Ruangan yang kini dipenuhi oleh manusia-manusia yang sedang merayakan ulang tahun seorang insan bernama Semesta, sekarang sudah penuh dengan teman-teman Ayah dan Ibunya, pun dengan teman Semesta sendiri.
Orang-orang banyak yang berlalu lalang kesana kemari dengan kado juga hadiah yang dipegangnya, namun berbeda dengan Semesta. Dirinya mengurung diri di kamar sambil menunggu namanya dipanggil untuk potong kue—yang bahkan ia harapkan dibuat oleh tangan Ibu maupun Ayahnya, yang hanya menjadi angan-angan karena kue itu mereka beli di sebuah toko yang bisa terbilang mahal. Pernak-pernik pun riasan yang ada di kuenya bahkan banyak yang terbuat dari emas, namun itu tidak membuat Samudera tertarik dengan ulang tahunnya yang ke-22 ini.
Hari yang harusnya menjadi spesial sudah hancur sebab Ibu dan Ayahnya membuat acara ulang tahun semewah ini hanya untuk memamerkan kepintaran dan kesuksesan Semesta. Sejujurnya, kalau Semesta boleh mengakui, ia itu tidak pintar. Sangat berbeda dengan Adiknya. Sebenarnya tidak baik ia membandingkan dirinya sendiri dengan orang lain, akan tetapi, jika itu kenyataannya, ia harus apa?
Katanya, Samudera adalah sebuah kesalahan di dalam hidup Ayah dan Ibunya. Samudera tidak layak untuk hidup di dunia ini. Namun, seorang anak dititipkan oleh Tuhan di dunia ini, ‘kan? Bukan malah membuang bahkan menganggap anak kandungnya sebagai anak haram.
Lama ia melamun di balkon, sebuah ketukan pintu membuat atensinya teralihkan. Ia hanya melirik pintu tanpa membukanya sedikit pun. Ia hanya ingin menyendiri, apakah tidak bisa ia menyegarkan pikirannya hanya sehari saja?
“Semesta... ayo turun ke bawah, kamu udah dipanggil untuk motong kuenya. Jangan menyendiri terus, ini, ‘kan, hari spesial kamu. Kok kamu malah menyendiri gini, sih?” ucap seseorang dibalik pintu itu.
Senandika Atmawijaya, anak dari sebuah pasangan dari Atmawijaya Group, perusahaan yang menaungi bisnis Ayah dan Ibunya. Jikalau Senandika sudah menyuruhnya untuk ke bawah, ia harus apa? Banyak sekali yang Senandika berikan untuknya, pun, dengan kedua orang tuanya.
“Iya, nanti gue ke bawah.” kata Semesta.
Cklek
Suara pintu terbuka, dan Semesta mendapati Senandika dengan gaun yang menjadi ciri khas gadis itu. Anggun, dan juga cantik. Semesta tidak memungkiri bahwa Senandika memang secantik itu, apalagi dengan make up tipisnya membuat siapa saja yang melihat gadis itu akan jatuh cinta pada pandangan pertama.
“Semesta, nanti-nya kamu itu satu jam lagi. Bahkan dua jam, mungkin sehari juga bisa. Sedangkan acara bakalan dimulai lima menit lagi, dari balkon ke bawah aja ada tiga menitan. Jadi, kamu cuman punya dua menit buat pergi ke aula.” kata Senandika.
Semesta memutar bola matanya dengan malas, “Lo dengan ke-sok tahuannya. Gak usah ngatur-ngatur.” yang dibalas senyuman oleh Senandika.
Jujur, sebenarnya Semesta tidak ingin kasar kepada perempuan. Akan tetapi terkadang perbuatan Senandika sendiri membuatnya ia risih, apalagi jika Senandika yang sudah mengeluarkan jurus ke-sok tahuannya itu. Ya... meski kadang dirinya benar, sih.
“Yaudah, terserah kamu, deh. Kalau udah dipanggil sama mama kamu atau ayah kamu sambil marah-marah, jangan nyalahin aku, ya. Aku udah memperingati kamu untuk—”
Berdecak pelan, Semesta menatap Senandika malas. “Ya ya ya, gua kesana SATU menit lagi. Gausah ganggu gue.” Senandika tertawa kecil. Semesta mengangkat sebelah alisnya, apa yang lucu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta dan Samudera [HIATUS]
Teen FictionAngst Series #1 "Sam, dunia itu bergerak, dan juga berputar. Nggak berada di titik yang sama, begitu pula kehidupan. Hidup nggak selalu diatas, maka dari itu, bersyukur saat dimana lo masih diberikan napas dan dikasih kesenangan sama yang diatas. Lo...