8. Setuju

41 12 7
                                    

Sebelum baca, pastikan sudah sentuh bintang di pojok kiri.

I hope you enjoy this story!


#


"Ya?"

Tentu saja Dinata terkejut. Bagaimana tidak? Ini adalah Shine Group. Perusahaan raksasa!

Perkiraannya salah. Bukan posisi staff yang ditawarkan Bu Eliana. Asisten . . . bukankah tanggungjawabnya terlalu besar? Apakah dirinya mampu menanggung tugas yang musti diemban?

Posisinya sekarang belum mendapat gelar sarjana, pengalaman kerja di luar manajerial maupun marketing. Dan langsung menjabat sebagai asisten, tampaknya Dinata lebih baik mundur pelan-pelan. Posisi itu terlampau tinggi untuknya.

"T-tapi . . . ," Gadis berusia 24 tahun itu ingin mencoba bertanya. "Apakah engga ada posisi lain, Bu? Jujur saya ragu bisa melakukannya."

Bu Eliana mengernyit heran. "Saya kira keteguhan kamu cukup besar. Kenapa menjadi asisten pribadi saya saja kamu keberatan?"

"Tahun lalu Shine sudah membuka lowongan pekerjaan besar-besaran untuk semua posisi. Kalau kamu mau menunggu, mungkin bisa dua sampai tiga tahun lagi," lanjutnya setelah melihat keraguan Dinata. "Menjadi asisten pribadi tidak sulit. Kamu hanya mengatur jadwal meeting saya dengan klien, menghubungi klien, membuat notulen rapat, dan beberapa tugas lain . . . saya kira kamu bisa melakukannya."

Dinata terlihat menggigit bibir bawahnya, meragu. Kata 'hanya' yang diselipkan Bu Eliana justru terdengar seperti peringatan bahwa menjadi asisten pribadi itu bukan hal yang mudah seperti yang dibayangkan.

"Anggap saja kamu saya training tiga bulan. Kalau kinerja kamu bagus, bisa langsung tanda tangan kontrak kerja untuk empat tahun." Eliana menyegarkan tenggorokan dengan caramel macchiato-nya yang mulai membasahi meja saking banyaknya embun di area gelas kaca. "Personal assistant saya hamil sedangkan jadwal saya cukup padat. Saya tidak ingin menjadi bos jahat yang memforsir tenaga dia demi kepentingan perusahaan, padahal saya bisa mencari penggantinya untuk sementara."

"Satu minggu cukup untuk kamu belajar darinya."

Di seberangnya, Dinata sedang memikirkan negosiasi seperti apa yang harus dia ungkapkan. Ya, umpan Bu Eliana tampaknya sudah digigit oleh gadis itu. Tertarik dengan tawarannya meskipun rona wajah dengan keraguan masih tampak mendominasi.

"Satu bulan, Bu."

Bu Eliana terkekeh kecil. "Tetap saja menyulitkan asisten saya." Ia berpikir sejenak. "Dua minggu, deal?"

"Tiga minggu, Bu. Saya perlu belajar banyak dari Personal Assistant Anda."

Usai menimang kembali negosiasi Dinata, akhirnya wanita berusia 37 tahun itu mengangguk. "Baik. Jika bisa lebih cepat, itu lebih baik."

Bu Eliana menikmati minumannya dengan ujung bibir terangkat tipis. Meski tertahan, Dinata tetap bisa melihatnya. 

Sedikit demi sedikit ketidak-percayaan dirinya pada skill dan kemampuan yang dimiliki perlahan menurun. Karena posisi itu juga amat baru bagi dirinya. Lagipula, kesempatan ini mungkin tidak akan datang datang dua kali.

Ia memutuskan untuk mengambil tawaran Bu Eliana tanpa perlu pikir panjang lagi. Ingin lepas dari bayang-bayang mantan ibu angkatnya dan meninggalkan flat yang sampai sekarang membersamainya dengan kenangan pahit selama belasan tahun. Mencari tempat tinggal baru dan memulai karirnya sebagai Dinata yang baru.

Dulu hingga sekarang, selama Dinata bertahan hidup, ia hanya pernah bekerja sebagai tukang cuci piring saat masih SMP. Menjadi pengantar makanan dari warung sederhana, pelayan kafe, dan menjaga toko kelontong di samping flat sederhana yang masih dibiayai Nyonya Griezelle sampai saat ini.

Sebenarnya Dinata tidak ingin bergantung lagi pada wanita itu setelah sekian lama ia ditinggalkan di flat sejak baru lulus SD. Namun, ia tidak mungkin mengharapkan amplop dari ibu angkatnya lagi. Ia terlanjur sakit hati diabaikan bertahun-tahun, dianggap sebagai pembawa sial, dan sempat dituding sengaja mencelakai Erika kecil karena ia iri.

Walaupun bukan begitu kenyataannya, namun semua orang di rumah itu hanya mempercayai apa yang ingin mereka percayai. Tidak peduli perbuatan mereka menyakiti satu bingkai hati rapuh miliknya. 


#

Malam itu, Victor masih terjaga dan mendapati ponselnya bergetar di meja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam itu, Victor masih terjaga dan mendapati ponselnya bergetar di meja. Ia tidak mengira itu hal penting. Maka memilih untuk mengabaikan daripada menjawab telepon dengan bersungut-sungut.

Ponsel miliknya bergetar lagi. Sebenarnya siapa yang menelepon di waktu istirahat begini? Jika itu mahasiswa, ia harus menegaskan mulai besok tidak ada panggilan maupun pesan di luar jam kerja. Ternyata setelah lima menit, ponsel itu berdering lagi untuk kesekian kali. Si penelepon tidak menyerah.

Victor akhirnya menyambar ponsel beriring decakan halus dari bibir tebalnya. Ia bangun kemudian membuka pintu balkon sebelum menutupnya kembali. Tanpa salam maupun basa-basi meminta maaf mengganggu waktu orang, di seberang sana seseorang berkata dengan tegas, "gue tekanin sekali lagi. Ikuti permainan dia."

Ternyata anak itu. Sedikit menyesal telah mengangkat panggilan dari sepupu istrinya. Sebelum menyentuh warna hijau seharusnya ia melihat layar dahulu. Mood-nya semakin rusak bahkan sebelum dirinya benar-benar memejamkan mata.

"Kayaknya dia udah nemuin istri kedua buat lo. Masih muda, cantik. . . " Jefry memberi jeda. "Perawan ting-ting sih kata gue, anaknya engga pernah macem-macem dari yang gue denger dari si Jaya," lanjut Jefry dengan nada menyebalkan di telinga Victor.

"Jef, ini waktunya tidur. Engga ada jam di rumah? Atau lo emang segabut ini ngurusin rumah tangga gue sama Nana?"

"Gue ketemu sama mereka hari ini di Kafe Glory. Entah apa yang diomongin. Tapi kayaknya mereka cukup dekat."

Tak ada tanggapan dari anak laki-laki itu di seberang sana, hanya menyerocos semaunya sendiri tak peduli dengan peringatan Victor. Belum lagi saat bunyi telepon dimatikan berdentang. Victor hampir membanting ponsel miliknya, batal setelah ia mengingat bahwa sang istri tercinta tengah terlelap nyenyak.

Jika benar . . . 

Victor tidak menyangka istrinya beraksi lagi seperti tiga tahun lalu. Ya, mencarikan dia perempuan untuk mengandung benihnya. Sampai nekat mengiming-imingi Liona, sahabatnya sendiri untuk berhubungan dengan suaminya.

Victor ingat betul bagaimana sang istri terpukul begitu Liona akhirnya memutus persahabatan mereka pasca obrolan mengenai hal yang begitu tabu. Eliana juga salah dalam bicara. Seakan-akan Liona adalah gadis matre yang tidak bisa menghasilkan uang sendiri hingga harus jual diri.




Kali ini, walau sebenarnya tak ingin percaya pada Jefry, ia memilih untuk memikirkannya dengan hati-hati. Jika ia langsung menanyakan Eliana, ia tidak yakin Elian akan jujur. Wanita memang sulit dimengerti, kalau kata orang. Namun bagaimana pun, kemandulan memang bukanlah hal sepele bagi wanita.

EngganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang