Sebuah Ikhlas

17 3 1
                                    

“Dia ternyata kating semester 4,” jelas Tara pada sahabatnya.

Tara menceritakan kedekatannya dengan Esa pada teman sekelas yang sudah menjadi sahabatnya sejak baru masuk ke kampus tersebut. Kedekatan Tara dan Esa yang diceritakan membuat Priska, sahabatnya itu, cukup terkejut. Karena bagaimana mungkin seorang Tara bisa mengenal orang baru dengan mudah, karena dengan teman sekelasnya pun Tara masih belum bisa sepenuhnya berbaur. Apalagi Esa adalah seorang kakak tingkat yang notabene laki-laki, karena Tara juga masih punya pacar yang biasanya diceritakan dan dipuji-puji di depan sahabatnya itu.

Sebenarnya, Tara selalu berusaha membuka dirinya untuk orang lain. Tapi karena dirinya sedikit trauma, akan beberapa kejadian pahit dalam kehidupan sosialnya, yakni, ketika teman-teman SMA-nya tahu jika Bapaknya adalah seorang buron yang sedang dicari-cari keberadaannya, sehingga ia dijauhi oleh beberapa teman bahkan sahabatnya dan menjadikannya merasa dikucilkan. Sekarang pun ia perlahan untuk berusaha membuka diri, menghancurkan sedikit tembok tinggi dalam dirinya yang mungkin saja mengganggu aktivitas sosialnya. Karena ia pun sadar, apa yang dilakukan Bapaknya sekarang itu bukan diakibatkan oleh kecerobohan sikap maupun perilaku yang menjijikkan, tapi ada usaha Bapaknya untuk mendapatkan keadilan. Dan, untuk persepsi orang lain ia berusaha untuk menjadikan semua itu sebagai kebebasan berpikir orang lain.

Maka, saat ini, ketika seorang laki-laki yang datang di hidupnya, yang mengulurkan bantuan padanya. Ada sedikit harapan di dalam hati Tara, mungkin saja ketika nanti ia sudah menemukan Bapaknya, ia akan membuktikan bahwa apa yang dilakukan Bapaknya ini benar-benar tidak salah, bahkan Bapaknya sedang memperjuangkan kebenaran. Maka, ia persilakan seorang Esa, seorang laki-laki yang mungkin saja baik itu menurutnya, masuk dan bertandang ke dalam kehidupan dan permasalahannya. Mulai detik ini, ya, detik ini.

===

Di kantin Fakultas Sastra, mereka, Esa dan Tara bertemu setelah kemarin Tara menghubungi Esa dan mendapat persetujuan juga dukungan dari Masnya dan juga Gema untuk memberikan kesempatan kepada Esa untuk membantunya menyelesaikan permasalahan yang sudah mengendap hampir setengah tahun lebih itu.

“Maaf, aku kemarin seperti menolak mentah-mentah bantuan dari kamu, Mas. Tapi aku sudah cerita dan meminta saran pada Mas dan juga Gema, pacarku, dan ternyata mereka sangat menyetujui. Ya, karena mereka lah yang bisa memberikan jalan yang terbaik untukku, Mas,” ungkap Tara pada Esa.

Sungguh Esa mendengarnya dengan sangat antusias, “Iya, nggak apa-apa, Tara. Aku juga meminta maaf jika kemarin terkesan memaksamu. Dan syukur jika sekarang kamu mempercayakanku, kita bekerjasama saja. Terima kasih.”

Tara meraih es jeruk yang baru saja ia beli, kemudian ia meminumnya. Ia mendorong kacamatanya ke dalam, dan mengembuskan napas besar, “Hmm, tapi aku cukup canggung, Mas. Karena, gimana, ya, aku tuh sebenarnya belum bisa menerima secara cepat orang baru dalam hidupku, takutnya nanti secara nggak sadar ada sikap egois, atau apa pun yang bisa mengganggu Mas, gimana?”

