Rumah Berduka

56 12 2
                                    

Pak, bagaimana kabarnya? Masih baik-baik saja, kan, Pak?

Pak, aku udah diterima di perguruan tinggi. Dan, ini, harapan Bapak, kan?

Tara, Ibu, dan Mas Dio, selalu menunggu Bapak hadir kembali. Di sini.

--Tiara Jayanti Setiadi.

Surat-surat yang tidak akan pernah sampai pada tangan orang yang dikirim surat itu, setiap hari ia tulis. Ia simpan sendiri di dalam buku hariannya, karena ia tahu bahwa harapan-harapan baik ini perlahan pupus, menjadi harapan palsu yang mau tidak mau harus ia telan mentah-mentah.

Bukan hanya itu, penyangkalan demi penyangkalan yang dilakukan oleh ibunya menjadikan sebuah luka baru bagi Tiara yang makin lama makin menganga. Kaus pendek berwarna putih polos apak berbau keringat yang terakhir dipakai bapaknya dan belum dicuci itu, masih digantung di hanger baju. Radio tip jadul dengan kaset pita yang selalu memutar lagu-lagu dangdut klasik; Rhoma Irama, Ireng Mashabi, A Rafiq, Asep Irama, dan lainnya, masih rutin dimainkan oleh ibunya setiap pagi. Aroma sayur lodeh mengepul masuk ke indra penciuman. Benda-benda mati itu seakan menjadi arwah baru untuk menghadirkan sosok bapak pada keluarga yang terpuruk itu.

Meskipun sangat sedikit peluangnya, sosok bapak itu hadir dalam keluarga itu lagi. Namun, segala harapan dan doa terus menjadi kekuatan bagi mereka untuk selalu percaya bahwa seseorang yang menjadi kepala keluarga itu hadir kembali, melihat rekah senyum anak-anaknya yang sudah akan menjadi orang dewasa.

Genap 6 bulan sudah kepergian bapaknya yang hingga saat ini menimbulkan tanda tanya besar; entah sekarang ada di mana, sedang apa, dengan siapa, masih sehat atau sakit, masih hidup atau mati. Kepergian yang disengaja itu seolah menjadi penyesalan, mengapa mereka lantas mengiyakan orang yang ia cintai itu pergi meninggalkan rumah.

“Makan dulu, Ra. Sayur lodehnya jangan dihabisin, sisain sedikit buat bapakmu, takutnya nanti tiba-tiba pulang,” ujar ibunya pada Tiara yang membuatnya selalu melenguhkan napas besar dan panjang.

“Iya, Bu.”

Ketakutan akan terganggunya psikologi ibunya, membuat Tiara semakin bingung apa yang harus ia lakukan. Kakaknya yang sekarang mengambil alih peran bapak menjadi tulang punggung keluarga, sehingga ia harus mau bekerja keras di pabrik yang membuatnya harus berangkat pagi pulang malam. Jadi, kakaknya hanya tau bagaimana kondisi ibu ketika malam yang ia pikir baik-baik saja, karena saat malam ibunya mengurung diri di kamar yang ia kira sedang tidur. Tiara pun, tak pernah bilang kepada kakaknya tentang kondisi psikis ibunya yang semakin ke sini semakin tidak baik, karena ia rasa akan mengganggu konsentrasi dan semangat kerja kakaknya.

Maka kekuatan yang membuatnya masih kuat menjalani hidup adalah kekasihnya. Hubungan yang sudah ia jalani kurang lebih 3 tahun itu masih bertahan hingga saat ini. Bagaimana ia akan meninggalkan atau menyia-nyiakan seseorang yang membuatnya paham akan cinta. Gema, kekasihnya, adalah kekasih pertama Tiara. Tiara merasa bahwa Gema sudah memberikan segala hal pada dirinya dan kehidupannya. Gema termasuk siswa berprestasi di sekolahnya, hingga ia selalu mengajarkan tentang teori-teori mata pelajaran yang tidak dipahami oleh Tiara, bahkan hingga Tiara lolos tes masuk perguruan tinggi, itu tidak jauh dari campur tangan kekasihnya itu. Karenanya, ia merasa bahwa peran kekasihnya begitu besar bagi perubahan kehidupannya yang signifikan. Meskipun Gema cukup kental dengan perfeksionisme, ptotektif, dan kediktatorialnya dalam hal percintaan, namun Tiara selalu mengesampingkan itu, karena ia pikir yang harus diprioritaskan adalah kebaikan apa yang diberikan.

Gema yang dari dulu memang tidak ada keinginan untuk melanjutkan studi, kini ia bekerja sebagai waiters di salah satu rumah makan. Sehingga upah dari kerja itu, kadang-kadang ia gunakan untuk mengajak kekasihnya keluar. Minggu siang, Gema mengajak Tiara keluar untuk sekadar menumpahkan kerinduan atau mengajak Tiara melupakan sejenak permasalahannya. Mereka berpamitan pada ibu Tiara dan mencium punggung tangannya.

“Yaudah, hati-hati. Jangan lama-lama, nanti bapakmu nyariin,” ujar ibunya berpesan yang lagi-lagi membuat Tiara mengembuskan napas besar.

“Baik, Bu,” jawab Gema.

Mereka pergi ke sebuah tempat yang sangat sejuk. Di bawah kaki gunung, dengan pemandangan pohon hijau rindang yang membuat mata dan pikiran teduh. Tiara tidak tahu mengapa pacarnya itu membawanya ke tempat seperti itu. Di dalam pikirannya, mungkin kesejukan tempat ini bisa meminimalisir panasnya pikiran yang sudah mendidih di kepalanya. Mereka berhenti di sebuah cafe yang lumayan unik, cafe outdoor di mana ketika menikmati kopi bisa sekaligus menikmati aliran air terjun deras di depan mata yang hanya tersekat oleh jurang. Kopi hangat itu menemani perbincangan mereka.

Gema menyalakan api pada ujung rokok, kemudian ia mengisapnya. “Masih kepikiran bapak?” tanyanya, yang sungguh itu adalah pertanyaan retoris. Namun, Tiara tidak pernah melawan dengan kekasihnya itu.

“Iya. Tiap hari,” jawabnya dengan melas.

“Kamu tau, kenapa kamu aku ajak ke sini?” tanyanya lagi, dan lagi-lagi retoris.

“Hmm, nggak tau,” jawab Tiara seadanya.

Gema mendekatkan wajahnya pada telinga Tiara, yang membuatnya sedikit harus mundur namun ia harus menahan agar tidak ada gerakan tubuhnya yang tercipta. “Aku mau kamu melupakan sejenak permasalahan kamu. Sekarang sudah mendingan?” bisik Gema.

Tak menjawab, Tiara hanya mengangguk.

“Aku akan mengajak kamu untuk makin tenang lagi, mau?” tawarnya.

Kali ini Tiara benar-benar tidak menjawab, tak ada bahasa isyarat juga yang terucap.

“Kita check-in ke hotel. Kita menikmati sepanjang hari ini, di sana. Meluapkan emosi dan melupakannya.”

DEGGG. Sungguh Tiara seperti berada di antara ambang hidup dan mati. Di satu sisi ia tidak mau melakukan hal bodoh seperti itu, di lain sisi ia takut jika ia menolak permintaan pacarnya, karena sepanjang menjalin hubungan, Tiara tidak pernah menolak apa yang diminta oleh kekasihnya, karena ia tahu, jika ia tolak, maka pacarnya akan sangat marah. Dan ini adalah permintaan pertamanya yang sungguh amat nyeleneh dan nggilani. Dengan berani, Tiara menggelengkan kepalanya cepat memberikan isyarat penolakan.

Melihat respon tersebut, air muka Gema berubah serius menatap tajam kekasihnya. “Kamu tau, Ra. Banyak loh, wanita di luaran sana yang suka sama aku. Tapi aku selalu menolak dan menahannya, karena aku sudah punya kamu. Tiga tahun, Ra. Aku bisa saja kok pacaran sama mereka, menikmati tubuhnya. Tapi aku masih ingat kamu, dan, ternyata kamu seperti nggak peduli gini dengan keinginanku, bahkan upayaku untuk membuatmu tenang.”

“Sayang, ini bukan soal peduli atau enggak. Tapi, aku benar-benar belum siap untuk melakukan hal itu dan efek ke belakangnya nanti,” jawab Tiara perlahan.

“Atau memang, kamu mau minta aku selingkuh?” jawabnya dengan senyum sinis.

“Bukan gitu maksud aku, Say—“

“Oke, aku akan selingkuh,” selanya. Gema berdiri, “Ayo kita pulang.”

Sontak, jantung Tiara seperti jatuh ke tepi jurang itu.

PerantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang