3. Terciduk Sang Tuan

492 14 0
                                    

Happy Reading, Guys

**

"Nena, aku lapar, kita mampir dulu ke tempat makan, ya," ajak Shafira. Perutnya memang sudah mengajak demo.

Sebelum berangkat ke dokter, Shafira tidak sarapan, karena di ruang makan ada Devas, enggan bertatap muka. Mereka tidak pernah saling menyapa jika bertemu di mana pun.

"Baik, Nona, kebetulan saya juga tadi belum sempat mengisi perut."

Mereka tengah berada di pusat perbelanjaan, Shafira bukan type wanita yang doyan foya-foya, menghamburkan uang untuk shoping, hanya saja ada kebutuhan yang harus dia beli, sebab itu sepulang dari dokter, mereka berada di sana.

Nena, kepala pelayan yang paling setia menemani. Karena memang tugasnya dipercaya Devas menjaga Shafira. Wanita itu satu-satunya pelayan paling dekat dengan sang nona.

Shafira dan Nena memilih tempat untuk mengisi perut yang cukup nyaman dan terbuka, sehingga dapat cuci mata, melihat lalu lalang dan aktivitas manusia.

"Jangan lupa sepulang dari sini obatnya diminum, Nona, terutama yang antibiotik." Nena mengingatkan saran dokter untuk Shafira.

"Iya, Nena. Lukaku lumayan dalam. Tuan Devas suka sekali menggigit, seperti Drakula saja, atau jangan-jangan dia keturunan kanibal." Shafira bergidik, teringat perlakuan kejam suaminya semalam.

Nena terkekeh mendengar gerutuan Shafira. "Nona harus banyak bersabar. Tuan Devas entah sejak kapan berubah kejam seperti itu."

"Emang sebelumnya gak kejam, kah?" tanya Shafira, baru kali ini dia bisa bicara sesantai ini. Sedangkan di rumah, jangan harap ada kesempatan bisa saling berbincang.

Karena, jika pun Tuan Devas sedang berada di kantor, kesempatan untuk ngobrol itu tetap tidak ada, karena setiap ruangan di pasang CCTV, kecuali kamar mandi. Jika ada yang ketahuan melanggar aturan, jangan harap bisa lepas dari hukuman, atau dipecat.

Shafira baru tiga kali keluar dari gedung megah kediaman CEO konglomerat Devas Isanders Perdana, itu pun saat menengok ibunya sehabis operasi, lalu ke acara pesta bersama Devas, dan ketiga kalinya sekarang.

Selama lima bulan pernikahan, dia selalu dikurung dalam sangkar emas. Jika ingin keluar harus atas izin sang tuan, kalau tidak, jangan harap bisa kabur dari bangunan yang sekelilingnya dipagari beton dengan besi runcing di atasnya, posisinya pun tinggi.

Di gerbang depan beberapa security menjaga ketat. Begitu pun gerbang belakang, tidak luput dari pengawasan. Shafira merasa tersiksa, hidup dalam kemewahan, tapi tidak bisa menikmatinya. Karena semua itu milik suami, dan dirinya berstatus istri sebatas di surat nikah saja.

"Menurut pelayan lama, dulu dia pria yang sangat baik. Selain tampan dan kaya raya, Tuan Devas sangat ramah, suka memberi oleh-oleh pada pelayan lain."

Nena hanya menjelaskan yang dia ketahui saja. Dia tidak tahu apa yang membuat Devas berubah. Karena dia terbilang pelayan baru, bekerja sekitar dua tahunan, tapi sudah dipercaya Devas jadi kepala pelayan, karena kegesitan dan cara bicaranya yang tegas dibanding yang lain.

Namun, tidak satu pun ada yang mau bicara, apa penyebab sang tuan jadi demikian. Entah mereka tidak tahu atau takut untuk bicara, yang jelas Nena bukan type pemaksa orang untuk bercerita.

"Bagaimana dengan istrinya yang dulu, apa dia mendapat perlakuan yang sama seperti terhadapku, sehingga istrinya meninggalkan tuan?" tanya Shafira.

"Saya tidak pernah tahu tentang istri pertama Tuan Devas. Tidak pernah dengar juga kabarnya, sosoknya pun saya tidak tau. Di rumah sebesar itu tidak ada satu pun foto istri pertama Tuan Devas ...."

Shafira manggut-manggut. Obrolan mereka berhenti sejenak, karena seorang pelayan mengantarkan pesanan kedua wanita beda usia itu.

"Kamu tau, Nena? Aku sungguh tidak betah tinggal di rumah Tuan Devas, meskipun rumah itu seperti istana."

"Saya mengerti, Nona, tapi percayalah semua akan baik-baik saja jika Nona lebih bersabar lagi."

"Aku sudah sangat sabar, Nena. Aku ingin sekali bertemu ibu, sudah lebih dari satu bulan tidak menengok keadaannya. Meskipun di sana sudah ada orang yang dipercaya Tuan Devas merawat ibu, tapi aku ingin melihat kondisinya."

"Semoga ibu Nona baik-baik saja di sana. Nanti pasti bakal ada waktunya Nona Fira bisa menjenguk ibu."

"Iya, Nena."

"Maaf, Nona, saya izin ke toilet dulu sebentar." Nena bangkit dari duduk setelah mendapat izin Shafira. Tinggallah gadis itu sendirian menikmati makannya yang masih tersisa.

"Shasha!"

Shafira tersedak minumannya sendiri, mendengar suara pria memanggil tidak jauh dari sampingnya, beberapa detik dari kepergian Nena. Refleks gadis berambut panjang indah itu menoleh, setelah menguasai rasa terkejutnya.

Shasha! Siapa yang memanggilnya demikian? Seingat Shafira hanya ibunya yang memanggil nama itu, tapi yang ini laki-laki.

"Shasha? Kamu, Shasha, Kan?" tanya pria itu lagi sambil menatap lekat Shafira.

"Yang Anda maksud, saya?!" Shafira menunjuk dada sendiri. Dahinya mengkerut, mencoba mengingat-ingat wajah tampan bermata agak sipit yang sedang menganggukkan kepalanya.

"Kamu Shafira Malaika Athaya, kan?" tanya pria berambut klimis itu lagi.

Shafira membelalakan mata, pria yang mengenakkan pakaian jas mahal kantoran itu mengetahui namanya dengan lengkap, sehingga membuatnya semakin keras berpikir, siapa laki-laki ini?

Gadis itu mengamati paras tampan, mata teduh, hidung mancung, bibir tipis, wajah bersih tidak ada sehelai bulu pun menghiasi rahangnya. Ah, siapa, Shafira benar-benar lupa, tapi seperti pernah melihatnya.

"Kamu belum tua, tapi sudah pelupa Shasha. Hanya satu orang teman yang memanggilmu dengan panggilan itu." Sang pria tersenyum manis, kemudian tanpa permisi duduk di kursi milik Nena.

"Hanya ibu dan ... si cungkring yang memanggilku Shasha ...."

Untuk kedua kalinya mata indah Shafira membulat, terlintas satu nama dari masa lalunya. Teman pria sekaligus kakak kelas sewaktu duduk di sekolah putih abu-abu. Wajah sang teman persis dengan pria yang kini duduk di hadapannya.

"Jadi ... kamu, kamu si Cungkring?"

"Akhirnya, kamu ingat juga dengan sahabat dekatmu ini. Tapi kenapa cungkringnya yang kamu ingat, ck!"

"Ya ampun, Akbar, kamu kan, yang sering dipanggil cungkring, karena badanmu yang kurus, culun." Shafira terbahak mengingat fisik lelaki itu di masa lalu.

Pria bernama Akbar itu ikut tertawa sambil menggaruk tengkuk. "Tapi sekarang aku gagah dan tampan, kan, Sha?"

"Iya, iya, sekarang kamu luar biasa sekali perubahannya. Kamu seperti seorang CEO."

Akbar terkekeh, sikapnya terlihat santai. "Aku masih calon, sedang dalam tahap belajar jadi pembisnis." Dengan nada merendah.

"Waah, hebat, orang tuamu sukses. Lagian dari dulu kamu memang orang kaya, cuma cungkring dan culun. Aku beruntung bisa berteman dengan anak konglomerat."

"Kita semua sama, kok. Kamu juga berubah sekali, Sha. Dulu agak gemuk dan ...."

"Ah, sudahlah, jangan bahas fisikku yang dulu, aku malu." Shafira tersipu dengan wajah merona.

"Aku cuma mau bilang kalau kamu sekarang sangat cantik dan anggun. Tapi--"

"Tapi kenapa, Bar?"

"Bibirmu kelewat seksi, seperti dipaksakan."

"Ish, ini bukan seksi, tapi gara-gara--"

"Gara-gara aku!"

Shafira dan Akbar terlonjak bersamaan dengan suara bariton yang berbeda.

Devas berdiri gagah tidak jauh dari pasangan sahabat yang baru bertemu itu. Wajahnya menyiratkan kemarahan yang paling Shafira takutkan. Akbar hanya memandang bingung.

Ya Tuhan, aku harus sembunyi di mana? Batin Shafira, gemetar.

Bersambung

Di KBM App ada ya, All, sudah TAMAT.

DINIKAHI CEO KEJAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang