04. Embunia Kahiyang

269 39 1
                                    

"Samudera?!"

Samudera menutup sebelah kupingnya, merasa bahwa bisa saja kupingnya tuli seketika karena pekikan orang disebelahnya ini. Setelah agak lama, Samudera mengusap kupingnya sayang sambil meringis pelan.

Orang itu berdecak kagum, "Wah... udah lama kagak ketemu badan lo makin macho makin tinggi ye, berapa cm sekarang badan lo?" cerocosnya. Samudera menaikkan satu alisnya, bingung. Siapa orang ini?

Lelaki yang berada di hadapannya yang merasa bahwa Samudera tidak mengingat dirinya, hanya berdecak pelan. "Jangan bilang lo gak inget gue?!" tanyanya, sambil menunjuk muka Samudera dengan telunjuknya.

Ting!

Pas sekali, gumam Samudera dalam hati. Dirinya sudah kesal berdiri di dalam lift bersama pria yang tidak jelas asal-usulnya ini. Dia sebenarnya siapa? Kenapa pria itu seperti sangat mengenalnya? Bahkan dirinya sendiri saja tidak mengetahui pria itu, apalagi namanya. Orang-orang di jaman ini... ah, sudahlah. Samudera tidak habis pikir.

Samudera hanya memandang pria itu dengan tatapan aneh, kemudian berjalan melewati pria itu tanpa meliriknya sama sekali. Pria yang berada di hadapannya itu hanya menjatuhkan rahangnya tidak percaya, kemana sopan santun anak ini?!

Karena kesal, pria itu langsung ikut berjalan beriringan dengan Samudera. Samudera yang menyadari bahwa pria yang tadi berada di lift bersamanya kini sedang berjalan bersisian dengannya langsung berhenti. Samudera menatap tajam laki-laki itu. "Lo bisa berhenti? Kita gak kenal." ucap Samudera, lalu matanya memindai badan pria itu dari atas sampai bawah, kemudian berdecih. "Cih." dan lanjut berjalan sedikit cepat–meninggalkan pria itu.

Saat pria itu akan berjalan mengikuti Samudera lagi, tiba-tiba saja temannya sudah memanggilnya di belakang sana. Dia mengalihkan pandangan, dan berusaha tidak memikirkan Samudera kenapa dirinya ada disini.

"Awan!" seru teman dari si laki-laki yang bernama Awan itu. Awan Jenggala, salah satu teman Semesta.

"Awan, buset dah lo mainnya jauh amat sampe kesini. Lo gue cariin kemana-mana juga!"

Awan meringis, kemudian melirik ke arah Samudera yang sudah menghilang--yang kemungkinan besar sudah memasuki ruangan periksanya. Awan menatap temannya itu, kemudian menyengir, "Hehe, sorry, brodi." katanya. Kemudian Awan merangkul temannya itu dengan tangan kanannya, "Btw, Bum, lo masih inget Samudera gak? Adeknya Semesta."

“Samudera?” tanyanya dengan alis kanan yang terangkat.

Awan mengangguk, “Iya, jangan bilang lo lupa?” kata Awan, mengundang cengiran dari Bumi sendiri.

Bumi menggaruk pipinya sebelah kanannya, “Gue masih inget, cuma, ya... gua nggak terlalu deket sama adeknya Semesta. Jadi inget inget lupa.”

Awan berdecak pelan, “Idih, kalau gak gua ingetin udah bablas kagak inget dah tuh lo.”

*****

“Hhhh,” entah sudah ke berapa kali helaan napas itu keluar dari mulut dan hidungnya sejak lima menit yang lalu. Gadis yang tadi baru saja berkenalan dengan Samudera—yang mengenalkan dirinya sebagai Embunia Kahiyang.

Embun berjalan lesu menelusuri koridor rumah sakit untuk menjenguk neneknya. Kata Ibu dan Ayahnya, keadaan Nenek semakin hari semakin memburuk. Embun selaku orang yang sangat dekat dengan sang Nenek tentu saja merasa khawatir—atau mungkin bukan khawatir lagi. Saat mendengar berita mengejutkan dari Ibunya itu, Embun hampir saja menjatuhkan ponselnya jika kesadarannya tidak segera ia renggut lagi.

Semesta dan Samudera [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang