Bagian 4

14 1 0
                                    

Skrtttt!!! Motornya direm mendadak. Terlihat seorang nenek-nenek melintas tanpa hati-hati dihadapan kita. Azhar tentunya kaget karena posisinya dia sedang mengendarai motornya dengan sangat laju.

"Aduh, nek. Gapapa 'kan?"

"Muhun jang, teu apa-apa. Puntennya. Da soca emak mah tos rada siweur ieu téh." Nenek itu menepuk kecil pundak Azhar.

"Alhamdulillah, nenek mau kemana?"

"Ieu jang, mau ke payun, meser sapu."

"Oh, yaudah saya belikan, ya nek. Nenek tunggu di sini sama pacar saya," katanya.

Aku tersentak dibuatnya, aku hanya melongo dengan apa yang dia ucapkan tadi. "Cha, tunggu sini dulu, ya. Gue ke depan dulu bentar."

"Nggg, i-iya."

Di sisi jalan aku mengobrol bersama nenek itu, membicarakan semua hal acak yang tentunya belum aku rasakan namun sudah dirasakan oleh nenek itu.

"Emak, ari emak teh yuswa sabaraha taun?" Tanyaku

"Ah neng, duka teuing emak mah hilap. Atuh uyuhan tos kolot." Senyuman tulus terpancar di wajahnya

"hahahaha, aya-aya waé, mak."

"Muhun, hehe. Enéng ari enéng kelas sabaraha?"

"Kelas 10, mak. Nembé lebeut," jawabku

"Oh muhun, jadi inget emak mah ka si Marisa, incu emak. Bageur budak téh bodas siga enéng. Mung ayeuna mah tos di sisi Allah. Gusti meni sono emakmah."

Aku menjadi canggung untuk bertanya lagi. Tak lama kemudian Azhar pulang dari warung membawa dua sapu yang sebelumnya ingin dibeli oleh nenek tersebut.

"Nek, ini sapunya. Rumahnya di mana? Biar saya antar."

"Aduh ujang, meuni ngarepotkeun nya emak téh, udah wé emak mah pulang sendiri. Da, cakeut bumi emak mah di belakang."

"Oh iya nek, hati-hati ya."

"Muhun, sekali lagi nuhun nya jang, neng."

"Iya."

Kami akhirnya melanjutkan perjalanan. Hari udah mulai gelap. Lampu-lampu sekitar sudah mulai menyala satu persatu. Kios-kios kecil mulai tutup, digantikan dengan restoran-restoran cepat saji yang mulai buka. Deretan mobil para pekerja saling bersahutan. Begitupun dengan aku dan Azhar. Di lampu merah kita mengobrol santai sambil menunggu lampu itu berubah menjadi hijau.

"Cha, anjir gimana ya ini. Gue bingung banget."

"Iya deh, sama. Tapi coba deh kayaknya ada di sekitar sini pasar yang buka 24 jam. Hmmm, siapa tau kita bisa nemuin barang-barang itu di sana," ucapku

"Yaudah deh."

Lampu merah pun berganti hijau, Azhar dengan segera menarik gas kuda besinya tersebut. Aku tidak tahu motif apa yang membuat dia menarik gasnya begitu kencang. Hingga akhirnya, tak kusadari aku memeluk badannya yang begitu ideal.

"AZHAR! PELAN-PELAN ANJIR. GUE TAKUT." aku berteriak sambil memeluk erat tubuhnya.

"HAHAHAHAHAH, TAKUT KAN LO?" ngeng.... Dia malah terus menarik gasnya.

Sesampainya di Pasar Kucing Tenggiri, aku turun dan segera melepas helm. Mukaku begitu kusut disana. Bagaimana tidak Azhar tak mendengar perintahku untuk mengurangi kecepatan motornya.

"Yaelah, ini adek manis kok mukanya cemberut sih, manis. Cup cup," goda Azhar

"DIAM! GUE MARAH YA SAMA LO."

"Jangan gitu dong, manis. Gue beliin Thai Tea, deh." Dia membujuk agar aku tidak marah lagi padanya.

"Gak."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 26, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dear You! [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang