“Saya terima nikah dan mas kawinnya Sulistya Novita Binti Sulistyo, dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai.”
“Sah?”
“Sahhh,” para saksi serentak mengucapkannya dilanjutkan dengan hamdalah sebagai ungkapan syukur yang begitu hidmat. Gema mengembuskan napas besar, mengikhlaskan apa yang sedang ia hadapi saat ini. Bahwa pernikahannya ini, bukanlah atas kehendak dan keinginannya.
Tiga bulan terakhir, ia dikenalkan oleh seorang anak pengusaha tempat ia bekerja. Kebetulan, Ayah Gema bekerja sebagai manajer Ayah Novita—ya, dia yang sekarang menyandang status sebagai istri sah Gema itu. Ia dijodohkan dengannya, dengan tujuan agar mereka bisa membuat sebuah perusahaan atau usaha apa pun, ya, karena keduanya memang cukup pandai. Gema pandai dalam administrasi dan ilmu matematika, Novita berbakat dalam desain interior, karena dirinya baru saja lulus S1 jurusan Arsitektur.
Ya, walaupun usia Novita dan Gema berbeda. Novita 4 tahun lebih tua daripada Gema, namun itulah yang menjadi alasan orang tua Gema menikahkannya dengan wanita tersebut, karena dengan begitu Gema ada yang membimbing untuk melakukan hal yang lebih baik ke depannya. Dan tujuan lain dan paling penting adalah Gema perlu wanita yang dewasa, karena sudah lama Gema tidak mendapat kasih sayang dari seorang Ibu.
Perlawanan dan protes terhadap orang tuanya tentu sudah berkali-kali ia lakukan, namun hasilnya tetap nihil. Bahkan ketika ia mengatakan, “Gema ini masih kecil, Yah. Masih 20 tahun, dan Gema ingin menikmati masa muda Gema. Dan, lagian kalau nikah juga belum tentu Gema bisa menafkahi istri Gema. Paling tidak 25 tahun, Yah.”
“Gema, dengarkan baik-baik. Pak Sulistyo sudah bilang, jika kamu menikah dengan anaknya, maka beliau akan memberikan salah satu perusahaannya pada kamu yang bisa kamu olah. Dan anaknya Pak Sulistyo ini, juga baru lulus kuliah, kebetulan ia lulusan arsitektur. Nah, dengan begitu, kan, kalian bisa bekerja sama. Atau mungkin, kalian bisa membuat perusahaan baru, yang manfaatnya untuk masa depanmu nanti, untuk Ayah ketika sudah tua. Ayah rasa, kamu ini cukup mumpuni otaknya, tapi kamu aja yang dulu nggak mau dikuliahin.”
“Tapi, Gema malu, Yah. Gema ini nggak punya apa-apa, sedangkan mereka orang berada,” protesnya lagi.
“Malu apalagi? Ayah ini manajernya Pak Sulistyo dan Ayah sudah dipercaya oleh beliau. Lagian kalau Ayah menolak tawaran Pak Sulistyo, maka apa kata teman-teman Ayah. Dia itu cantik, pinter, dan pasti punya modal untuk membuat usaha dengan kamu,” Ayahnya berjalan semakin mendekat ke arahnya, “Almarhumah Ibumu juga pasti setuju. Sudah berpuluh tahun kamu tidak mendapat pelukan lembut seorang ibu. Dan satu-satunya solusi, adalah kamu menikah dengannya.”
Gema menggelengkan kepalanya pelan, “Tapi, apakah dia mau menikah sama Gema?” ia mencoba untuk sekali lagi mendesak Ayahnya.“Mau. Dia mau, kok. Kamu daripada pacaran begitu tidak jelas. Menikah lebih jelas dan baik ke depannya,” tegasnya.
Maka, Gema hanya bisa mengusap wajahnya dengan kedua tangannya sembari mengembuskan napas besar, ikhlas dan pasrah dengan apa yang terjadi di dalam kehidupannya. Dan, alhasil sampai detik ini, Ayahnya berhasil menikahkannya. Sungguh pernikahan yang bukan atas pilihannya sendiri, pernikahan yang sama sekali tidak didasari dengan rasa cinta.
Sungguh malam pertama, yang bukan impiannya. Ia melihat tubuh istrinya yang sedang sibuk menghapus make-up nya di depan cermin. Memang, di mata Gema ia sangat cantik bahkan nyaris sempurna. Tubuh jangkung dan berisi, rambutnya yang lurus dan panjang, wajah oval dan bibir tebal, sungguh malam ini ia siap dihajar oleh suaminya. Tapi, tidak, pikiran Gema tidak ke situ, sama sekali tidak. Di kepalanya hanya ada satu nama, ya, nama seseorang yang sekarang masih ada di hati, pikiran, bahkan kehidupannya. Tara.
Hubungannya dengan Tara yang entah akan dibawa ke mana, karena hingga detik ini, mereka masih berhubungan dan belum ada kalimat untuk menyudahi hubungannya. Hubungan yang sudah ia jalani hampir 3 tahun, dan sungguh tidak mudah bagi Gema jika harus melepasnya begitu saja. Ya, apalagi Tara, masih dalam suasana duka dan penuh kekhawatiran itu. Gema tidak bisa dengan mudah, mengatakan selamat tinggal dan menyudahi hubungannya dengan Tara begitu saja. Karena ia tahu, pacarnya itu akan semakin stres dan bahkan mungkin gila.
Ia membanting tubuhnya ke kasur, menatap kosong langit-langit kamar.
“Mungkin kamu sampai sekarang masih memikirkan apa tujuanku kemarin mengajakmu bercinta, Ra. Aku tau itu adalah satu-satunya ajakan aku yang paling tolol dan goblok. Dan aku, sudah tidak tau apa yang harus aku lakukan, selain membuatmu hamil dan menggagalkan rencana Ayah untuk menjodohkanku sehingga aku bisa bertanggungjawab dengan menikahimu, kemudian aku bisa hidup denganmu, selamanya, Ra. Tapi, aku pikir, itu bukan solusi yang tepat. Berkali-kali aku berpikir untuk menyudahi saja hubungan ini, tapi bibirku terlalu kelu untuk mengucapkan kata ‘usai’. Dan, jika aku tidak mengatakannya, maka tentu akan mengakibatkan luka dalam yang begitu serius, karena bagaimanapun, kamu akan tau semua ini. Ra, kamu tau? Bahwa aku sekarang sedang dipaksa untuk hidup dengan orang yang sama sekali tidak aku cintai, bahkan aku kenali sebelumnya. Ra, maaf, ya, jika selama ini dan ke depan aku akan selalu membuatmu bosan denganku. Karena, yang aku inginkan hanya satu, biarkan aku menjadi manusia paling berengsek di dalam hidupmu, asal kamu tidak kecewa karena hidupku sudah ada yang menempati, dan itu bukan kamu. Aku akan selalu berusaha agar kamu pergi dengan kebahagiaan, tanpa mengetahui apa yang sedang terjadi di dalam diriku.” Gema mengatakan itu di dalam hatinya dan menyumpah-serapahi dirinya sendiri. Ia harap, apa yang dikatakannya itu, akan didengar oleh hujan dan hujan akan mengabarkannya pada laron-laron yang datang berkunjung ke rumah-rumah, sehingga dengan cepat Tara akan mengambil air satu ember dan mematikan lampunya agar laron-laron itu mati bersama kehidupan pahit yang ia rasakan saat ini.“Mas, enggak makan?” Novita beranjak dari tempat duduknya, dan mendadak membuyarkan lamunan suaminya.
“Em, eng, enggak. Sudah tadi. Kamu mau makan?”
“Sudah kenyang juga,” jawabnya sembari berjalan menuju kasur.
Gema sebenarnya bingung, mau memanggil apa ke istrinya. Karena, sebelumnya memang sama sekali belum mengenal. Ia berpikir, jika ia memanggil Mbak, sepertinya tidak pantas, karena istrinya memanggil Mas kepada dirinya. Jika memanggil Dik, rasanya juga tidak pantas, karena istrinya lebih tua daripada dirinya sendiri. Apalagi memanggil Sayang, kikuk sekali rasanya. “Em, aku panggil ke kamu apa?”
Novita hanya tersenyum dan menggeleng, “Terserah. Yang penting romantis,” jawabnya diikuti senyuman paling manis.
Semua acara sudah selesai hari ini, jam menunjukkan pukul setengah 11 malam. Sungguh malam pertama yang sangat amat kikuk bagi Gema. Perlahan, ia memosisikan kepalanya di bantal dan memberikan ruang untuk tempat tidur di sebelahnya—ya, untuk istrinya. Novita pun membaringkan tubuhnya di samping seorang lelaki yang baru saja sah menjadi suaminya. Pada detik berikutnya, mereka saling tatap, ada guratan senyum tulus di bibir Novita dan dibalas dengan senyuman yang masih sangat kaku oleh Gema.
Novita mengangguk, seakan ia memberi isyarat persetujuan kepada Gema untuk memperlakukan dirinya sebagai istri dengan sebagaimana mestinya. Namun, masih tidak ada gerak terbuat juga di tubuh Gema, ia masih begitu kaku dan tak terbiasa. Namun, karena kecantikan yang semakin terpancar di wajah Novita dan ia sadar juga kewajiban seorang suami, dengan berani ia mendekatkan wajahnya ke wajah Novita. Embusan napas saling beradu dan saling mereka rasakan, kumis tipis Gema bergoyang perlahan karena deru napasnya tak terkendali. Sungguh bibir tebal itu sangat empuk, ketika Gema menempelkan dan mengatupkan bibirnya di bibir Novita dan mereka saling memainkan lidah. Bau napas rokok dan napas tawar segar menyatu menjadi satu. Gema memejamkan kedua matanya, menikmati bibir merah yang tebal dan empuk seakan memberikan kesegaran es blewah yang nikmat tiada bandingannya, sehingga membawanya untuk menjauh dan semakin jauh melupakan apa yang sedang ia pikirkan malam ini.
DEG, di tengah liarnya permainan lidah di malam pertama mereka, tiba-tiba wajah Tara, segala harapan Tara untuk hidup dan mati bersamanya, dan janji yang Gema ucapkan bahwa ia tidak akan begitu saja meninggalkan Tara, dan semua kenangannya bersama Tara menyerbu pikirannya, yang membuatnya mau tidak mau harus melepas ciumannya itu. “Kenapa, Mas?” tanya Novita tiba-tiba.
Gema mengembuskan napas besar, “Besok saja, ya. Kita istirahat dulu hari ini, seharian, kan, kita beraktivitas, hehe,” ujar Gema beralasan.
Novita mengangguk dengan senyumannya yang sangat manis itu, “Iya, Mas. I love you.”
“Love you more,” jawab Gema dengan senyuman yang ia coba untuk tidak terlihat kaku.
Mereka tidur dengan posisi bertolak belakang. Gema susah sekali memejamkan matanya, karena ketika ia memejamkan matanya, maka hanya pikiran-pikiran buruk yang akan masuk dan merangsek ke dalam kepalanya.
![](https://img.wattpad.com/cover/299126466-288-k799479.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Perantara
Fiksi RemajaSebuah cerita tentang puing-puing luka, dan sebaiknya jangan pernah mengumpulkannya lagi. Sekelumit kisah tentang kehilangan dalam kehidupan seorang gadis remaja kuliahan. Kehilangan pertamanya, diawali oleh hilangnya sosok Bapak dalam keluargany...