Persetujuan

11 4 1
                                    

Tara cukup kaget melihat pacarnya yang baru saja datang itu. Gema berjalan ke kursi ruang tamu, menyalami lelaki yang baru ia temui itu. “Esa, temannya Tara,” ujar Esa.
“Iya. Gema, pacarnya Tara,” balas Gema.

Esa beranjak dari tempat duduknya dan pamit untuk segera pulang. “Tara, aku balik dulu, ya.”

“Loh, kok cepet-cepet, Mas?” tanya Gema.

“Udah dari tadi, kok, Mas. Cuma ngembaliin buku, Mas, nggak lama-lama,” ujarnya kemudian menyalami Tara, “Tara, duluan, ya. Salam untuk Mas dan Ibu kamu.”
“Iya.”

***

Tara mengembuskan napas begitu lega, syukur yang tak terhingga. Ia menikmati perjalanan ini dengan Gema setelah beberapa minggu mereka tidak pernah bertemu. Mereka sudah memasuki sebuah kawasan menanjak, mereka disambut oleh udara sejuk yang terlampau sejuknya, sehingga membuat Tara sedikit menggigil kedinginan. Tanpa ragu, ia memeluk tubuh pacarnya dari belakang.

Gema cukup kaget, sehingga ada sedikit gerakan yang membuat Tara bingung. “Kenapa, Sayang?” tanya Tara.

“Oh, eh, gapapa.”

Tara semakin mengeratkan pelukannya sembari memejamkan kedua matanya. Ada bayangan indah yang menari-nari di dalam kepalanya, ia membayangkan bahwa suatu hari nanti yang entah kapan ia dan pacarnya akan hidup bersama menikmati hari-hari, menjadi laki-laki ketiga yang paling ia sayangi di dunia ini setelah ayah dan masnya sehingga untuk kehilangan Gema rasanya tidak mungkin bagi Tara. Ia berimajinasi jika saja ia bisa memesan takdir, mungkin ia akan memesan saat ini dan seterusnya ia akan hidup bersama dengan Gema di dunia maupun kehidupan selanjutnya.
Gema mencoba untuk tetap fokus berkendara, meskipun cemas, takut, ragu, khawatir, semua beradu menjadi satu. Ia berpikir bahwa, hubungannya dengan Tara hanya sebatas drama yang akan berakhir dengan waktu yang cepat. Dan kehidupannya dengan Novita adalah masa depan indah yang tidak ia inginkan saat ini. Untuk mengatakan usai pada Tara adalah bukan perkara yang mudah baginya, pun ketika ia berpikir untuk mengakhiri saja hubungan rumah tangganya dengan Novita juga bukan perkara yang remeh-temeh, karena ia tidak mau mencoreng nama baik ayahnya di perusahaan, dan mungkin ketika ia memutuskan untuk mengakhiri saja hubungannya dengan istrinya akan berefek buruk pada kesehatan ayahnya. Maka ia hanya bisa mengumpat, Asu.

Gema memarkirkan motornya di area tempat ngopi yang sama seperti kemarin. Ada sedikit ketakutan yang tebersit di hati Tara, namun ia mencoba untuk menepis segala ketakutan itu dan mengambil kuda-kuda jika saja nanti pacarnya akan berbuat macam-macam dengannya.

Mereka berjalan menuju tempat pemesanan. “Cappucino aja, Mas. Dua.”

“Iya, Mbak. Duduk di mana?”

“Senja.”

Tempat kopi ini memang menyuguhkan tempat outdoor, jadi tempatnya sangat luas. Dan di setiap wilayah tempat duduk di beri nama, seperti senja, rindu, mentari, dan lainnya. Mereka berjalan ke tempat duduk, Tara mengedarkan pandangannya ke segala arah sedangkan Gema sibuk dengan benda kesayangannya yang tidak pernah ketinggalan apalagi ke tempat yang epik seperti saat ini, ia mengotak-atik beberapa tombol di kameranya.

“Kamu harusnya cantik seperti itu, Ra,” kata Gema pada Tara, sembari mengangkat alisnya yang menunjuk pada seorang gadis yang duduk tak jauh dari tempat mereka duduk.

“Iya, Sayang. Ini kurang cantik?” jawab Tara dengan senyuman yang entah itu senyum tulus atau senyum hampa.

“Ya, harusnya, kan. Hmm, misalnya, rada gemukan dikit, biar kalau dipeluk tuh anget, hahaha. Atau misal, tingginya kita sama, terus rambutnya rada panjang, kalau kamu sepundak gitu terkesan tomboy gitu, Sayang.”
Bukan satu atau dua kali, Gema mengatakan seperti itu pada pacarnya. Yang kadang-kadang membuat Tara bingung dan gelisah, apa yang harus ia lakukan agar selalu terlihat cantik di mata pacarnya. Apalagi setelah kejadian beberapa waktu yang lalu, saat Tara menolak ajakan pacarnya untuk indehoi bertameng meluapkan emosi itu. Ancaman untuk selingkuh itu seakan menjadi ujian berat baginya, karena ia pikir, jika ia hidup tanpa Gema, mungkin ia akan semakin tidak waras menjalani kehidupan.

Sejak dua minggu kemarin Tara mengajak Gema untuk bertemu, namun Gema selalu mengatakan bahwa masih sibuk bekerja. Dan, yang paling ia khawatirkan, Gema susah dihubungi, ia takut ancaman itu bukan main-main. Dan, jika memang Gema selingkuh, Tara selalu mengutuk pada dirinya lebih baik tidak hidup.

Sejak kemarin Gema baru bisa dihubungi dan merespon dengan cepat. Dan sekarang mereka baru bisa bertemu dan kembali mengopi di tempat yang sama seperti beberapa waktu yang lalu. Tak menutup kemungkin, Tara sebenarnya masih takut dan trauma jika pacarnya itu mengajaknya ke tempat ini lagi. Namun, mau bagaimana lagi, ketakutan dan kekhawatiran akan dilepasnya ia dari pacarnya mengalahkan ketakutan itu semua.

Kalung monel emas kopel yang mereka kenakan, ya, seperti anak muda kebanyakan, mereka mengenakannya dengan tujuan karena adanya hubungan spesial yang mereka jalani. Tara melihat sekilas di leher Gema, kalung itu tidak ada. Tak memprotes apa pun, Tara tetap melihat pacarnya yang keasyikan mengambil gambar dengan kamera dslr hitamnya.

“Yang ini bagus nggak?” tanya Gema sembari menunjukkan hasil jepretan melalui layar LCD kamera. Sebuah gambar pemandangan lanskap yang epik, dua burung prenjak yang beradu paruh di ranting pohon dengan latar belakang air terjun.

“Iya, bagus sekali. Itu filosofinya, kedua burung itu kita?” ujar Tara sembari menebak-nebak.

“Ehm, iya. Dan air terjun itu cinta kita.”

“Maksudnya?”

“Mengalir deras, menukik dan menghantam batu yang keras,” jawab Gema berbisik.

“Ha?”

“Sudah nggak perlu dipahami. Eh, aku mau ke kamar mandi dulu, ya.”

“Iya, eh, pinjam kameranya, Sayang.”

Gema memberikan kameranya itu pada Tara dan bergegas ia menuju kamar mandi karena sudah tidak bisa menahan air kencing yang sepertinya sudah berada di ujung itu. Tara melihat hasil jepretan Gema, sungguh indah menurutnya. Hingga ia menghentikan jempolnya untuk menekan tombol next ketika LCD kamera itu menampilkan sebuah gambar wanita dengan rambut lurus yang lumayan panjang, dengan pakaian kasual yang sangat cocok ia kenakan, Tara terus menatap gambar wanita tersebut hingga Gema datang kembali ke tempat duduknya. Tara kemudian menunjukkan gambar wanita itu pada Gema, “Sayang, ini siapa? Model kamu?”

Gema yang baru saja menyalakan api di ujung rokok dan mengisapnya, tiba-tiba ia tersedak, “Uhuk, uhuk. Eh, iya, itu model aku,” jawabnya sembari memegangi lehernya karena sedakan itu membuat tenggorokannya sakit, sehingga Tara dengan segera memberikan air putih mineral yang ia bawa.

“Minum dulu.”

Ada sebuah sinyal yang ditangkap Tara dari respon pacarnya tadi. Pemikiran buruk muncul ditambah dengan sulit dihubunginya Gema akhir-akhir ini yang menjadi alasan kuatnya. Namun, Tara tetaplah Tara, tidak akan berani merusak suasana baik dengan orang yang disayangi hanya karena masalah yang sepele seperti tadi. Ia hanya duduk melihat Gema meminum air putih. Pada detik berikutnya, mereka beradu pandang dan dengan serentak keduanya mengatakan, “Aku boleh tanya, nggak?”
Tak ada yang menjawab, keduanya sama-sama tertawa karena apa yang diucapkan secara serentak tadi seperti adegan pada suatu film yang sudah diskenariokan. “Kamu dulu, deh,” ujar Gema.

“Gapapa, nih?” tanya Tara memastikan dengan senyuman tipis, dan senyuman itu yang membuat Gema selalu meleleh.

“Iya, Taraaaa.”

“Hmmm... jadi gini, kamu tuh sebenarnya beberapa hari kemarin kemana, sih? Sibuk kerja? Tapi kamu biasanya, sesibuk-sibuknya kerja tetap ngabarin. Tapi, kemarin nggak sama sekali. Aku tuh khawatir, Sayang.”

DEG. Sungguh pertanyaan itu membuat Gema cukup kaget dan kemudian ia menelan ludah dengan susah payah. “Gini. Aku tuh, lagi ada rencana bisnis. Ya, bisnis kecil-kecilan gitu. Rencananya mau buat tempat kopi, tempatnya sudah nemu sih. Beberapa hari kemarin memang aku sibuk, karena dikit-dikit harus ketemu dengan orang yang memang akan membantu usahaku ini, harus ketemu dengan pembisnis untuk belajar ke mereka. Ya, kan, aku masih belum ada pengalaman dalam hal ini, jadi masih perlu banyak mencari ilmu dari orang-orang itu,” jelas Gema.

Sungguh alasan yang masuk akal bagi Tara. Ia mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. “Ehm, tapi ini usaha kerja sama atau kamu sendiri, sih?” tanya Tara.

Gema menaikkan kedua alisnya seakan antusias menjawab pertanyaan itu, yang padahal ia bingung harus menjawab apa, “Eh, yaaa, gimana, ya. Karena aku, kan, masih belum punya pengalaman, jadi ya perlu ada bantuan gitu dari orang lain. Mungkin 30 persennya dia dan 70 persennya aku. Dan, karena, memang perusahaan dia juga cukup banyak, mungkin nanti ketika aku sudah lihai dalam mengelola usahaku, itu akan menjadi milik aku seratus persen.”

Tara kembali mengangguk setuju dan ia akan terus mendukung usaha pacarnya itu, “Iya, sih, bagus itu, Sayang. Lagian kan kamu emang berbakat dalam hal administrasi dan matematika seperti itu. Aku yakin sih, akan berhasil. Ya, betul, kata kamu waktu itu, sukses itu tidak perlu sekolah tinggi, ketika kita ada usaha untuk maju maka kesuksesan akan datang. Bukankah gitu, Sayang?”
“Hahaha, kamu masih ingat aja. Tapi, kuliah juga penting, jangan karena aku pernah ngomong gitu, kamu males-malesan kuliahnya.”

“Ya, enggaklah, Sayang,” jawab Tara dengan senyuman yang dengan sesekali menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, “Ya, siapa tahu, kan. Bisnis itu akan sukses, ketika kita menikah nanti paling tidak sudah punya bisnis meskipun kecil-kecilan. Aku tuh, selalu ngebayangin, bagaimana, ya, ketika kita menikah nanti, selalu bareng siang dan malam, terus punya anak yang akan membuat hidup kita jadi lebih lengkap,” lanjut Tara dengan kalimat ekspektasinya yang sungguh membuat Gema mengembuskan napas besar karena Gema berpikir apa yang menjadi ekspektasi Tara saat ini sepertinya tidak mungkin terjadi—tidak mungkin.

