. Menurut saksi mata, saat itu- bunda sedang menyebrang bersama pejalan kaki lainnya. Itu artinya, bunda bukanlah satu-satunya korban dalam kecelakaan tersebut.

Aku sungguh kehilangan, tapi perasaan yang kupunya- tidak lebih besar daripada yang Atsumu miliki. Terkadang, saat aku terbangun ditengah malam- Atsumu masih terjaga sambil terus memandangi foto bunda. Bahkan setiap minggunya, Atsumu rutin datang ke pemakaman.

"Kenapa beli tiga?" Tanya Atsumu melihat tiga paket ayam dengan nasi yang baru saja kubeli. Yah, sepulang dari pemakaman kami berdua memutuskan untuk membeli sesuatu untuk makan malam. Sebab sudah terlalu sore untuk memasak, dan perutku sudah tidak kuat menahan lapar.

"Satunya kan buat ayah." Jawabku.

"Cih!" Atsumu mendecik kesal. "Si brengsek itu masih punya kaki sama tangan buat bikin makanan sendiri, gak perlu lo beliin, Sam." Lanjutnya.

Aku tak menjawab, hanya menggeleng kecil.

Memang, sedari dulu hubungan antara ayah dan bunda sangatlah berantakan. Tiada hari tanpa pertengkaran, dan semuanya terjadi akibat ayah yang memulainya. Dia selalu saja malas-malasan dirumah, sedangkan bunda bekerja dari pagi hingga larut. Apabila terjadi pertengkaran antara ayah dan bunda, Atsumu pasti akan bergabung untuk membela bunda. Maka tak heran jika hubungan antara ayah dan Atsumu sangatlah renggang.

Lalu apa yang aku lakukan? Ya, aku hanya melihat. Karena bagiku, urusan orang tua tidak ada urusannya dengan anak. Sekarang bunda sudah tiada, dan walaupun sikap ayah sangatlah tidak baik- tapi hanya dia satu-satunya orang tua yang kupunya sekarang. Mungkin, prinsip ku dan Atsumu memang berlawanan arah. Apabila Atsumu membenci ayah, maka aku berharap ayah bisa merubah sikapnya menjadi sosok orang tua yang baik.

--

"Kuliah? Ngapain kuliah?" Respon ayah yang tidak menyenangkan membuat lengkungan di bibirku menjadi datar. "Mendingan kerja, cari uang."

"Loh, itukan kewajiban ayah." Atsumu tiba-tiba saja muncul dan berdiri tepat di sampingku. Kukira, hari sudah cukup larut- dan Atsumu sudah pergi untuk tidur. Aku tahu, jika Atsumu mendengar ucapan ayah barusan- ia pasti akan marah besar.

Ayah tak memperdulikan ucapan Atsumu, jemarinya sibuk menekan-nekan tombol remote TV- mengganti channel-nya secara acak.

Atsumu menepis tanganku ketika aku hendak mengajaknya untuk kembali tidur. Ia berjalan dan mencabut kabel TV yang terhubung dengan stopkontak. Kelakuannya membuat ayah murka, hingga melempar remot yang kemudian mendarat tepat diatas kepala Atsumu.

"Dasar anak kurang ajar!" Ayah bangkit, ia hendak memukul- namun Atsumu menghindarinya.

"Ayah yang egois!" Atsumu berdiri membelakangiku, seolah sedang menjadi tameng. "Seharusnya ayah kerja, nafkahin aku dan Samu." Lanjut Atsumu dengan nada bicara seperti orang lelah. Ya, sebab bertengkar dengan ayah selalu saja membahas topik yang hampir serupa.

"Halaaah!! Kalian itu bukan anak cewek yang harus dibiayain sampe nikah." Lagi-lagi ayah beralasan sesuka hatinya.

"Yah, tapi Samu masih butuh biaya buat kuliah. Dia berprestasi loh, yah!" Atsumu berkali-kali menunjukku, membanggakan pencapaian ku dihadapan ayah.

"Usaha dong buat memenuhi biaya pendidikan sendiri. Dulu ayah juga harus susah payah kerja supaya bisa sekolah, karena nggak ada yang biayain!" Balas ayah yang semakin tak mau kalah.

"Ayah sadar kalau masa lalu ayah penuh kesulitan. Apa ayah pingin anak-anak ayah ngerasain semua itu juga? Kukira ayah bakal berpikir kalau seharusnya ayah bekerja keras agar anak-anak ayah bisa mendapatkan kemudahan dalam mencapai cita-citanya." Aku sudah tidak tahan lagi, pada akhirnya aku buka suara dan masuk kedalam perdebatan yang tadinya hanya terjadi antara ayah dan Atsumu.

"Ayah dibuat kecewa oleh orang tua ayah, dan sekarang ayah lakukan kembali kepada anak-anak ayah." Ucapku lagi.

Ayah tidak bergeming lagi. Entah kehabisan kata-kata, atau memang didalam lubuk hatinya mengakui bahwa apa yang ku ucapkan adalah hal yang benar.

Sayangnya, di malam itu juga- ayah malah mengemasi barang-barang miliknya, kemudian meninggalkan rumah tanpa mengucapkan sepatah katapun.

.
.
.
.
To be continued

Kado untuk Atsumu [ END ] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang