Taeil sesekali melirik Doyoung di sampingnya. Gadis itu terlihat cantik hari ini dengan balutan turtle neck dress berwarna maroon. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai tidak seperti biasa. Sayangnya Doyoung tidak terlihat dalam suasana hati yang baik.
"Apa terjadi sesuatu?" ujar Taeil ketika mereka berhenti di lampu merah.
Doyoung segera duduk dengan baik dan memasang senyuman. "Tidak, bukan masalah besar."
"Ah, masalah rumah?"
"Ya, semacam kran yang macet membuatku kesal waktu mandi tadi." Doyoung terkekeh pelan. Taeil menyadari suara getir Doyoung. Namun, karena hari ini dia sudah berjanji akan mengenalkan Doyoung kepada orang tuanya, Taeil tidak akan membahas masalah Doyoung lebih dalam.
Doyoung kembali diam sambil menatap jalanan luar. Sangat tidak biasa Doyoung seperti itu. Taeil merasa tidak nyaman. Dia pun menghentikan mobilnya di badan jalan.
Doyoung tampak terkejut. Ia menatap Taeil bingung. Taeil tersenyum tetapi sorot matanya memperlihatkan bahwa ia sedang gelisah juga.
"Doyoung-shii, kurasa kita batalkan saja makan siang hari ini," ujar Taeil.
"Kenapa? Bagaimana dengan Ibu Oppa? Dia pasti sudah menunggu di sana."
Taeil bergeleng pelan. "Aku ingin mengatakan sesuatu padamu sebelum kau bertemu dengan Ibu."
Tubuh Doyoung mulai merasakan sensasi aneh lagi. Dia menggeram dalam hati. Dia berdoa agar Taeil tidak mengatakan apa yang ingin dia katakan sekarang. Doyoung sudah cukup lelah mendengarkan pernyataan tanpa basa-basi Jaehyun semalam. Dia belum siap untuk mendengar pernyataan cinta lagi.
"Sebenarnya Gongmyung yang mengatur semua ini, dia ingin aku menikah denganmu," ucap Taeil. Doyoung menghela napas. Tidak terkejut. "Kupikir, ya, itu bukan ide yang buruk lagi pula keluargaku juga terus menuntutku untuk cepat menikah, tapi..."
"Tapi, kau tidak bisa mencintaiku?"
Wajah Taeil menegang. Ia memandang wajah Doyoung tidak percaya. Doyoung pun tersenyum tipis.
"Aku tahu Oppa, aku bisa melihatnya di matamu. Ada orang lain yang selalu ada dipikiranmu, begitu, kan?"
Taeil terdiam. Ucapan Doyoung tepat sasaran. Sesaat di sana hanya terdengar suara deru kendaraan yang hilir mudik di jalanan.
"Sejelas itu, ya?" Kemudian Taeil tertawa sumbang. "Aku mengira dengan perjodohan ini aku bisa melupakan gadis itu. Ternyata setelah kusadari aku hanya sedang berusaha lari dari kenyataan dan membohongi diri sendiri."
Doyoung merenung kemudian ia mengangguk. "Aku bisa mengerti bagaimana perasaanmu.... Tidak mudah untuk melupakan apa yang sudah lama di pikiran kita dan menjadi kebiasaan. Dan kurasa kau ada benarnya. Kita berpikir untuk menyelesaikan masalah tapi kenyataannya kita hanya sedang lari dari masalah itu sendiri."
Tiba-tiba saja dadanya kembali terasa sesak. Menyadari bahwa selama ini ia terus berlari tanpa tujuan membuatnya ingin menangis. Ia ingin mengakhiri penderitaan ini. Ia tidak ingin lari lagi.
Taeil mengusap kepalanya lembut. "Tapi, sungguh, aku menyayangimu. Kau sudah seperti adikku juga, apalagi aku sudah mengenalmu sejak zaman sekolah."
Doyoung menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Taeil langsung panik salah tingkah.
"K-Kau menangis?" Pertanyaan bodoh itu dijawab Doyoung dengan anggukkan sambil terisak. Taeil pun mencoba membujuknya dengan menepuk-nepuk punggung Doyoung yang terus menangis.
. . .
Selain Hongdae, Myeongdong menjadi pusat peradaban anak muda Seoul. Ten sejak tadi berkeliling di sekitar kawasan itu bersama kameranya. Sesekali ia memotret pemandangan kesibukan kota Seoul untuk diabadikan menjadi salah satu koleksi fotografinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Struggle
Fanfiction[NCT Genderswitch Fanfiction] Video teaser : bit.ly/teaserlovestruggle /// Doyoung memutuskan untuk mengambil cuti satu semester karena alasan kesehatan. Sementara dia terlihat baik-baik saja. Bukan fisiknya yang sakit, melainkan hatinya. Orang-oran...