Gema tersenyum kaku, “Eh, i-iya, ya,” jawabnya dengan gugup. “Oh, iya, aku mau tanya sekarang,” lanjutnya mencoba untuk mengalihkan topik.

“Oh, iya, tanya apa?”

“Tadi yang ke rumah kamu siapa?”

“Oh, itu, kakak tingkat aku. Dia ngembaliin buku. Aneh sih, dia.”

“Aneh? Kenapa?”

“Ya, aneh aja, dia mau bantu aku cari Bapak.”

“Loh, kenapa aneh?”

“Gimana nggak aneh. Dia kan orang baru yang aku kenal, tiba-tiba dia mengajukan diri menjadi pahlawan gitu. Kan ini, bahaya, nggak sih, orang-orang yang udah lama kenal dengan aku aja nggak pernah menawarkan seperti itu, keluargaku, saudaraku, bahkan kamu pun, karena tahu ini bahaya, dan aku pun tidak pernah menyuruh mereka terutama kamu untuk membantuku. Nah, dia yang baru tahu permasalahanku, seperti menyerahkan diri masuk ke kandang macan gitu,” jelas Tara.
Gema menaikkan satu alisnya, “Kalau mungkin dia punya nyali dan pengalaman yang matang, kenapa enggak, Ra? Atau mungkin dia punya kanal-kanal yang bisa membantunya? Atau mungkin dia anak orang berada sehingga bisa dengan mudah menembusi permasalahan Bapak kamu yang urusannya sama-sama dengan orang berada.”

Tara sungguh tidak paham dengan respon Gema. Bagaimana mungkin, seorang Gema yang biasanya posesif, over ptotektif, cemburuan, kini ia berubah drastis seakan mengiyakan dan menyetujui orang lain masuk ke dalam kehidupannya. Namun, ia tetap berpikir positif, mungkin ini karena ada hubungannya dengan pencarian Bapak, sehingga dengan mudah ia menyetujui. “Kamu marah?” tanya Tara memastikan.

Gema menaruh rokoknya di meja kemudian tertawa pelan, “Emang aku kelihatan marah? Ini demi kebaikan kamu, Ra, aku nggak bakal marah. Demi Bapak kamu, apa pun lakukan, aku nggak pernah marah,” jelas Gema.

Tara memberikan jari kelingkingnya pada Gema, “Janji?”

Gema membalasnya dengan kelingkingnya yang diikatkan ke kelingking Tara, “Janji.”

***

Tara membanting tubuhnya ke kamar, setelah tadi memberikan oleh-oleh bahan masakan untuk ibunya. Ia memejamkan matanya sebentar, berkontemplasi sejenak akan hubungannya dengan Gema yang sampai detik ini masih baik-baik saja. Ia bersyukur karena sampai detik ini ia bisa melewati cobaan apa pun yang datang dalam hubungannya, Gema pun masih menerima dirinya dan memperlakukannya dengan baik. Dan yang paling ia syukuri adalah, Gema menjadi lebih peka akan sensitivitas dirinya. Ia teringat dengan ucapan Gema mengenai lelaki bernama Esa itu.

Tara bangkit dari tempat tidurnya, bergegas menuju kamar Mas nya. Ia terobos kamar yang tertutup itu,ia dapati Mas nya sedang rebahan dan tangan yang sibuk memainkan ponsel. Tanpa ba bi bu, Tara menceritakan panjang lebar tentang lelaki bermobil yang tadi pagi datang ke rumahnya dan tujuan kedatangannya itu.

“Kalau mau, kenapa tidak, Ra? Kita nih udah capek nggak sih sembunyi-sembunyi? Menutupi kesedihan kita sendiri, apalagi kesehatan ibu, itu juga harus dipikirin. Kalau dia mau, ya, nggak apa-apa. Yang penting kita tidak memaksanya, kan?” Tatapan Mas Dio kosong ke depan, “Apa yang dikatakan pacarmu mungkin benar. Mungkin saja dia punya keamanan sendiri, sehingga bisa dengan mudah menawarkan diri seperti itu.”

“Oke, Mas. Tara coba hubungi dia lagi, ya.”

PerantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang