Awal dari Segala Awal

42 7 2
                                    


Dari beberapa kedai kopi yang ada di daerah ini, hanya satu yang cocok, yang sering dijadikan tempat untuk mengerjakan tugas kuliah, berdiskusi, atau hanya sekadar berbincang gabut karena dosen tidak memberikan tugas.

“Ayo, otakku keburu mogok mikir lagi, Sa.”

“Ayo.”

Ya, dua sahabat sejoli—boleh dikatakan seperti itu. Keduanya adalah mahasiswa semester tiga prodi Sastra Indonesia. Hubungan persahabatan mereka bisa jadi disebut sebagai persahabatan yang aneh. Jika dalam pertemanan atau pun persahabatan pada umumnya, mungkin harus ada beberapa sifat yang satu frekuensi, dengan begitu maka persahabatan akan terjalin dengan baik.

Pasalnya, keduanya memiliki sifat yang berbeda. Esa adalah seseorang yang cukup berwibawa, cool, dan ekonomis dalam berbicara. Berbanding terbalik dengan Wicak, ia seseorang yang sama sekali tidak bisa menjaga image dalam situasi dan kondisi apa pun, atau bisa dikatakan blak-blakan, sedikit tolol, tapi lumayan bijaksana. Namun persahabatan yang sudah berjalan hampir dua tahun itu masih berjalan dengan mulus.

Mereka berdua hendak pergi ke kedai kopi yang sudah menjadi basecamp mereka berdua. Tempat yang tidak jauh-jauh dari kampus, dan tidak terlalu dekat juga. Dengan menumpangi mobil HRV hitam keluaran 2018 milik Esa, mereka melaju ke kedai kopi untuk segera mengerjakan tugas Mata Kuliah Sintaksis yang cukup membuat kepala mereka pisah ranjang dengan otak. Sintaksis sendiri adalah ilmu cabang linguistik yang mempelajari tentang susunan kalimat dan bagiannya, ilmu tata kalimat, atau ilmu nahu. Bagi kebanyakan mahasiswa, mata kuliah ini lumayan rumit.

“Sa, aku lihat soalnya kenapa tiba-tiba pengin check-up gula darah,ya?” Wicak yang sedari tadi memandangi soal, tiba-tiba ia melempar kertas soal ulangan itu ke dashboard mobil.

“Cak, mending putar lagu aja.” Esa memberikan solusi pada sahabatnya daripada terus-terusan ngomel tidak ada ujungnya.

“Lagu apa? Lagu religi aja kali, ya, biar otakku tobat untuk tidak menunda-nunda mengerjakan tugas. Oke, lagu Siksa Kubur paling cocok.”

Esa memilih untuk tidak menggubris temannya yang agak senewen itu. Menurutnya, fokus menyetir jauh lebih penting daripada merespon apa yang dikatakan Wicak yang sungguh akan membuang-buang waktu, atau bisa jadi kegoblokan itu akan menular padanya dengan sangat cepat.

Esa memarkirkan mobilnya di pelataran kedai kopi yang cukup sederhana itu. Elipsis Kopi merupakan kedai yang banyak dikunjungi oleh kalangan pelajar dan mahasiswa. Pasalnya, kedai kopi ini sangat menarik, desain interiornya pun menyuguhkan dua pilihan suasana; indoor di lantai bawah dan outdoor di lantai atas, ya, meskipun pemandangan yang disuguhkan adalah atap rumah warga dan hilir mudik mobil di jalan tol yang membentang. Selain itu harganya yang sangat cocok bagi kantong mahasiswa membuat Elipsis Kopi menjadi kesempatan baik sebagai tempat bersemedi para mahasiswa.

“Kopi hitam manis aja, satu,” ujar Esa pada barista yang menyambutnya.

Wicak masih sibuk melihat lembaran menu di meja. “Air gula aja, Mas.”

“Katanya ngopi, kok, air gula?” protes Esa.

“Asam lambung, anjir, nanti aku gemetar, lo bilang kerasukan mesin cuci.”

Lelaki kerempeng bernama Esa itu merupakan anak rantau yang kuliah di luar kota. Mahasiswa Sastra Indonesia selain pencinta puisi dan karya sastra prosa itu, ia juga paling jago memasak. Kehidupan yang serba mandiri tidak menutup kemungkinan tercetaknya sebuah bakat baru yang menurut teman-temannya biasa disebut koki handal dibuktikan dengan hasil masakannya yang sangat enak itu. Tak jarang Esa mengajak teman-temannya mampir ke indekosnya walau hanya sekadar untuk menunjukkan hasil masakannya, atau kadang iba melihat temannya yang sudah kelaparan karena materi yang diberikan oleh dosen berhasil menyerap habis isi perut mereka.

PerantaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang