Tempo hari, Dinata mendapat kartu nama dari istri dosen pembimbingnya, Ibu Eliana. Tanpa pikir panjang harusnya ia sudah meyambangi perusahaan terbesar nomor 3 se-Asia itu. Namun, mengingat ia tidak punya pengalaman bekerja di perkantoran dan hanya pernah bekerja paruh waktu menimbulkan keraguan sekaligus minder. Perusahaan itu pasti berisi manusia hebat dan berdedikasi tinggi. Dinata ingin namun rasa tidak percaya diri sungguh mengganggu.
"Din, sampe bab berapa?" tanya Jinny.
Dinata sedikit terkejut karena tanpa sadar ia sudah melamun saat Jaya, Jinny, Lisa, dan Jefry mengobrol. "Masih bab 4. Udah dua kali revisi ada aja yang salah."
"Pak Victor perfectionist banget sih, gilak." Jaya menimpali sembari menggelengkan kepala.
"Gue masih inget banget dikasih tugas Metode Penelitian harus ditulis tangan dan punya si Jefry diketik. Langsung ditolak!" Jaya terbahak sejenak sebelum Jefry memukul kepalanya dengan sendok.
"Diem bangsat!"
"Anjir sakit cuk!"
Lisa dan Jinny ikut tertawa melihat pertikaian keduanya.
"Iya-iya gue juga inget!" Lisa terkikik pelan, tidak mau mendapat pukulan dari Jefry. "Udah jelas ditolak 'Tulis ulang dengan tangan, bukan ketikan' masih aja nego."
"Namanya juga usaha, apa salahnya sih."
"Eh Jef, gue denger dari anak Fisip, lu sepupunya Pak Victor? Beneran?"
"Bukan." Jawaban singkat Jefry sedikit membuat sang penanya sungkan. Jinny menangkap raut tidak suka di wajah Jefry.
Jaya yang malam itu pernah bertemu Jefry dan sang dosen di bar berdeham untuk menghilangkan suasana canggung antara mereka. "Jef, gue ke BEM dulu ya. Ambil kunci motor, ketinggalan."
"Ya udah. Gue juga sekalian cabut, ada jam," sahut Jefry sambil mengeluarkan dompet dari saku.
"Eh, engga usah! Hari ini gue yang bayar." Dinata mencegah Jefry yang hendak menuju kasir.
"Gue cuma mau ambil STNK."
"Oh. . ." Tanpa sadar, kedua pipi Dinata memerah, hal sepele tapi membuatnya malu.
"Kita cabut dulu ya! Kalian bareng aja kalau mau ke perpustakaan." Lisa menggandeng Jinny sebelum berjalan keluar kantin. "Makasih, ya Nata. Kapan-kapan traktir lagi, hehe. . ."
"Lo mau baca juga di sana?"
"Cari referensi sekalian revisi. Lo?"
"Gue cari referensi buat makalah besok. Bawa laptop?" Jefry bertanya saat Dinata menerima kembalian dari kasir.
"Di loker. Ini kita ke perpustakaan bareng?"
"Lo ngga mau?"
"Ya ngga juga. . . . kita kan baru kenal."
Jefry menyamai langkah santai Dinata. "Gue malah seneng ada temennya. Daripada sendiri engga ada yang diajak interaksi."
Dinata mengangkat sebelah alisnya. "Niat ngobrol atau baca nih jadinya?"
"Seringnya sih baca terus ketiduran." Jefry meringis.
"Mahasiswa semester tua kayaknya sih gitu semua." Dinata terkekeh. "Gue juga gitu soalnya."
"Yaelah. . . ternyata sama aja."
Tanpa terasa, mereka telah sampai di area loker. Kala mengambil tas berisi laptop, beberapa lembar kertas jatuh. Jefry membantunya.
"Kamu punya kartu ini?"
"Oh? Iya. . ."
Dinata belum sempat mengambil kertas yang berjatuhan. Alhasil, ia ketahuan memiliki kartu nama Ibu Eliana yang pasti tidak sembarangan orang dapat mengantonginya.
Selain minder, Dinata juga dilanda rasa berat hati untuk menceritakan tawaran kerja di Shine Group kepada teman-temannya. Ia tak ingin menambah persaingan yang sudah ada di depan mata.
Di sisinya, Jefry menatap gadis itu dengan pandangan yang sulit diartikan. Hingga Dinata menyadari sedang ditatap Jefry. "Apa ada yang salah dengan mukaku?"
"E-engga. Gue agak kaget aja. Relasi lo bagus juga bisa dapat kartu nama kakak sepupu gue."
Usai mengunci loker, Dinata menatap terkejut pada lawan bicara. "Jadi bener yang Jinny bilang tadi?"
"Salah. Gue bukan sepupu Pak Victor, tapi sepupu istrinya."
"Wah. . . si Jaya nemu aja ya temen baru konglomerat kaya lo ini."
"Kalo bukan karena gue mabuk di club malam itu, kayanya ngga bakal kenal sama Jaya sih," ucap Jefry lirih. Ia memang cukup nakal, tapi masih punya rasa malu untuk terang-terangan ia punya hobi ke bar.
"Kirain kalian udah beberapa kali ketemu," ucap Dinata. Kini mereka telah sampai di perpustakaan.
"Baru pertama kali ya di malam itu," ungkap Jefry. "By the way, makasih udah bantu gue ya Nat." Jefry ditatap dengan pandangan penuh tanya. "Sama Jaya waktu itu."
"Oh. . . Santai aja," ucap Dinata sembari menaruh barang bawaannya ke meja. "Gue mau cari buku dulu. Nitip bentar boleh ngga? Mau ke atas nih."
"Boleh. Santai aja. Gue juga mau ngegame dulu. Hehe."
Dinata tergeleng-geleng dibuatnya. "Jangan lupa silent, Jef."
"Siplah."
Sementara Dinata mencari buku yang dibutuhkan, Jefry segera membuka ponselnya dan menghubungi Sammy, anak buah Eliana sekaligus sahabat karibnya.
"Sam, kirimi gue profile Dinata. Coba cari di laptop bos lu."
Jika benar ada di sana, sudah pasti gadis yang diincar Eliana adalah Dinata.
----------
Hai hai readers!
Penasaran ngga sama lanjutannya?
Jangan lupa follow, komen, dan pencet bintang ya!
Thank u...
KAMU SEDANG MEMBACA
Enggan
FanfictionDinata menyesali keengganannya untuk menolak permintaan Eliana. Ia tidak berpikir secara matang kala menandatangani surat persetujuan yang disodorkan malam itu. Dinata lengah untuk menyadari kehidupannya dipertaruhkan, begitu pula masa depannya yang...