27 Agustus 2018
Suara jejak kaki mulai bersahutan, berlari kesana-kesini untuk mencari bantuan. Samudera yang linglung melihat Ayah dan Ibunya yang sejak tadi berlari dan bergerak mondar-mandir tiada henti, sambil menelepon beberapa orang dengan ponsel yang berada di tangan mereka masing-masing, hanya berdiam di pintu kamarnya sambil mengigit bibirnya.
Kak Ata drop lagi, kah?
Samudera dengan kecemasan yang melanda, langsung mengendap-endap pergi ke kamar Semesta. Karena keduanya sedang sibuk mencari bantuan, Samudera jadi sedikit lebih aman karena tidak ada yang terlalu memperhatikan dirinya. Semenjak Semesta ulang tahun, dirinya tidak pernah lagi masuk ke kamar Kakaknya karena Ibu dan Ayahnya selalu tidak mengizinkannya untuk masuk. Entah karena apa, Samudera juga tidak tahu. Atau mungkin, karena kesalahan yang pernah ia perbuat bulan lalu.
Samudera membuka pintu kamar Kakaknya dengan perlahan, mengintip dengan penuh kehati-hatian. Mata sipitnya beralih kesana-kemari untuk berjaga-jaga, takut-takut ada yang melihatnya masuk ke kamar Semesta dengan cara yang sedikit mencurigakan. Dirasa aman, Samudera dengan cepat masuk dan menutup pintu kamar Semesta dengan secepat kilat. Tak lupa, ia juga menutup pintu kamar Kakaknya dengan perlahan meski cepat, tentu saja.
"Hhh, oke, aman. Gapapa, tarik napas, buang... tarik napas, buang... tarik napas..." Samudera mengikuti interupsi dirinya yang sedang melakukan gerakan menarik dan membuang napasnya, sampai ia tidak menyadari bahwa ada orang yang sedang memperhatikannya dengan mata yang sayu, juga badan yang lemas.
Setelah dirasa dirinya sudah tenang, dia sekali lagi untuk menarik dan membuang napasnya. Kemudian, ia melirik Kakaknya yang sedang terbaring di tempat tidur dengan keadaan yang benar-benar memprihatinkan. Baru saja Samudera akan bergerak melangkahkan kakinya ke arah sang Kakak, dirinya tiba-tiba saja jatuh tengkurap karena dorongan dari belakang. Pintu terbuka, dan mendapati raut wajah marah dari sang Ibu.
"M-Ma..." cicit Samudera pelan. Dia berbalik badan, dan sedikit berdiri untuk menetralkan rasa sakitnya. Samudera memandang Ibunya takut-takut, karena tatapan Ibunya sangat menyeramkan.
"Kamu akan apakan lagi anak saya, Samudera? Masih tidak puas dengan kelakuan kamu bulan lalu sampai anak saya drop terus menerus?" kata Samantha, Ibu dari Samudera dan Semesta.
Samudera menggigit bibirnya sambil memandang ke arah lantai, kemudian terdengar decakan pelan dari depannya. "Kamu yang sudah bikin anak saya seperti ini, Samudera. Masih ingat dengan kejadian yang kamu lakukan bulan lalu?" Samudera mengangguk kaku. "Lalu? Kenapa kamu tidak keluar saja? Dasar benalu." ujar Samantha, lalu dirinya melewati Samudera yang sedang mati-matian menahan tangis.
Samudera sedikit melirik ke arah Semesta yang sedang dielus dan diusap keningnya, bahkan sampai dikecup. Samudera memejamkan matanya, tak kuat menahan iri yang bergejolak di dadanya. Dia mengepalkan tangannya kuat-kuat sampai buku-bukunya memutih.
Dasar benalu.
Anak tidak berguna.
Kejadian bulan lalu.
Kelakuan bodoh Samudera.
Lalu, apalagi? Kenapa selalu dirinya yang dijadikan pusat sebagai kesalahan yang dilalui oleh keluarganya? Kenapa?
Dan itu adalah pertanyaan tanpa jawaban, yang mengundang tanda tanya besar di kepala Samudera.
Perlahan, kepalan jari-jemarinya terbuka. Samudera menunduk, kemudian membuka pintu kamar Semesta dan berlari sekencang mungkin agar tidak pulang lagi ke rumah yang tidak pernah dia sebut rumah. Samudera berlari tanpa arah, kesana kemari tanpa tujuan yang jelas. Sampai Samudera melihat jembatan, dia menghampiri jembatan itu. Ternyata, ada seorang lelaki yang--mungkin--terlihat lebih muda darinya.
Samudera berjalan pelan, tanpa memperdulikan lelaki yang berada di sebelahnya. Samudera mendongak, melihat hamparan langit tanpa bintang, namun ada bulan yang--entah kenapa--terlihat meredup malam ini. Matanya memanas, dan ia tahu bahwa ia akan menangis sebentar lagi.
Tuhan, kenapa harus Kakak? Kenapa bukan saya, Tuhan? Kenapa?
Samudera menyadari bahwa matanya sudah menetes, dan ia tidak memperdulikan itu. Ia mendengarkan suara langkah kaki menghampiri dirinya, dan ia juga sudah menduga bahwa lelaki yang ia temukan tadi menghampiri Samudera. Merasakan tepukan di bahunya, Samudera menghapus air matanya dan menengok ke arah laki-laki itu.
"Lo kenapa?" satu pertanyaan yang keluar dari mulut laki-laki itu.
Samudera yang tidak pernah ditanyakan pertanyaan seperti ini hanya memandang lelaki itu. Muka yang bersih dan bercahaya, matanya yang sedikit sipit namun indah untuk dipandang, dan mukanya yang tirus membuat siapa saja betah memandangi laki-laki yang berada di hadapannya ini.
Laki-laki itu menaikkan sebelah alisnya, bingung. Kenapa pria yang dihadapannya ini memandangnya begitu dalam? Apakah dia seorang laki-laki yang mempunyai penyimpangan orientasi seksual? Apakah dia--
"Bang, lo bahagia, nggak, hidup di dunia ini?"
Pertanyaan yang dilontarkan oleh Samudera membuat laki-laki itu terdiam, sambil memandangnya aneh. Terdengar kekehan yang dipaksakan di sebelahnya, "Pasti bahagia, ya?"
"Semua orang nggak ada yang nggak bahagia di dunia ini, Bro." katanya.
"Tapi, kenapa gue gapernah bahagia?"
"Belum waktunya lo bahagia, Bro. Masih ada momen-momen lain yang bakalan buat lo bahagia gak ketulungan, bahkan sampai lo lupa bahwa lo pernah sedih."
Samudera tidak mengindahkan perkataan lelaki itu, dia menatap sepatunya sambil menggigit bibir bagian dalamnya dengan kuat. "Kenapa harus Kakak, Bang? Kenapa nggak gue? Kenapa harus Kakak yang selalu dapet perhatian Mama Papa? Kenapa harus Kakak yang selalu dibawa jalan-jalan kemanapun itu tanpa gue? Kenapa harus Kakak yang selalu dapat kasih sayang dari Mama Papa? Kenapa bukan gue? Kenapa..." lirihnya. Pertanyaan itu masih menjadi tanda tanya besar di benaknya. Sampai saat ini, bahkan tidak pernah terjawab. Entah siapa laki-laki di hadapannya sekarang, namun hati kecil Samudera sangat yakin, bahwa laki-laki didepannya ini sangat baik. Terbukti dengan dia yang menepuk pundak dan mengelus surai Samudera.
"Nama lo siapa?" alih-alih menjawab pertanyaan Samudera, laki-laki itu malah menanyakan namanya. Samudera melirik ke arah laki-laki itu, ternyata, dia sedang memandang hamparan langit yang kosong, tanpa bintang, namun masih ada cahaya dari bulan yang menerangi malam.
Terlihat senyum tipis yang tercetak di wajah laki-laki itu, Samudera mengalihkan pandangan untuk melihat hamparan langit yang kosong itu, sama dengan laki-laki yang ada disebelahnya. Dia menghela napasnya pelan, "Samudera Andaru." katanya.
Tepukan di bahu Samudera perlahan berhenti, laki-laki itu menoleh ke arah Samudera. "Samudera Andaru?" tanyanya dengan raut wajah terkejut.
Samudera yang kebingungan hanya menatap laki-laki itu sambil mengangguk ragu, "Ya.. Samudera Andaru. Kenapa?"
"Adik dari Semesta Aradhana?"
Samudera lagi-lagi mengangguk, "Iya. Kok... lo tahu Kakak?"
"Gue temennya."
*****
Ada yang bisa nebak, nggak, siapa dia? Wkwkw.
"Harusnya gue tahu, kebahagiaan cuma milik Kakak. Gue sebenernya gapengen egois, tapi hati gue nggak bisa menolak, kalau gue iri." -Samudera Andaru
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta dan Samudera [HIATUS]
Teen FictionAngst Series #1 "Sam, dunia itu bergerak, dan juga berputar. Nggak berada di titik yang sama, begitu pula kehidupan. Hidup nggak selalu diatas, maka dari itu, bersyukur saat dimana lo masih diberikan napas dan dikasih kesenangan sama yang diatas. Lo...