Setelah berbaikan tanpa pertengkaran maupun adu mulut seperti beberapa hari yang lalu, Raiden rasa hubungan mereka membaik setelahnya. Irene masih sempat membuatkan mereka sarapan, dan Raiden membantu membawakan tas belanja bulanan perempuan itu setelah keduanya mendatangi toko swalayan di dekat apartemen Irene.
Jangan tanya betapa bahagianya Raiden hanya karena agenda belanja bersama waktu itu, senyum di wajahnya jelas sudah tidak di kontrol lagi. Kepulangannya ke Surabaya, tidak terlalu buruk seperti yang dia bayangkan.
Sekarang, Raiden baru saja memarkirkan motornya, setelah melepas helm di kepala, dia langsung mengecek wajah dan rambutnya di spion motor. Dirasa tampilannya tidak buruk-buruk amat, Raiden melenggang masuk.
Mengingat ini hari senin, Raiden tidak lupa dengan gantungan baju yang dia bawa dalam tas. Itu juga Hema, sempat-sempatnya menitip satu gantungan lagi padanya. Untung saja Raiden teman yang baik dan dalam mood yang bagus, dengan setengah hati tetap dia masukan dua gantungan di dalam tasnya.
Kalian tahukan, kalau jadwal pertama hari senin adalah pelajaran olahraga?
Kalau saja Raiden punya wewenang lebih, tentu saja dia sudah siap memaki siapapun orang yang mengatur jadwal pelajaran olahraga yang dilakukan setelah upacara di kelas mereka.
Baru saja melewati lorong kelas sepuluh yang sekarang sedang ramai, bagian belakang bahunya ditabrak cukup kencang. Membuat laki-laki itu tersentak dengan langkah yang oleng tiba-tiba, setelah berdiri dengan tegap. Ditatapnya tajam sang oknum yang kini menatapnya ketakutan,
"K- Kak, maaf saya nggak sengaja..."
"Mata dipake."
Singkat, nan tajam. Kata tersebut cukup mendeskripsikan kalimat Raiden lontarkan kepada perempuan yang gemetar ketakutan di depannya. Setelah mengatakan hal itu, Raiden kembali melangkah. Tidak peduli menjadi tontonan, ataupun beberapa orang menatapnya penuh kebencian dan dianggap sebagai kakak kelas yang tidak tahu diri.
Tenang saja, hal seperti itu sudah menjadi makanan Raiden sehari-hari.
Anggap Raiden terlalu mendramatisir keadaan, kalau saja rasa sakit di bahunya tidak cukup kuat. Mungkin laki-laki itu akan bersikap biasa-biasa saja, tapi 'kan kenyataannya tidak?
Persetan lah, maki Raiden dalam hati.
"IDENNNNNNNNNNN."
Belum sampai di pintu kelas, bahunya dikukung oleh rangkulan dari satu orang yang jelas Raiden kenal amat sangat baik.
"Apaan sih?" berontak Raiden, namun laki-laki yang kini mencoba cium pipinya hanya tertawa heboh sebagai tanggapan.
"Senyum elah iden, pagi-pagi udah butek kek air cucian aja muka lo."
"Berisik, Jendra. Gua lempar pot lu ya!" ancam Raiden serius, tangan kanan sudah siap mengangkat pot bunga anggrek di balkon kelas.
Jendra, sang tersangka utama yang membuat Raiden sudah mengamuk jelas makin semangat melancarkan godaannya.
"Huuuu lempar aja nih lempar." goda Jendra semangat sambil menjaga jaraknya dari Raiden yang semakin bernafsu melempar wajahnya dengan pot, sebelum seorang perempuan menghadang keinginan Raiden tersebut.
"Raiden bunganya jangan dilempar!!!"
Pembuatan benjol di kepala Jendra jelas tertunda tatkala perempuan berambut pendek di depannya menatap tegas, merentangkan kedua tangan seakan menghalangi langkah Raiden melalui sorot matanya.
Laki-laki itu jelas menaikkan sudut alis, hampir melempar pot ini ke wajah perempuan ini, hanya saja tidak ada dalam kamusnya untuk memukul perempuan. Dengan berat hati, ditaruhnya kembali pot itu dan menatap penuh penilaian kepada perempuan yang kini mulai sibuk berceloteh, mengingatkan dia dengan burung murai yang berisik peliharaan sang ayah dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pain Killers
Teen Fiction[EDITED] Raiden adalah enigma, segala macam tindak tanduknya selama ini tidak bisa dimengerti sampai sekarang. Sedangkan Irene adalah penyembuh, semacam obat pereda nyeri untuk mengurangi rasa sakit yang telah lama bercokol dalam kepala. Namun, sela...