lembaran kosong | Jilid II

14 3 0
                                    

Beberapa hari ditahun yang sudah berganti ini aku lagi dan lagi kebingungan. Perasaan cemas menanti aku yang baru saja pulang dari kerapuhan. Masih banyak bulan, bahkan ratusan hari yang harus dijalani. Mau ku apakan tiap lembaran kosong itu. Ku isi dengan bahagia atau malah dengan duka.

Masih ada luka sebab aku yang terlalu mudah terbuai, masih ada tangis kerinduan yang tak tersampaikan, masih ada malam yang selalu memberikan kesepian, juga masih ada pagi yang begitu menyesakkan.

Ini salahku sendiri kan? Mengapa aku merasa tak ada kedamaian padahal sujudku sudah ku lambatkan. Aku mempercayai setiap hal yang terjadi memang sudah digariskan namun mengapa keraguan-keraguan itu muncul disaat aku begitu ingin mencintai kehidupan. Rindu-rindu yang ku biarkan sampai dada begitu sesak. Kalimat-kalimat yang dahulu menyenangkan sekarang tak ada lagi untuk aku baca lalu praktekkan. Salahku dari awal memang.

Padahal aku hanya berjalan mengikuti kebiasaanku setiap hari. Tak banyak yang berubah, Kini hanya ada aku yang terus-terusan mengadu kepada-Nya meminta kekuatan untuk menghadapi dunia yang semakin menghimpit aku yang kelelahan. Jika saja bunuh diri tidak mencipta dosa yang tak terampuni sudah ku lakukan jauh-jauh hari. Dibandingkan, dikucilkan, direndahkan juga tak jarang dipermalukan. Padahal aku sudah berusaha sebaik mungkin, tetap saja. Salahku memang.

Tidak ada lagi kabar yang ku tunggu, juga tidak ada telfon yang berusaha ku hindari. Sedikit mendamba temu pada ia yang tak ingin aku rindu. Lagi-lagi aku teringat, munafik jika ku katakan aku tak menginginkan ia disini namun aku hanya terlalu takut terbuai akibat terlalu memanjakan perasaan yang ku punya. Ku kesampingkan, ku kembalikan. Aku sudah mampu mengendalikan rasa, walau bukan dengan menghapusnya. Semuanya akan tetap disana. perasaan, kenangan juga semua pelajaran yang ku dapati akan aku bawa untuk meneruskan kehidupan.

Mencintai seharusnya tak menemukan sakit, menyayangi seharusnya tak menemukan derita. Seperti cara ibu yang melahirkan, merawat serta membesarkan sang buah hati. Bukankah cinta adalah tentang keikhlasan dan kerendahan hati. Cinta bukan hanya sekedar memiliki, cinta adalah tentang merelakan. Merelakan apapun demi cintanya tetap hidup dengan rasa aman dan berbahagia kan? ya, atas nama cinta.

Namun kerap kali keraguan muncul dalam benakku. Kira-kira, adakah yang dapat mencintaku setelah mengetahui bahwa hatiku pernah rusak dan patah? Relakah ia mengobati dan menyatukan lagi bagian-bagian yang terluka dan patah mematah itu?

Sekali lagi, masih adakah?

Entah.

Jangan lupa vote ya !
Terimakasih sudah berkenan membaca.

Offender's•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang