03. Dirinya yang Hilang

356 39 1
                                    

2 Januari 2022

Empat tahun berlalu, dan kenangannya masih  belum bisa terlupakan. Kenangan dimana dirinya bermain bersamanya, kenangan dimana dirinya selalu dipeluk jika sedang dimarahi, dimana dirinya selalu dinasehati saat membuat kesalahan. Kenangan itu, masih membekas dipikirannya. Dan hatinya, terkadang masih belum bisa mengikhlaskan kejadian dimana dirinya tahu, bahwa Kakaknya, ternyata dibawa ke luar negeri. Ada yang hilang, dan itu adalah dirinya. Dirinya yang hilang. Samudera ditinggalkan begitu saja disini, di Indonesia. Tanpa dirinya, yang kesepian disini. Tanpa dirinya, yang hampa sendiri disini. Tanpa dirinya, yang masih terus-terusan menyalahkan dirinya karena tidak berpamitan terlebih dahulu.

Kenapa gue langsung kabur?

Kenapa gue nggak diem disana dulu aja?

Kenapa gue nggak langsung gerak cepat?

Masa lalu, biarlah berlalu; kata orang. Namun tidak dengan Samudera, dirinya masih menyesal karena tidak berpamitan, dan juga tanpa dirinya yang melihat wajah tampan namun lesu milik Kakaknya itu.

Otaknya setiap hari berpikir, Kakak kira-kira lagi apa, ya, jam segini? namun, tetap--pertanyaan, tanpa jawaban. Selalu begitu. Samudera selalu berpikir tanpa melihat keadaan, tanpa melihat sekitar, dan tanpa memperhatikan orang-orang yang memandangnya dengan tatapan beragam. Aneh, sedih, kasihan, dan tatapan prihatin lainnya.

Seperti saat ini, Samudera sedang melamun di kelas, padahal dosen sedang mengajar. Sudah berkali-kali dirinya ditegur, akan tetapi Samudera terus mengulangi lamunan itu. Sampai pada teguran ke-lima, Samudera harus terperanjat karena dosennya tiba-tiba berteleportasi--persis ada di sebelahnya. Dengan kacamata yang bertengger di kedua hidungnya, dan kemeja yang berwarna biru langit, dosen itu memandangnya tajam. Samudera memandangnya malas, oh, tidak. Lagi dan lagi.

"Kamu! Kalau nggak mau dan nggak minat di pelajaran saya, kamu bisa keluar! Menjadi sampah saja kamu. Pergi!" teguran dari dosennya membuat hati Samudera mencelos, matanya membulat untuk sementara waktu. Beberapa sekelebat bayangan lewat di pikirannya. Perintah dari dosennya itu langsung membuat Samudera bangkit dari kursinya dan berlari sedikit cepat untuk keluar. Matanya menerawang, tempat mana yang bagus untuk dirinya menenangkan diri?

Mata sipitnya menemukan tempat yang tepat untuk disinggahi. Taman dekat kampus, yang jarang didatangi oleh orang lain. Kaki jenjangnya bergerak dengan cepat, jarak dari kelas dan taman dekat kampusnya itu agak sedikit jauh. Sembari memegangi dada yang sakit juga matanya yang perlahan memburam, Samudera berlari tanpa menghiraukan decakan-decakan kesal Mahasiswa lain karena ditabrak olehnya. Tanpa meminta maaf, dan langsung melanjutkan larinya.

Dia sampai di taman itu. Dia duduk di salah satu bangku yang tersedia. Samudera langsung mendongak; menahan air mata yang hendak turun. Teguran dosennya tadi...

Pergi kamu! Kalau bisa, jangan kembali lagi!

Kalau kamu nggak bisa sepandai Kakakmu, lebih baik kamu pergi.

Pergi!

Samudera Andaru, lagi-lagi kamu membuat kekacauan. Apa nggak capek? Kamu pergi, sekarang juga.

Dasar benalu, anak tidak tahu diuntung, bisanya hanya menyusahkan orangtua saja. Bawa badanmu yang nggak seberapa itu pergi dari rumah ini, kami tidak butuh kamu.

Semesta dan Samudera [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang