Selesai sarapan Doyoung melangkahkan kakinya menaiki tangga putar menuju balkon atas. Sejak kecil setiap dirinya merasa sedih atau kesal ia akan naik ke atas sini untuk menyendiri. Dari atas sini Doyoung bisa melihat dengan jelas bangunan dua lantai ini beserta halamannya. Rumah dengan luas tanah 20 meter persegi ini memiliki paduan gaya tradisional juga modern. Bangunan semi kayu ulin ini dibangun hasil dari kerja keras mendiang ayahnya.
Ruang yang telah diubah Gongmyung menjadi kamar kos itu dulunya merupakan klinik tempat praktik kerja ayah dan ibunya. Keduanya merupakan pasangan serasi antara dokter dan perawat. Namun, mereka lebih mendalami ilmu pengobatan tradisional daripada medis modern.
Halaman luas itu dulunya juga ditumbuhi berbagai macam tanaman obat. Doyoung sering duduk disini untuk memandangi ibunya yang sedang berkebun. Kenangan itu kini hanya tinggal bayangan masa kecilnya.
Ia mungkin merasa bersalah karena tidak menuruti kemauan orang tuanya untuk mengambil kuliah kedokteran. Namun, Doyoung tidak pernah menyesal untuk tidak mengambil jurusan itu. Karena sekarang ia menikmati dirinya belajar tentang seni.
Ia lebih menyesali lagi kenapa lupa membawa buku sketsanya ke atas sini. Padahal suasana di sini sangat mendukungnya untuk mulai menggambar. Ketika mendengar suara langkah kaki, Doyoung langsung menoleh.
"Sejak kapan rumah ini jadi indekos? eh-"
Ia mengira Gongmyung menyusulnya kemari. Tapi ternyata si pria yang membukakan pagar untuknya tadi pagi. Kali ini ia terlihat lebih rapi, lebih segar, dan tidak berbau alkohol. Kalau begini dia terlihat sangat mempesona. Sisi feminim Doyoung mengakuinya.
"Sejak 3 tahun yang lalu, kakakku adalah sahabat Gongmyung hyung, awalnya dia hanya mau menitipkanku di sini tapi karena banyak kamar kosong, akhirnya hyung menyewakan kamar yang lain juga." jawab pria itu. Doyoung pun mengangguk mengerti. Ia lalu mengulurkan tangannya.
"Sejak tadi pagi kita bicara tapi aku belum memperkenalkan diri, namaku Jung-"
"YAK! KIM DONGYOUNG!"
Keduanya sama-sama terjengkit ketika mendengar suara cempreng dari seberang sana. Doyoung mengintip dan melihat sosok pemuda bertubuh kurus melompat dari balkonnya ke balkon rumah Doyoung.
Doyoung memutar bola matanya melihat pemuda itu. Tiga tahun berlalu dan tampaknya tidak ada yang berubah darinya. "Yak, Dongdong, bisa bisanya kau kembali tanpa mengabariku???"
Doyoung terkekeh. "Untuk apa?" jawab Doyoung malas. Pemuda berambut merah muda itu merengut sebal.
"Untuk apa? aku ini sahabatmu sejak lahir, kejam sekali...."
Doyoung menggedikkan bahu. Taeyong selalu menganggapnya sebagai sahabat sejati. Padahal yang mereka lakukan hanya bermain bersama sejak usia 3 tahun. Tepatnya, Doyoung dipaksa bermain bersama anak sulung keluarga Lee itu sejak berusia 3 tahun.
Keluarga Lee menjadi keluarga pertama yang berkunjung ketika keluarganya pindah ke rumah ini puluhan tahun yang lalu. Anak pertama mereka hanya setahun lebih tua daripada Doyoung. Tetapi karena tubuhnya yang lebih kecil, orang tua mereka menganggap mereka seumuran.
Doyoung tidak suka bermain dengannya sebab, Taeyong adalah anak laki-laki. Doyoung merasa sudah cukup semua mainannya dirusak oleh Gongmyung. Ia tidak ingin Gongmyung yang lain. Kedua, Taeyong suka menangis. Taeyong kecil selalu menangis tanpa sebab yang jelas. Dan, ketiga, Taeyong menyebalkan. Dia lebih tua tapi Doyoung yang selalu menjaganya. Itu menyebalkan.
Sialnya Taeyong selalu ada di kehidupannya bahkan sampai Doyoung kelas 3 SMA. Untung saja orang-orang juga sepertinya, mereka tidak pernah memandang Taeyong sebagai anak laki-laki karena cara bertingkah juga pakaian yang ia kenakan. Sehingga Doyoung tidak pernah digosipkan berpacaran dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Struggle
Fanfiction[NCT Genderswitch Fanfiction] Video teaser : bit.ly/teaserlovestruggle /// Doyoung memutuskan untuk mengambil cuti satu semester karena alasan kesehatan. Sementara dia terlihat baik-baik saja. Bukan fisiknya yang sakit, melainkan hatinya. Orang-oran...