Anak adalah sebuah anugerah, katanya.
Anak juga adalah sebuah titipan dari Tuhan, katanya.
Anak adalah sebuah harta yang paling berharga, katanya.
Namun, kenapa semua kata-kata itu tidak sesuai apa yang Samudera jalani?
Dirinya hidup dalam kesepian, kehampaan, kekejaman, dan dipaksa untuk melawan dunia sendirian.
Kalau dipikir-pikir, ini sudah hampir delapan tahun lamanya ia dianggap tidak ada oleh kedua orangtuanya. Kata Abyasa, apa yang diperbuat, pasti ada alasan. Dan semua perlakuan orangtuanya terhadap dirinya, ia yakini ada alasan dibaliknya. Tapi apa?
Samudera memang pintar, namun ia tidak jago dalam hal-hal seperti ini.
Sudah hampir dua minggu kejadian dimana ia mendatangi acara ulangtahun Kakaknya itu. Sampai saat ini, ia tidak melihat sosok Kakaknya dimanapun ia berada—meski dirinya sempat pernah melihat siluet Kakaknya di parkiran sewaktu dirinya akan pulang dari kampus. Kejadian itu kira-kira sudah tiga atau empat hari terakhir, terbilang sudah agak lama.
Malam ini bisa disebut cukup dingin, Samudera bergidik ketika angin menyapa kulitnya yang tidak terbalut apa-apa—tidak memakai jaket, maksudnya. Ia kira dengan berjalan-jalan seperti ini diluar akan membuat pikirannya lebih tenang ataupun segar, akan tetapi yang ia dapat hanyalah angin kencang yang menerpa tubuhnya. Hingga Samudera berpikir bahwa dirinya akan mati kedinginan jika seperti ini terus.
Melihat ada supermarket, Samudera berniat untuk menghampiri supermarket tersebut—untuk membeli beberapa bahan-bahan untuk dirinya memasak, kebetulan ia juga lapar. Akan tetapi saat masuk, bukannya kehangatan yang ia dapat namun dingin yang lebih-lebih dari diluar. Samudera makin bergidik waktu melihat banyaknya AC disudut-sudut ruangan.
“Gua kira disini lebih adem, ternyata lebih dingin,” gumamnya pelan kala ia mendorong pintu supermarket tersebut.
Tungkainya ia gerakkan ke arah rak dimana rak itu berisi mie instan yang siap dimasak, ada beberapa mie yang memang sudah disajikan dengan wadahnya sendiri. Jadi ketika kau lapar dan ingin memasak sesuatu dan malas, pilihlah mie itu. Kau hanya perlu membuka wadahnya, memasukkan bumbunya, dan memasukkan air panas secukupnya. Mudah, ‘kan?
Kembali ke topik, lelaki yang dipanggil dengan Samudera Andaru itu mengelilingi rak yang berada di supermarket itu. Dirinya berdecak keras, tak ada makanan satupun yang menarik perhatiannya. Sudah pasrah, Samudera mengambil kemasan mie yang bernama “Pop Mie” itu dengan sedikit kasar, karena itu pilihan terakhirnya. Biarlah besok dia kelaparan, masih ada delivery yang menjadi harapan.
Usai membayar apa yang ia beli tadi, Samudera berjalan keluar dengan malas—tak lupa dengan tangannya yang berusaha memeluk diri karena dingin yang menghampiri. Malas untuk pergi ke apartemen, Samudera duduk terlebih dahulu di depan supermarket yang ia masuki tadi. Netranya tak sengaja melihat ada tukang bakso yang terparkir di depan supermarket, Samudera tersenyum lebar. Ia bangkit dari duduknya dan berniat untuk membeli semangkok bakso yang diberi kuah. Itu terdengar sangat lezat, bukan?
“Mang, baksonya satu mangkok, ya! Kuahnya agak banyakan boleh, ya, Mang?”
*****
Sudah hampir jam dua belas malam, namun Semesta masih berkutat dengan komputer miliknya. Layar yang berisi dengan penjelasan dan tentang usaha bisnis Ayah dan Ibunya membuat Semesta tidak bisa bergerak satu inci pun dari tempat duduknya saat ini. Dirinya terlalu fokus, hingga fokusnya terbuyarkan ketika ia merasa kepalanya berdenyut nyeri.
“Aw— ssh...” Semesta meringis pelan, ia menatap layar komputernya sebentar lalu bangkit dari tempat duduknya dan duduk di sisi ranjang. Semesta melihat ponselnya, jam sebelas lewat lima puluh lima menit. Baiklah, bahkan ini sudah lewat dari jam tidurnya. Jam tidurnya berantakan akhir-akhir ini, skripsi yang menumpuk dan jangan lupa dengan bisnis kedua orangtuanya yang tidak akan bisa ia lewati karena itu salah satu kewajibannya untuk menggantikan posisi Ayah dan Ibunya jika Semesta sudah wisuda—nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta dan Samudera [HIATUS]
JugendliteraturAngst Series #1 "Sam, dunia itu bergerak, dan juga berputar. Nggak berada di titik yang sama, begitu pula kehidupan. Hidup nggak selalu diatas, maka dari itu, bersyukur saat dimana lo masih diberikan napas dan dikasih kesenangan sama yang diatas. Lo...