Lodeh

23 4 1
                                    

Pagi ini, di ruang Kaprodi, beberapa mahasiswa berkumpul—mahasiswa yang mendapat dosen PA Kaprodinya sendiri tentunya, berkumpul di ruangan tersebut. Tara yang sejak tadi datang, sibuk melihat berkas-berkas yang ia bawa. Dengan rambut sepundak yang ia biarkan terurai, membuatnya tak sesekali menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, dan kacamata yang sering melorot ia benahi berkali-kali.

Pak Jatmiko, dosen Kaprodi yang terkenal cukup santai, luwes, humor, tapi intens. Beberapa mahasiswa sudah berkumpul, Pak Jatmiko segera membuka percakapannya perihal pengarahan laporan dan evaluasi studi semester ganjil. Semua mahasiswa yang berada di ruangan tersebut begitu khidmat mendengarkan pengarahan yang sesekali diselipi dengan dialog gayeng sehingga mereka pun kadang-kadang tertawa di tengah keseriusan. Di tengah pembicaraan yang cukup panjang itu, suara ketukan pintu terdengar. TOK... TOK... TOK....

“Masuk,” ujar Pak Jatmiko mempersilakan.

Kenop pintu bergerak ke bawah, muncul seseorang dari balik pintu, “Assalamualaikum.”

DEG. Tara cukup tereperanjat melihat lelaki kerempeng berkacamata yang baru saja datang itu. Ya, dia adalah Esa, lelaki yang ia temui kemarin sekaligus yang menemukan kotak berisi foto miliknya yang jatuh. Tara dan Esa, tentu sama-sama kaget, karena seperti disengaja oleh semesta, mereka dipertemukan lagi di suatu tempat yang tidak disangka-sangka. Esa yang baru datang itu langsung menyalami Pak Jatmiko, “Maaf, Pak, telat,” ujarnya dengan sesekali menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal itu.

“Dari mana?”

“Ketiduran, Pak.”

“Ketiduran siapa?”

“...” seisi ruangan lagi-lagi dipenuhi oleh gelak tawa.

Setelah pengarahan itu selesai, para mahasiswa meminta tanda tangan dan segera keluar meninggalkan ruangan tersebut. Tara berjalan keluar, tiba-tiba ia merasakan nyeri di perut hingga menjalar ke punggungnya. Ia berhenti sejenak dan memegangi perutnya, lantas ia duduk di bangku karena nyeri di perutnya semakin menjadi-jadi. Tiba-tiba, Tara melihat Esa baru saja keluar dari ruangan Kaprodi, dan ia berpura-pura untuk tidak apa-apa, tapi percuma raut di muka Esa sudah tergambar jelas kekhawatiran.

Esa melihat ke arah Tara dan sesekali menyipitkan kedua matanya untuk memastikan apakah itu benar-benar Tara dan apa yang sedang terjadi padanya. Esa memang terkenal orang yang cukup cuek dengan siapa pun apalagi orang yang baru dikenal, namun entah setan apa yang merasukinya, ia berjalan menghampiri Tara, “Kamu kenapa?” tanyanya.

“Oh, enggak, nggak apa-apa,” ujar Tara beralasan dibarengi dengan senyuman, namun sungguh nyeri itu begitu tidak bisa diajak kompromi sehingga membuatnya tidak tahan untuk tidak memegangi perutnya.

“Oh, enggak. Kamu sakit perut, kan? Sudah sarapan tadi?”

“Sudah, kok, Mas. Em, aku pamit balik, ya,” jawab Tara seadanya dan kemudian berdiri.

Esa menarik perlahan, “Oh, nggak, jangan, bahaya. Jangan, jangan. Kamu tunggu di sini, aku cari makanan dulu di kantin.”

Tara benar-benar tidak enak dengan lelaki itu. Bagaimana tidak? Sungguh ia tidak terbiasa diperlakukan seperti itu oleh lelaki yang belum ia kenal sebelumnya. Ia tetap memegangi perutnya dengan sesekali memejamkan kedua matanya. Tiba-tiba Esa kembali dengan tangan kosong dan tentu saja disampingnya sudah ada sahabatnya yang senewen itu. “Eh, kantin masih tutup. Tapi kamu boleh ke kos ku, deh, aku bisa masakin kamu,” tawar Esa.

Tara dengan cepat menggelengkan kepalanya, “Oh, nggak, nggak usah. Aku pulang aja, Mas.”

“Jangan, Tara. Ini membahayakan. Kalau kamu tiba-tiba jatuh di tengah jalan gimana?” Esa terus mendesak Tara.

“Iya, Tara. Enggak apa-apa, kok, kami biasanya juga ke kos Esa sama temen cewek-cewek juga. Esa nih jago masak, kamu biar tahu gimana lezatnya masakan siluman koki itu,” Wicak meyakinkan sekali lagi.

“Yah? Hanya kali ini, oke?”

Tara sungguh tidak bisa menolak ajakan dua manusia itu. Ia hanya bisa menghela napas dan mengangguk mantap. Akhirnya, ketiganya menuju kos Esa. Kos yang nampaknya bukan seperti kos bagi Tara, ketika ia pertama melihatnya. Bagaimana tidak, Kos ini memiliki paket lengkap yang sudah dilengkapi dengan garasi mobil, dua lantai, dan di dalamnya juga cukup luas.

Mereka berkumpul di dapur. Esa sibuk mencari bahan masakan seadanya di kulkas, di laci masakan, di seluruh pojok ruangan dapur. “Oh, iya, aku kebetulan ada nangka muda. Kita buat sayur lodeh aja, gimana?”  tawarnya.

“Terserah, yang penting makan. Udah 5 tahun, nih, perut kosong,” jawab Wicak ngaco.

Tara hanya mengangguk setuju.

Setelah menyiapkan bahan masakan, Esa memulai aksi memasaknya. Tara sedikit-sedikit membantu memotong nangka muda, mengiris cabai merah, dan sesekali ia berdecak kagum melihat begitu lihainya seorang Esa ketika memasak. Sekelebat-kelebat ada sosok bapaknya dalam diri Esa yang sama-sama suka dan pandai memasak, namun ia mencoba untuk menepis hal itu, karena ini bukan situasi dan kondisi yang tepat untuk bersedih.

Aroma bumbu halus campuran bawang merah, bawang putih, kemiri, kencur, dan ketumbar, yang dipadukan dengan santan itu begitu harum merangsang hidung Tara. Tara pun segera menyiapkan piring, sendok, dan peralatan makan lainnya di meja makan. Setelah sayur itu matang, lantas Esa menggoreng ayam yang sudah ia siapkan. “Itu bukan ayam tiren, kan, Sa?” celetuk Wicak yang sedari tadi berdiri di belakang Esa.

Setelah matang semua, mereka bertiga menikmati kudapan spesial buatan Esa. Suapan pertama Tara, DEG, karena masakan itu sama sekali tidak ada bedanya dengan masakan bapaknya. Ada sedikit sesak di dadanya, yang membuatnya sesekali harus mengangkat kepalanya agar tidak ada air mata yang jatuh.

Wicak yang begitu lahap makan tiba-tiba berbicara, “Sa, seharusnya lu tuh, kalau jago masak, badannya harus gemuk kaya Chef Arnold. Lu, enggak, kerempeng, udah kaya sedotan kopikap.”

“Kan, aku yang masak, lu yang makan,” protes Esa kembali.

“Iya, juga, sih.”

Di tengah guyonan itu tiba-tiba air mata Tara turun begitu deras dari kedua matanya. Esa dan Wicak yang sedari tadi lahap menikmati makanan, beralih pandang melihat satu-satunya wanita di ruangan tersebut yang sedang menangis. Esa menautkan kedua alis tebalnya, bingung karena tidak ada sebab apa pun Tara tiba-tiba menangis, “Eh, Tara, kenapa?”

Mendengar pertanyaan Esa, Tara segera menyeka air matanya yang yang jatuh itu, “Ehm, ti-tidak apa-apa, Mas,” ujarnya beralasan.

“Mungkin kepedesan? Lu, sih, Sa, kalau masak udah kaya masakan ala neraka Hutamah.”

Tara tersenyum tipis, sembari tetap sibuk membersihkan air mata di pipinya, “Enggak, kok, ngga pedes. Sudah pas, sangat enak,” puji Tara.

Drrrttt... drrrttt... drrrttt....

Terdengar suara getar ponsel di dalam tas Tara, ia bergegas mengambilnya. Terlihat di layar ponsel, Mas Dio menelponnya. Tara bingung, karena tumben sekali kakaknya itu menelponnya di jam-jam kerja seperti ini. Ia berjalan keluar melalui pintu dapur, segera mengangkat teleponnya.

“Iya, ada apa, Mas?” tanya Tara membuka percakapan.

“Di mana?”

“Di rumah temen. Kenapa, Mas?”

“Ibu pingsan, cepat pulang kalau tidak ada tugas.”

Mendengar hal itu, Tara semakin panik. “Iya, aku balik, Mas,” ujarnya kemudian menutup telponnya.  Setelah itu, Tara langsung masuk ke dapur mengambil tasnya. “Aku mau pulang dulu, ya, Mas. Terima kasih makanannya, enak, sekali, hehe. Maaf tidak bisa ikut beres-beres, ditungguin soalnya.” Tara meminta izin sekaligus terima kasih pada Esa sembari berjalan ke depan diikuti oleh Esa. Wicak sibuk membereskan peralatan makanan.

“Loh? Aku anterin, ya.” Esa menawarkan.

Tara menggelengkan kepalanya diikuti dengan senyuman, “Gak usah, Mas.”

“Terus kamu sama siapa? Sudah nggak apa-apa?”

“Gapapa kok, Mas. Oh, anu, aku udah pesan gojek,” ujarnya beralasan.

“Yaudah, hati-hati, Tara,” ujar Esa pada Tara yang sedang berjalan menuju jalanan, dan kembali masuk ketika langkah kecil itu hilang dari pandangannya.

Ia kembali masuk ke kosnya. “Sa, ini bukunya Tara?” Wicak menunjukkan buku berwarna biru, “Aku nemu di bawah meja tadi.”

“Oh, iya sini, biar aku kembalikan besok.”

Ketika malam, ia teringat buku biru itu. Entah kenapa, ia begitu penasaran dengan isi buku itu, sungguh rasa penasarannya tak bisa dibendung lagi. Ia mengambil buku biru yang ia taruh di dalam lemarinya itu. Perlahan ia membuka halaman pertama di buku tersebut, terpampang jelas tulisan cukup besar memenuhi lembar kertas pertama.

BAPAK.




PerantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang