Dalam kurun waktu dua minggu, kesempatan untuk bertemu dengan Bu Eliana ternyata nihil. Dinata sudah dua kali melakukan bimbingan di rumah Pak Victor bersama teman-temannya tetapi wanita itu sama sekali tidak menampakkan diri. Ia pun juga enggan bertanya pada dospemnya.
Pernah suatu kali Doni menanyakan istri sang dosen dan Pak Victor menjawabnya singkat sekali. "Kerja." Tipikal orang yang tak ingin melanjutkan obrolan tidak penting.
Padahal bagi Dinata itu informasi penting. Supaya dirinya bisa membuka peluang pertemuan tanpa menggunakan perangkat telepon. Ia merasa sungkan jika tiba-tiba menghubungi. Di lain sisi, menghubungi dengan berbasi-basi terlebih dahulu juga bukan pilihan dan terlalu basi untuk dilakukan. Eliana Heather itu orang penting, sedangkan dirinya bukan siapa-siapa. Mereka baru bertemu beberapa kali itu pun karena keadaan.
Jika bukan karena ia harus ke rumah sang dosen untuk melakukan bimbingan skripsi, mustahil ia bertemu dengan wanita itu.
Setelah mengumpulkan keberaniannya untuk menghubungi Eliana, sebuah kafe akhirnya menjadi tempat pertemuan Dinata dengan wanita itu. Saat melakukan panggilan telepon, ia sebenarnya ingin menanyakan apakah beliau ada di kantor. Berharap bisa bertemu di kantor sekaligus melihat seperti apa perusahaan besar yang diwariskan keluarga Heather pada Eliana.
Ia menyadari kesibukan Eliana mungkin melebihi sang suami. Jadi, Dinata juga bertanya kapan sekiranya bisa bertemu. Tak berbelit, perjanjian tersebut langsung ditepati pada hari itu juga. Sempat terkejut karena dia tidak menyangka bahwa di hari itu juga akan bertemu dengan pewaris salah satu perusahaan terbesar se-Asia itu.
Bertemu dengan alasan pribadi. Bukan karena keadaan yang membuat mereka bertemu seperti yang sudah lalu.
Eliana langsung menyambut jabat tangan gadis itu dan tersenyum. Senang sekali melihat anak zaman sekarang bersikap sopan dan ramah, apalagi cantik seperti Dinata.
"Sudah menunggu dari tadi, ya?"
"Tidak, Bu. Saya baru sepuluh menit di sini." Ia mengembangkan senyum tertahan.
Entah mengapa ia tetap merasa gugup meski sudah beberapa kali bertemu istri dari dosennya itu. Baru kemarin juga ia melaksanakan bimbingan skripsi dengan Doni dan Lia di rumah Pak Victor yang otomatis bertemu istrinya.
"Kamu belum pesan makanan?" Eliana melihat meja masih kosong. "Saya yang traktir hari ini, pesan aja. Terserah kamu."
Usai meyingkirkan rasa sungkannya, Dinata menimbang sebentar sebelum mulai menatap pelayan. "Es teh manis, Kak."
"Cuma itu?"
Gadis itu menatap wanita di hadapannya dengan senyum canggung. "Iya, Bu."
"Kamu engga makan?" Eliana tidak mengalihkan pandangan dari buku menu. "Satu es caramel macchiatto sama rice bowl ayam sambal matah dua ya," ucapnya tanpa menunggu jawaban dari Dinata.
Melihat gelagat Dinata yang tidak rileks, justru membuatnya ingin menahan gadis itu lebih lama. Awalnya Eliana ingin varian udang. Tapi, ia mengalah dengan mengambil pilihan makanan yang umum dicari orang karena ia tidak tahu, apakah Dinata alergi udang atau tidak. Ia harus bisa memanfaatkan hari ini untuk mengenal gadis itu lebih jauh.
Pelayan sudah melangkahkan kaki menjauh dari meja keduanya. Dinata bisa melihat Eliana tersenyum manis saat ia hendak mengatakan kalimat penolakan. Namun urung karena senyum itu sedikit membuatnya tertegun.
Cantik sekali.
"Mumpung saya luang, saya ingin makan di kafe ini. Kebetulan kafe ini juga tempat pertama yang mempertemukan saya dengan suami."
Sebenarnya Victor dan Eliana tidak bertemu di kafe ini untuk pertama kali. Mereka dijodohkan dan pertemuan keluarga diadakan di restoran mewah yang sekaligus menjadi pertemuan pertama keduanya. Namun di sinilah mereka bertemu tanpa disengaja usai merampungkan pertemuan perjodohan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Enggan
FanfictionDinata menyesali keengganannya untuk menolak permintaan Eliana. Ia tidak berpikir secara matang kala menandatangani surat persetujuan yang disodorkan malam itu. Dinata lengah untuk menyadari kehidupannya dipertaruhkan, begitu pula masa depannya yang...