BAPAK.
Akhir ini, sama sekali tidak ada percakapan di antara kami sekeluarga, hanya raut kesedihan yang terpancar jelas di wajah Bapak, yang selalu membuatku penasaran apa yang sebenarnya terjadi. Hingga seringkali aku meletakkan kupingku di pintu kamar Bapak dan Ibu, barangkali mereka sedang saling berkeluh kesah tentang urgensi yang sedang dialami. Tapi selalu nihil.
Sore itu, seminggu setelah Bapak resign dari tempat kerjanya. Entah apa sebabnya, aku tidak tahu. Bapak mengumpulkan kami di ruang tengah; Ibu, Mas Dio, dan aku. Kami duduk menghadap Bapak—dan itu adalah kali pertama keluarga kami melakukan hal yang sepertinya tidak biasa. Untuk berkumpul pun, biasanya kami hanya sekadar makan bersama atau nonton televisi. Tapi tidak, saat itu adalah pembicaraan yang cukup sakral dan serius.
Aku melihat tubuh Bapak yang makin tua, kulit di wajah yang mulai mengendur, beberapa kumis dan rambutnya yang memutih, aku tidak tahu kenapa ada seseorang yang sekuat itu dan aku tidak pernah membayangkan bagaimana hidupku jika tidak ada sosok Bapak.
Bapak mengambil napas panjang sebelum memulai pembicaraannya, “Anak Bapak, mungkin kalian belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan, hari ini mungkin adalah waktu yang tepat untuk Bapak bicarakan dengan kalian dan agar Bapak tidak menutup-nutupinya juga. Seminggu ini, sebenarnya Bapak bukan resign, tapi Bapak dipecat dari perusahaan.”
Sungguh, kata “pecat” membuat segala kecurigaanku memuntah. Karena, aku yakin memang ada yang tidak beres selama ini.
“Bapak dipecat, karena sedang mencari keadilan. Setahun ini, memang sedang ada pergantian direktur utama di perusahaan tempat Bapak bekerja. Dan beberapa bulan ini, perusahaan sedang mengalami problem yang berefek pada karyawan, terutama Bapak. Kami, beberapa karyawan sepakat untuk mencari keadilan,” lanjutnya.
Mas Dio yang biasanya menjadi pendengar yang baik ketika Bapak mendongeng, tapi saat itu tidak, “Permasalahan apa, Pak?”
“Kami para karyawan tiga bulan terakhir, digaji 50 persen dan itu bukan termasuk upah lembur. Dan kami dijanjikan akan mendapat tunjangan 20 persen dari total seluruh gaji ditambah dengan sisa 50 persen gaji yang belum diberikan. Tapi, sampai sekarang masih belum ada kepastian. Bapak bekerja keras karena ada nyawa-nyawa yang harus Bapak hidupi, berusaha keras agar bisa menjalankan tugas seorang Bapak dengan baik, tapi sepertinya yang berkuasa hanya berani dengan orang-orang miskin seperti Bapak,” ya, Bapak mengatakan itu dengan berapi-api, aku masih ingat, nempel betul.
Jadi intinya, karena masalah tersebut yang membuat permasalahan pribadi Bapak semakin benjut dan memekikkan. Akhirnya, Bapak, memutuskan untuk mencari keadilan dengan beberapa karyawan yang memang satu pemikiran dengan Bapak, namun ada juga karyawan lain yang memilih patuh daripada kena imbasnya. Pencarian keadilan mereka lakukan dengan cara mogok kerja dan aksi pemboikotan direktur utama yang sudah ditandatangani oleh pihak internal dan eksternal. Dari aksi-aksi tersebut, ternyata Bapak diindikasi sebagai dalang atas kerusuhan dan upaya pelengseran direktur utama itu, dan Bapak dituduh melakukan afiliasi dengan organisasi-organisasi bendera hitam.
Hari pertama dipecat, tidak ada indikasi itu, hanya saja Bapak dipecat secara tidak hormat tanpa diberikan uang PHK. Namun tiga hari terakhir, Bapak mendapatkan informasi bahwa nama-nama yang menjadi dalang atas kerusuhan sudah tersebar, dan di situ terdapat nama Bapak. Dua hari yang lalu, kata Ibu, juga ada dua orang ke rumah, menyamar sebagai teman kerja Bapak, mencari Bapak. Tapi Ibu sudah mengetahui sindikat tersebut, dan mengatakan pada mereka bahwa Bapak pergi ke luar kota. Tentu, kami sebagai anak, tidak banyak berpikir panjang, menyarankan Bapak untuk melaporkan saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perantara
Teen FictionSebuah cerita tentang puing-puing luka, dan sebaiknya jangan pernah mengumpulkannya lagi. Sekelumit kisah tentang kehilangan dalam kehidupan seorang gadis remaja kuliahan. Kehilangan pertamanya, diawali oleh hilangnya sosok Bapak dalam keluargany...