Esa hanya tersenyum, “Itu nggak penting, Tara. Lagian aku memilih ini, paling tidak juga harus mengetahui situasi dan kondisi orangnya. Aku tahu apa yang kamu rasakan, dan, sudah pasti itu akan berakibat pada pikiran dan psikis kamu.”

Tara benar-benar bingung, karena bagaimana mungkin Tuhan tiba-tiba mengirimkan sosok manusia seperti malaikat dalam kehidupannya yang sudah benar-benar hancur. Namun, di tengah-tengah pemikiran itu, ia tidak bisa juga tiba-tiba menerima apa yang dikatakan oleh hati dan pikirannya baru saja, karena bagaimana pun, orang lain yang menjadi malaikat dalam hidupnya adalah Gema. Karena Gema lah, ia masih bisa menjalani kehidupan dengan waras. Dan tiba-tiba, pemikiran akan Gema itu sudah menguasai pikirannya sehingga mau tidak mau mulutnya dengan lantang mengatakan, “Oh iya, Mas. Aku harap hubungan kita ini, hanya sebatas persahabatan dan kerjasama untuk mencari Bapak, tidak lebih dari apa pun.”

Mendengar itu, Esa yang semula mengetikkan sebuah pesan di ponselnya mendadak hampir jatuh karena apa yang dikatakan Tara itu benar-benar di luar ekspektasinya. Esa tidak pernah berpikir sejauh itu untuk memilikinya, karena bagaimana pun ia tahu jika Tara sudah punya pacar, “Oh, tenang, tenang, Tara. Aku juga nggak pernah berpikir ke sana, kok. Aku bisa mengenal kamu saja sudah bersyukur.”

“Bersyukur?” tanya Tara memastikan dengan mengerutkan keningnya.

“Iya, bersyukur. Karena bisa mengenal seorang perempuan yang setangguh dan sekuat kamu,” papar Esa dengan gamblang, “Oh, iya, aku juga tahu kok kamu punya pacar dan aku juga tahu batas, bagaimana aku harus melakukan dan bagaimana aku harus tidak melakukan sama sekali. Dan untuk membuka hati pun rasanya seperti tidak mudah begitu saja, karena, ya, aku masih belum berani dan belum pernah membuka hati untuk siapa pun,” lanjut Esa, kemudian memberikan jari kelingkingnya pada Tara, dan dibalas oleh Tara dengan mengikat kedua jari kelingking mereka.

“Janji, hubungan ini adalah sebatas persahabatan dan kerja sama,” jelas Tara dengan keras, dibalas dengan anggukan yang begitu tulus oleh Esa.

“Oh, iya, bagaimana semester genapnya?” Tanya Esa.

“Hmm, baik. Makin suka, karena sastra yang dipelajarinya semakin dalam, hehe.”

“Kamu suka baca-baca prosa?”

“Pasti, Mas. Tapi semenjak kepergian Bapak, fokusku ketika masuk ke dalam dunia fiksi sedikit berkurang, apalagi ketika Ibu kadang-kadang tiba-tiba menangis, marah, dan menyuruhku masak untuk Bapak.”

Esa mengangguk paham, “Tapi untuk proses perkuliahan, masih tetap fokus, kan, ya?”

“Aku selalu berusaha untuk itu, Mas. Karena bagaimana pun, ini adalah impian Bapak. Mungkin saja ketika nanti Bapak sudah bisa pulang, Bapak bisa melihat anaknya yang sudah menjadi sarjana ini.”

“Aamiin. Tetap kuat, ya.”

Tara menatap Esa sebentar, kemudian, “Mas, ini beneran nggak apa-apa? Aku benar-benar takut. Karena ini berbahaya. Bisa saja nanti Mas yang akan diciduk oleh sekelompok orang-orang berengsek itu. Aku nggak mau Mas jadi nggak bebas demi membantu orang lain merebut kebebasannya.”

Esa kembali tersenyum, “Tara, dengarkan. Kamu nggak usah risau, ini benar-benar pilihanku. Kamu tahu sendiri, kan, kalau hidup itu pilihan? Nah, dalam setiap pilihan itu pasti ada risiko yang harus diterima. Sekarang masih ada petugas yang sering ke rumahmu?”

“Sudah nggak ada, sih, Mas.”

“Ya, udah, sekarang kita bisa main cantik nih. Sedikit kesempatan bagi kita, mungkin saja Bapak kamu sudah menemukan tempat yang tepat untuk bersembunyi. Atau mungkin saja, direktur itu memilih untuk tidak melanjutkan misi pencariannya,” ujar Esa meyakinkan.

“Baik, Mas,” Tara mengangguk mantap.

Tara menatap kosong segala hal yang ada di depannya; lalu lalang mahasiswa, meja dan kursi kantin, gelas dan piring kotor sisa makan orang-orang. Ia masih belum bisa percaya sepenuhnya, bagaimana Tuhan masih ingat dengannya, menghadirkan seorang Gema, satu-satunya orang yang masih mau bertahan dengannya di tengah-tengah gempuran masalah dan kasus di dalam hidupnya. Dan saat ini juga, saat masalah tak kunjung menemukan jalan terang, Tuhan mengirimkan sosok Esa, satu-satunya orang yang menyerahkan segala hal dalam dirinya untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan Tara.

===

Kepahitan hidup yang Gema rasakan saat ini membawanya berada di suatu gang buntu, karenanya untuk maju ia tidak bisa, untuk mundur pun ia tak mau karena harus bertemu dan mengulang lagi dengan masalah-masalah itu.

Ia sekarang memang sudah bukan seorang waiters di rumah makan itu lagi, tapi ia diangkat menjadi seorang yang bertugas mengolah rumah makan tersebut. Ya, meskipun masih harus ada pendamping atau mentor yang mendampingi, mengajarkan, dan memberikan ilmu tentang bisnis padanya, karena ia masih belum dikatakan mumpuni untuk memegang kendali rumah makan tersebut sendirian.

Secara materi, Gema memang sudah bisa dikatakan cukup, bahkan sangat cukup. Perbedaan kehidupan lajang dan masa kininya terlihat begitu jelas dalam segi materinya. Namun segala hal yang bisa mencukupi kebutuhannya itu, tidak sepenuhnya membuatnya merasa bahagia dan selalu bersyukur bisa hidup di tengah-tengah keluarga yang berkecukupan.

Novita memang adalah sebuah anugerah yang diberikan Tuhan kepadanya, karena Novita, ia bisa hidup seperti sekarang, apalagi sosok Ayah yang dicintai itu, karena Novita juga, ia merasa bahwa kehidupan Ayahnya semakin lebih sehat. Namun Gema juga merasa bahwa apa yang dikirim Tuhan itu tidak salah alamat, tapi kiriman yang datang tidak di waktu yang tepat.

Gema yang sekarang sudah mempunyai kesibukan dalam menata kariernya; pagi ia harus sudah standby di kantor, kadang-kadang siang harus bertemu dengan mentor atau pengusaha rekan istri dan ayahnya yang mungkin saja nanti bisa diajak bekerjasama untuk membuat sebuah proyek, kemudian sore ia harus pergi ke kantor lagi untuk mengurus segala hal di kantornya, dan waktu malam adalah waktu istirahat bersama istrinya.

Untuk memberikan kabar pada Tara memang sejauh ini, sudah jarang Gema lakukan. Ia pikir, Tara memang sudah memahami kesibukannya sekarang setelah ia mengatakan akan membuka sebuah usaha kedai kopi waktu itu.
Di springbed itu, Gema membanting tubuhnya karena lelah seharian beraktivitas. Istrinya yang demam beberapa hari ini, yang mungkin saja membuat malam ini tidak ada acara unboxing.  Istrinya itu terkejut melihat apa yang sedang dilakukan suaminya. “Kenapa, Mas? Capek?” Tanya Novita.

“Eh, enggak, kok. Maaf, kamu jadi bangun.”

Istrinya itu tersenyum, “Gapapa.”

Drrrttt... drrrttt... drrrttt....
Ponsel Gema bergetar, sebuah panggilan masuk. Gema meraih ponsel itu dan cukup kaget karena yang sedang menelponnya adalah Tara. Cepat-cepat ia beranjak dari tempat tidurnya, dan berjalan ke luar kamarnya meninggalkan istrinya yang sudah terbangun itu.

“Halo, Sayang.” Dari ujung ponsel itu, suara Tara terdengar.

“Eh, iya? Ada apa, Tara.”

“...” tak ada jawaban dari Tara, pembicaraan berhenti sejenak. Pembicaraan itu terhenti karena kalimat ‘Ada apa?’ yang membuat Tara kaget dengan jawaban pacarnya itu.

“Halo, Tara.”

Eh, iya. Gimana kabarnya? Sudah 3 hari nggak ngasih kabar, hehe.”

“Baik. Kamu sendiri gimana?”

Hmmm... baik sekaligus khawatir.”

“Maaf, aku masih belum bisa ngabarin dengan cepat, maaf juga karena membuatmu jadi khawatir.”

Gapapa, kok. Kesibukanmu juga untuk masa depan kita nanti, hehe. Yang penting kamu sehat.”

Sungguh kalimat harapan itu membuat Gema harus mengembuskan napas besar dan menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, “Kamu juga harus sehat, jaga Ibu.”

Iya, Sayang. Oh, iya, tadi pagi aku udah bilang sama temanku yang katanya mau membantu mencari Bapak itu, Sayang. Syukur, dia masih mau membantu, hehe.”

“Iya, syukur. Semoga temanmu bisa membantumu memecahkan masalah ini, ya.”

Iya, Aamiin.”

Sungguh sebuah penerimaan yang sangat tidak mudah bagi Gema. Gema yang sudah terbiasa dengan sikap posesifnya, yang biasanya melarang Tara untuk berhubungan terlalu dekat dengan teman-teman laki-lakinya, karena hati Tara benar-benar ingin ia miliki seutuhnya. Namun, saat ini, takdir membawa Tara pada sebuah pertemuan dengan seorang laki-laki yang dengan tulus mengulurkan bantuan untuk memecahkan masalah yang sangat rumit itu. Yang tentu saja, mau tidak mau, Tara harus bekerjasama dan dekat setiap hari.

Hal itu, bukan sebuah hal yang mudah bagi Gema sebenarnya. Menyetujui Tara bukan berarti ia mengiyakan dari hatinya, ia mendukung itu karena ada sebuah ikhlas yang harus ia raih, ada sebuah kerelaan yang musti ia tanam dalam hatinya. Karena menurutnya, dalam waktu dekat atau lambat, hubungannya dengan Tara harus berakhir—ya, harus berakhir.

Ia pun mencoba untuk berdamai dengan keadaan, mungkin laki-laki saat ini yang datang di kehidupan Tara adalah laki-laki yang dikirimkan Tuhan, yang lebih baik daripada aku, yang tidak seberengsek dan semunafik aku. Laki-laki itu mungkin saja jembatan kebahagiaan hidupku saat ini dan malaikat yang membawa kebahagiaan di kehidupan Tara di masa mendatang. Meskipun saat ini, aku masih belum bisa mengatakan blak-blakan tentang kehidupan baruku, namun aku yakin Tara akan mengetahui entah bagaimana caranya. Tak peduli akan seperti apa aku di matanya; entah bajingan, berengsek, munafik, aku benar-benar tidak peduli, karena memang nyatanya aku seperti itu, gumamnya dalam hati.

“Tidur, gih. Kamu capek pasti, kan?”

“Oke, siap, hehe. Love you.

Love you too.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 21, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PerantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang