***
Seharusnya Irene ingat untuk tidur tadi malam, bukannya sibuk menunggu ponsel berdering yang tak pernah lepas dari genggaman. Irene bahkan harus keluar dari kamar hotel yang dia tempati demi membeli secangkir kopi, dan roti hangat di 7 Eleven terdekat karena tidak mau rasa tertekan yang dia rasakan menghantui. Penyebabnya adalah pesan Raiden kirim yang membuat Irene yang niatnya ingin tidur setelah berpergian dengan kedua orangtuanya dengan berjalan kaki, malah mondar-mandir di kamarnya, menunggu panggilan terangkat dari pacarnya itu.
Sudah 12 jam lebih lamanya, berulang kali pesan yang sama di iMess, bahkan sosial media dan juga email Raiden. Namun nihil, tidak ada balasan sama sekali semenjak pesan terakhir yang Raiden kirim, membuat Irene yang terbiasa tenang dalam menanggapi pertengkaran ketika mereka berselisih pendapat.
Namun untuk kali ini, Irene dibuat frustasi karenanya.
Ditambah lagi dia tidak tidur semalaman, kepalanya sudah migrain walaupun obat sakit kepala yang dia minum tak menunjukkan reaksi. Stik golf yang dia genggam erat sedari tadi, pelampiasan rasa stress, akhirnya dia letakkan sembarangan, memaksakan diri untuk mengulas senyum ketika memberitahu kedua orang tuanya beserta klien kerja mereka bahwa dia ingin istirahat sebentar.
Alhasil, Irene mengurut kening karena nyeri. Sudut matanya berusaha menahan air mata yang bisa kapan saja mengalir, nyeri di dadanya menahan sakit mengingat dia harus berselisih paham dengan Raiden, lagi. Padahal keduanya baik-baik saja kemarin!
Irene tidak tahu darimana Raiden mengetahui tentang rangkulan di bahu pada malam itu, yang dia ingat itu hanya sekedar rangkulan karena Irene hampir terpeleset dengan fokus hanya pada ponsel. Bukannya Raiden harus bersyukur pacarnya tidak mengalami gegar otak? Ah, tapi Raiden bahkan tidak akan mau mendengar penjelasannya. Selalu saja seperti ini.
Kalau saja dia masih di Surabaya, mungkin sudah dari tadi pagi dia menyusul Raiden ke Bandung. Menghadapi pacarnya yang keras kepala itu, barangkali saja Raiden kali ini mau mendengarkannya.
Namun sayang, seakan dunia memang tidak merestui. Irene terjebak di London bersama kedua orangtuanya, dia tidak mungkin berani bilang ke Mami kalau kepulangannya ke Indonesia hanya sekedar bertemu Raiden. Laki-laki yang dianggap tidak berarti di mata mereka, nyeri kembali merambat dada Irene ketika memikirkan hal tersebut.
"Are you okay?"
Irene tanpa perlu repot-repot untuk mendongak, hanya membiarkan laki-laki yang tadinya menatapnya dengan pandangan khawatir, akhirnya menghela napas pelan dan memilih duduk di kursi depannya.
"Pacar lu lagi?"
Irene hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Kenapa lagi?"
"Ada yang videoin kamu ngerangkul aku tadi malam."
"Terus? Marah dianya?"
Irene mengangguk sebagai jawaban, membuat Calvin tadinya langsung terkekeh dengan nada meremehkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pain Killers
Teen Fiction[EDITED] Raiden adalah enigma, segala macam tindak tanduknya selama ini tidak bisa dimengerti sampai sekarang. Sedangkan Irene adalah penyembuh, semacam obat pereda nyeri untuk mengurangi rasa sakit yang telah lama bercokol dalam kepala. Namun, sela...