Chapter 18: Mimpi-Mimpi Shaloom

19.4K 3.6K 105
                                    

Shaloom

Setidaknya latihan kali ini enggak semenyebalkan sebelumnya. Raja mau mengikuti ideku, meski masih memasang wajah ketus. Tanggapan teman-teman yang lain cukup positif, bahkan Elang berkelakar kalau seharusnya sejak awal mengikuti ideku. Jadi enggak perlu adu ngotot dan buang-buang waktu.

"Gue punya ide buat ganti nada di bagian bridge, kita bikin lebih tinggi karena cocok sama suara Shaloom." Raja berkata pelan. Dia memang enggak semenyebalkan biasanya, tapi masih enggak mau menatapku.

Well, meskipun aku masih kesal karena sikap permusuhan Raja, aku enggak bisa memungkiri kalau idenya Raja bisa diterima.

Raja mulai mengatur gitarnya, mencoba nada-nada baru sesuai idenya. Aku mendengarkan dengan saksama. Melihat permainan gitar Raja membuatku teringat Om Elkie. Raja enggak sejago Om Elkie, sih, tapi untuk ukuran anak sekolah dia tergolong jago.

Di saat telingaku mendengar petikan gitar Raja, aku refleks menyanyikan lirik di bagian tersebut. Raja mengangkat wajahnya, anggukan kepalanya membuat nyanyianku makin keras. Dia tersenyum tipis, tapi enggak bisa menyembunyikan ekspresi puas di wajahnya.

"Bagian ini full buat Shaloom aja. Gimana, Ga?" Raja menoleh ke arah Gala.

Aku ikut menatap Gala dan terkesiap saat melihat wajah Gala yang ditekuk. Kayaknya Gala dan Raja lagi bertukar peran. Sekarang Raja yang cengengesan, sementara Gala malah kayak pengin mengajak berantem.

"Bagian gue berkurang dong," protesnya.

Aku teringat percakapan terakhirku dengan Gala, juga ambisi yang dimilikinya. Pensi ini juga berarti penting bagi Gala, dan part yang berkurang adalah hal menyebalkan.

"Sama aja kali." Raja berkata pelan.

"Bagi dua aja." Gala bersikeras.

Gala dan Raja beneran udah berganti peran. Kenapa sekarang malah Gala yang jadi nyebelin begini?

"Ya udah, nanya yang lain. Menurut kalian gimana?"

Aku mengamati personel yang lain. Mereka langsung salah tingkah saat ditembak Raja barusan. Setelah menghabiskan waktu bareng mereka, aku merasa kalau Raja punya pengaruh lebih besar. Gala mungkin yang paling diidolakan, sebagai vokalis dia selalu tampil di depan tapi nyawa The Bandits ada di tangan Raja.

Sesuai dugaan, pendapat Raja lebih didengerin dan itu membuat Gala makin kesal. Dia menatapku tajam, persis seperti dulu Raja melihatku.

Ketika kembali mulai latihan, aku merasa ada yang mengganjal di hatiku. Apa ini keputusan yang tepat?

Namun, aku enggak mungkin mundur. Cuma ada waktu seminggu lagi, kalau aku mundur sekarang, bukan cuma Gala yang memusuhiku. Tapi semua personel The Bandits.

Aku menghela napas panjang. Mencoba meyakinkan diriku bahwa aku bisa bertahan, setidaknya sampai seminggu ke depan.

Setelah latihan selesai, aku memilih pulang duluan. Aku sedang menunggu sopir Papa ketika Gala menghampiri. Rasa enggak nyaman langsung menguasaiku ketika Gala berdiri di sampingku.

Aneh, karena sekarang Gala malah memasang wajah ramah. Dia membuatku terheran-heran karena ada yang bisa mengubah mood dalam waktu cepat begitu.

Perubahan itu membuatku makin enggak nyaman.

"Mau langsung pulang?" tanyanya.

"Mau ketemu Papa," sahutku.

Mendengarku menyebut nama Papa, mata Gala membola. Perasaan enggak nyaman itu makin menguasaiku.

Sejak pengakuannya waktu itu, Gala sering mengirim chat kepadaku. Awalnya ngobrolin apa saja, seringnya soal The Bandits. Ujung-ujungnya Gala selalu bertanya kapan aku bisa membawaya ketemu Papa.

The Daddy's Affair (Tersedia Buku Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang