Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
aku mengendarai sepeda motor dengan perlahan, tanpa terburu-buru. suara wanita yang sering kau sebut ibu terdengar dari salah satu rumah, menyuruh anaknya untuk mandi. angin sore seperti sedang mengelus-elus wajahku yang kaku, beberapa helai rambut jadi terbang tanpa lepas dari kepala.
reina terus melihat ke arah atas, kurasa dia heran. anak itu macam tidak pernah keluar rumah.
"kira-kira pakai cat apa ya, jen?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari langit. aku tak lekas menjawab, sedang sibuk menerka-nerka harus belok kanan atau kiri.
akhirnya aku memilih kiri.
"duduk di sana saja ya." kataku sambil menunjuk ke arah lapangan yang biasa digunakan untuk bermain sepak bola oleh anak-anak komplek. sekarang lapangannya sedang sunyi sekali.
aku memakirkan sepeda motorku di dekat gawang, lalu reina turun dari boncengan. gadis itu menungguku tanpa suara. "jen, tadi pertanyaanku belum dijawab."
"yang mana?"
reina diam. dia menarik tanganku untuk duduk di tengah-tengah lapangan, aku menurut saja. hari ini, langit sorenya cantik sekali. warna ungu dengan sedikit merah jambu bercampur jadi satu. mahakarya super indah yang jarang aku perhatikan.
aku tak menjawab pertanyaannya, reina yang melihatku seperti itu cuma tersenyum saja. lalu ia menghirup udara sebanyak-banyaknya, seakan tiada lagi hari esok.
pada rabu sore yang berangin dan banyak warna, aku simpan potret wajahnya yang sering tampak lelah. yang sering mengeluh jika jari-jarinya jadi hitam bila habis menulis di papan tulis sekolah, yang punya banyak buku tanpa punya rak yang cukup, dan yang sering diam sampai dikira bisu.
aku panggil dia reina, semua orang memanggilnya begitu. namun setiap namanya keluar dari bibirku, aku senantiasa menaruh harap pada tiap lima huruf yang dia punya.