Malam itu aku terbangun akibat suara ketukan pintu yang cukup keras. Sebelum membukanya, aku pergi ke kamar Atsumu untuk memastikan apakah ia sudah pulang kerumah- tapi, aku tak menemukan keberadaannya disana.Kalau ditanya mengapa aku dan Atsumu tidak lagi tidur dikamar yang sama- Jawabannya sangat sederhana. Ya, sebab ayah tidak pernah pulang lagi setelah pertengkaran dimalam itu, dan kamar yang tersisa menjadi kosong. Maka Atsumu memutuskan untuk menempatinya.
"Hoaamm... Lama banget buka pintunya, Sam." Keluh Atsumu dengan tubuh sedikit dibungkuk-kan, juga wajahnya yang terlihat sangat mengantuk.
"Sorry, deh. Takutnya maling." Ucapku yang kemudian kembali mengunci pintu rapat-rapat. "Emang lo nggak bawa kunci?" Tanyaku. Mengingat masing-masing dari kami memegang satu kunci rumah.
Atsumu segera melepas ranselnya, lalu buru-buru merogoh ke segala ruang yang ada didalam ranselnya hingga ia menemukan kuncinya. "Oh iya!" Ucapnya kemudian menepuk dahi.
Aku menggelengkan kepala sejenak. Seharusnya aku tidak perlu heran karena kelakuan Atsumu tersebut. Tapi, pulang selarut ini sampai melupakan kunci- itu artinya Atsumu sudah sangat lelah.
"Udah makan? Mau gue buatin sesuatu?" Tanyaku yang hendak berjalan menuju dapur, namun Atsumu menggeleng dan segera mengeluarkan bungkusan dari dalam tas-nya.
"Ayo makan bareng, gue beli ayam bakar." Senyum Atsumu mengembang. Ketika kotak Styrofoam itu dibuka, aroma bumbu yang melekat pada ayam bakar itu sukses membuat perutku terasa keroncongan.
"Makasih, Tsumu..." Ucapku yang mendapat anggukan gagah dari Atsumu. Ia tak menjawab sebab mulutnya sudah penuh dengan ayam, nasi, serta lalapan yang ada.
Sedetik kemudian aku baru menyadari sesuatu. Kalau Atsumu sengaja berpura-pura lupa dengan kunci, agar ia bisa membangunkan dan mengajakku makan malam bersama. Sebetulnya, kami jarang makan malam bersama. Atsumu yang selalu pulang larut malam, tidak pernah bertemu denganku yang selalu tidur lebih awal. Dipagi hari-pun, Atsumu selalu berangkat ke tempat kerjanya lebih awal. Tepat sebelum aku bangun dari tidurku.
"Gue baru naik gaji, makanya traktir lo ayam bakar." Kata Atsumu dengan nada senang.
"Pekerja yang setiap hari lembur pantes dapetin itu. Selamat ya, Tsumu... Lo keren!" Ucapku tak kalah hebohnya.
"Pokoknya, demi Samu... Gue bakal semangat terus." Tatapan Atsumu mendadak berubah. Seolah menaruh harapan yang besar kepadaku.
---
"Tsumu?" Hari Minggu, pukul tujuh pagi dan aku tidak menemukan keberadaan kakak kembarku itu walaupun aku sudah mencarinya disetiap ruangan.
"Astaga, ini kamar udah kayak lokasi bekas perang." Keluh-ku saat masuk kedalam kamar Atsumu. Ranjangnya sungguh berantakan. Selimut dan bantal terletak tak beraturan. Disisi lainnya, ada meja dengan segala macam benda yang letaknya tak tersusun rapi. Bahkan ada deodorant di lantai yang hampir membuatku terpeleset apabila menginjaknya.
"Akademi bola volly?" Mataku tak sengaja tertuju pada salah satu brosur yang tertimpa oleh botol parfum dan minyak rambut. Ketika aku hendak mengambilnya, aku mendengar suara pintu terbuka.
"Astaga, Sam... Lo apain kamar gue?" Aku menanggapi tuduhan itu dengan wajah datar. Atsumu, bisa-bisanya ia bicara tanpa rasa malu. Maksudku, seharusnya ia malu apabila orang lain tahu betapa berantakan kamar tidurnya.
"Beresin! Kamar udah kayak kapal pecah." Omelku yang langsung keluar dari ruangan itu, lalu duduk di ruang depan.
"Emangnya Lo pernah liat kapal pecah?" Ledek Atsumu lagi.
"Rese Lo, Tsum... Bisa nggak jangan ngeledek gue terus?" Pintaku yang mulai kesal. Entah mengapa kejahilan kakak kembarku itu selalu sukses memancing emosiku.
"Yeh, nanti kalo gue nggak ngeledek Lo lagi... Jangan kangen, ye..." Kata Atsumu yang mulai pasrah. Ia duduk di sampingku, lalu menyalahkan televisi.
"Tsum..."
"Hmm..?"
"Tsumu..."
"Kenapa si, Sam? Nada ngomong lo mendadak kayak bocah." Komentar Atsumu yang langsung memberi jarak duduknya denganku.
"Yeh, itumah elo yang selalu nganggep gue bocah." Bantahku. "Padahal yang lebih bocah mah, elo." Aku lanjut berucap dengan suara pelan.
"Ya, ya, ya... Apaan? Lo ada keperluan kuliah lagi?" Tanya Atsumu yang mulai serius.
"Ini bukan tentang gue, tapi tentang diri Lo." Jawabku yang langsung membuat Atsumu kebingungan.
Hening, topik pembicaraan kami terhenti- dan kami berdua fokus dengan acara televisi yang sebenarnya tidak kami simak dengan baik. Lagipula, aku menunggu sampai Atsumu mengakuinya sendiri. Namun sepertinya Atsumu enggan dan memilih untuk berpura-pura bodoh.
"Gue bakal cari kerja sambil kuliah juga." Perkataan ku membuat Atsumu terhentak, kemudian segera menatapku lekat-lekat. Dari ekspresinya, aku sudah tahu kalau Atsumu tidak setuju dengan apa yang aku putuskan.
"Kenapa? Emang biaya yang gue kasih kurang?" Kalimat yang Atsumu ucapkan mulai terdengar serius.
"Lo nggak harus selalu biayain gue. Pikirin masa depan Lo sendiri, maksud gue- impian Lo, Tsumu." Aku tidak tahan lagi untuk mengguncang tubuh Atsumu. Sebenarnya ingin kupukul kepalanya. Ya, siapa tau dengan begitu Atsumu bisa berpikir dengan benar.
"Heh, anak pertama itu tugasnya berkorban." Sanggah Atsumu dengan pipinya yang ia gembungkan.
"Tapi kita lahirnya bareng, bego!" Teriakku tak mau kalah.
"Tapi kan kakaknya itu gue!" Atsumu balik berteriak.
"Ah, udah deh. Capek gue debat sama lo." Aku mengalah. Lagipula, Atsumu mungkin masih mencari-cari waktu yang tepat untuk bisa mengatakannya sendiri kepadaku. Tentang apa yang ia mau, yang ia cita-citakan.
---
Sore sepulang dari kampus, aku memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak. Sebetulnya, karena Suna Rintaro- teman sekampusku minta ditemani ke salah satu pusat perbelanjaan. Katanya ia ingin membeli sepatu, yang katanya sedang diskon. Kalau tujuanku, hanya ke supermarket untuk membeli beberapa makanan dan juga cemilan untuk dirumah.
"Belanjaan lo lebih banyak daripada gue." Ejek Rin, sebab sebelumnya aku berkata bahwa tak ingin membeli terlalu banyak barang.
"Biarin, ah. Rese lo, kayak Abang gue." Omelku yang langsung berjalan. Sementara Rin terus tertawa jahil.
Aku tidak sabar untuk segera sampai kerumah. Tadi, aku membeli beberapa pudding, serta bakpao isi daging dan kacang merah. Kurasa, aku akan membaginya kepada Atsumu.
"Cowok yang itu mirip sama lo." Kalimat Rin menghentikan langkahku. Ketika mendengarnya, aku segera menoleh kesegala arah karena bingung dimana orang yang Rin maksud.
"Itu, yang lagi ngevolly." Rin menunjukk kearah lapangan yang ada didalam sebuah taman. Letaknya tak jauh dari tempat kami berdiri, hanya dibatasi oleh pagar-pagar besi yang menjulang cukup tinggi.
Aku meneliti orang yang tengah asyik mengumpan bola, kalau dilihat dari warna rambutnya- bisa saja itu orang lain. Tapi, aku juga mendengar teriakkannya ketika berkomunikasi dengan tim sepermainannya. Tidak salah lagi, yang sedang bermain disana adalah Atsumu.
"Ya kan, mirip sama lo." Kata Rin sekali lagi.
"Rin, dia kembaran gue." Pengakuanku cukup membuat Rin terkejut. Wajar saja, aku tidak pernah memberitahunya bahwa aku memiliki saudara kembar.
"Jago juga dia nge-volly. Pasti pas SMA populer tuh." Puji Rin. Yah, kalau saja ia tahu bagaimana karakter Atsumu- aku rasa Rin dan Atsumu tidak akan akur.
Hanya saja, mataku bisa melihat jelas bahwa keberadaan Atsumu disana bukan hanya sekadar mengisi waktu luang ataupun iseng semata. Atsumu tampak begitu menikmatinya, seolah volly benar-benar menjadi tujuannya.
.
.
.
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Kado untuk Atsumu [ END ] ✓
FanfictionAtsumu adalah sosok pribadi yang egois, keras kepala, dan selalu membangkang. Biarpun begitu, ia sangat baik kepadaku- meskipun kami sempat mengalami konflik beberapa kali. Seolah, bagi Atsumu- aku adalah tempat baginya untuk pulang. Ia yang selalu...