Shaloom
Tirai yang memisahkanku dari pasien lainnya terbuka, dan senyumku langsung terkembang begitu melihat Mama dan Papa. Aku sampai mengucek mata untuk memastikan enggak salah lihat.
Mataku enggak berbohong. Papa dan Mama datang berdua. Kayaknya baru kali ini aku melihat Mama bareng Papa.
"Kamu enggak apa?" Mama menelitiku lekat-lekat. Mengangkat kedua tanganku lalu mengecek wajahku.
"Cuma luka lecet doang, Ma." Aku menunjukkan siku yang dibalut perban karena tergesek aspal sewaktu terjatuh.
"Dokter bilang apa?"
"Cuma luka, Mama. Itu juga enggak parah."
Mama kembali mengecek siku kananku, wajahnya masih panik. Pasti karena Rana mengadu macam-macam, makanya Mama sampai panik begini. Aku sudah melarang Rana buat menelepon Mama, soalnya ini cuma luka kecil. Mama pasti bakalan panik kalau tahu aku kecelakaan.
Sementara itu, Rana malah melongo, sama sekali enggak berkedip melihat Papa.
Papa sama aja kayak Mama. Meski Papa masih mempertahankan gayanya yang cool, enggak sepanik Mama. Tapi matanya mengikuti setiap jengkal tubuhku yang diperiksa Mama. Keningnya berkerut, dan ekspresinya yang keras menandakan kalau Papa juga panik.
"Rana, makasih, ya. Tadi gimana ceritanya?" Mama akhirnya berhenti memeriksa keadaanku dan berpaling ke arah Rana. Tapi temanku itu masih aja bengong.
"Woy, lo ditanyain tuh," ledekku sambil menyenggol Rana sehingga dia gelagapan. Rana baru sadar sudah bertingkah konyol dan sibuk menyembunyikan pipinya yang memerah, membuat tawaku semakin menjadi-jadi. "Tadi Rana dan sopirnya yang nganter ke rumah sakit. Lo boleh foto bareng bokap gue, buat ucapan makasih."
Rana melirikku dengan senyum malu-malu, sebelum menghadap Mama.
"Tadi ada wartawan gitu, Tan. Mereka menunggu di dalam sekolah, karena udah sore jadi sekolah sepi makanya mereka bisa masuk. Soalnya enggak ada satpam. Kita kaget terus kabur. Shaloom enggak lihat-lihat jalan, enggak sengaja diserempet ojol," beber Rana.
Raut panik yang tadi sempat hilang di wajah Mama, kini kembali. Aku mengerang pelan, lupa memberitahu Rana untuk enggak membocorkan kejadian sebenarnya.
"Enggak separah itu, Ma. Aku cuma kaget makanya refleks lari. Mau nyebrang doang ke mobilnya Rana," elakku.
Sebenarnya kejadiannya lebih parah dari yang dibilang Rana. Aku baru selesai membuat tugas di lab dan Rana menawarkan buat mengantarku pulang. Karena Mama bilang mau jemput, aku minta Rana nge-drop di McD dekat sekolah. Begitu keluar dari lab ada orang asing yang menghampiri. Awalnya pura-pura nanyain temanku, tapi enggak ada nama yang disebutnya sekolah di tempatku. Aku dan Rana mulai takut dan berpikir dia orang jahat, jadi kami berusaha menjauh. Ternyata dia wartawan, dan di halaman sekolah udah ada banyak wartawan. Karena panik, aku refleks lari menghindar. Kebetulan sopir Rana sudah menunggu di seberang sekolah, jadi kami berlari melintasi lapangan sambil dikejar wartawan-wartawan itu. Sialnya, aku enggak melihat jalan sehingga disenggol ojol.
Bukannya menolong, wartawan itu malah memotretku. Sama sekali enggak punya perikemanusiaan.
Mama memberi kode kepada Papa, dan mereka keluar dari bilik tempatku dirawat. Saat ditinggal sendiri, aku mengkonfrontasi Rana.
"Sorry, Sha. Gue enggak bisa bohong. Bokap lo nge-distract gue. Gila, bokap lo ganteng banget, ya." Rana menyengir.
Aku memutar bola mata. Aku tahu Papa ganteng, banyak yang mengidolakannya, termasuk teman-temanku. Tapi mendengarkannya langsung membuatku risih. Come on, he's my Dad. Risih aja yang memuji Papa kayak Rana barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Daddy's Affair (Tersedia Buku Cetak)
Romansa(Content dewasa. Pastikan sudah cukup umur kalau ingin membaca) Aria Daniel, vokalis Storm. Digilai cewek-cewek satu Indonesia. Dikagumi cowok-cowok satu Indonesia. Terkenal lewat kemampuan bermusiknya, juga wajah tampan yang bikin banyak cewek bert...