I've done this before
Not like this***
Di hari kamis pagi. Kediaman Rendi Kurniawan, salah satu pasangan calon partai oranye, menjadi tempat dilaksanakannya diskusi terkait metode kampanye yang akan dilakukan untuk pemilihan gubernur tahun ini. Seharusnya, semua berjalan lancar, sesuai dengan rencana yang disusun oleh tim sukses dan sekretaris pribadinya.
Namun sayangnya, pagi itu diawali dengan pintu ruangan terbuka. Juga pengawal yang masuk mendadak. Seluruh atensi kemudian menengok kepada pria muda tersebut, sikapnya terlihat tergesa-gesa.
Rendi, sejak tadi duduk di kursi dengan fokus, mengerutkan alisnya. "Saya sudah bilang, tidak ada interupsi selama rapat berlangsung."
Mendengar nada marah majikannya, membuat pria muda itu menunduk ketakutan, "Ada bapak komisaris jenderal. Ingin bertemu bapak."
Kernyitan kedua terlihat di alis Rendi setelah mendengar hal itu, "Minta dia menunggu setelah rapat selesai."
"Bapak diminta sekarang. Ini terkait tuan muda." Barulah atensi Rendi tercuri sepenuhnya setelah panggilan disinggung oleh pengawal, kemudian pria tua itu berdiri, memberikan isyarat rapat akan ditunda sementara. Langkahnya menuju keluar ruangan, mencapai ruang tamu dengan beberapa sosok yang dikenal. Lebih lagi, dengan laki-laki yang memakai jaket hitam dengan tudung serta wajah yang dihiasi oleh luka. Bibirnya mengerut, enggan tersenyum bahkan mengeluarkan ekspresi bengis setelah ditatap Rendi penuh amarah.
"Selamat pagi, pak. Sebelumnya saya minta maaf karena menganggu kegiatan bapak pagi ini. Tapi, saya sudah menemukan oknum yang melakukan vandalisme di seluruh poster bapak selama satu minggu terakhir. Ini orangnya." lengan laki-laki yang tadi dalam genggaman terlepas, wajahnya menunjukkan raut kebencian ketika beradu pandang dengan Rendi. Sepertinya dia tahu darimana wajah bengis itu didapat, batin pria tua tersebut mengutuk diri.
Setelah itu, Rendi mengangguk paham, "Terima kasih atas kerja sama bapak. Silahkan menikmati suguhan dari kami sebelum pulang. Saya ada urusan dengan anak ini."
Sepeninggal orang-orang tadi, barulah Rendi menarik paksa tudung yang menutupi kepala laki-laki itu. Tangannya meraup kedua pipi, memaksa laki-laki tadi menghadap matanya.
"Belum cukup kamu bikin malu ayah, Raiden?" serunya, tak terlalu nyaring namun nada ketara menahan amarah terdengar di sana.
Raiden Argentum, laki-laki itu terlihat tidak peduli walau raut wajah Rendi sudah memerah menahan emosi sedari tadi. Dia hanya berdecak, kemudian terkekeh setelahnya, "Belum. Masih kurang."
Belum sempat menikmati raut wajah kaget milik Rendi, pipi kanan laki-laki itu mendapat tamparan cukup keras hingga suara yang dihasilkan terdengar nyaring di seluruh lorong rumah yang ada. Keheningan tersebut, membuat Raiden tertawa, membiarkan rasa nyeri menjalar di wajahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pain Killers
Teen Fiction[EDITED] Raiden adalah enigma, segala macam tindak tanduknya selama ini tidak bisa dimengerti sampai sekarang. Sedangkan Irene adalah penyembuh, semacam obat pereda nyeri untuk mengurangi rasa sakit yang telah lama bercokol dalam kepala. Namun, sela...