06

1.4K 103 0
                                    

"𝓢𝓪𝓽𝓾 orang yang bisa jawab pertanyaan saya, boleh istirahat duluan".

Kelas sebelas 𝙼𝙸𝙿𝙰 satu yang tadinya hening langsung berisik, beberapa diantara mereka mengeluh sedangkan siswa ambis di kelas langsung mengeluarkan alat tulis. Gracio yang duduk di barisan belakang menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, menunggu soal yang akan diajukan dengan tenang.

"Mau tebak-tebakan atau soal fisika nih?" Pak pucho-guru Fisika sekaligus wali kelas 𝙼𝙸𝙿𝙰 satu mengajukan penawaran.

Ia terkekeh saat murid-muridnya kompak menjawab soal fisika dibanding soal tebak-tebakan. "Iya iya, soal fisika. Heran banget, mentang-mentang pinter pada milih soal fisika".

"Soalnya kalau soal tebak-tebakan pusing pak, yang ada bapak ketawa sendirian," Celetuk Oniel yang juga duduk di barisan paling belakang.

Celetuk Oniel disambut tawa oleh siswa kelas sebelas 𝙼𝙸𝙿𝙰 satu. Apa yang dikatakan Oniel bukan bermaksud tidak sopan, bahkan pak Pucho sendiri mengakuinya. Masalahnya pertanyaan tebak-tebakan yang diajukan pak Pucho adalah lawakan tahun sembilan puluhan yang jelas saja hanya dimengerti oleh pak Pucho sendiri.

"Saya mulai ya?"

Suasana kelas mendadak tegang, mereka memperhatikan pak Pucho dengan seksama. Pak Pucho balik memperhatikan raut wajah muridnya satu persatu, ia membuka mulut lalu menutupnya kembali beberapa kali, siswa kelas yang gregetan memegang pensil mereka erat-erat.

"Pak udahlah". seorang murid perempuan menatap malas ke arah pak Pucho.

"Jadi..." Pak Pucho tersenyum kecil. "Taruh ponsel kalian diatas meja dlu dong".

"Pak Pucho," rengek seluruh siswa perempuan karena gregetan sendiri. Baik siswa laki-laki maupun perempuan langsung meletakkan ponsel diatas meja sesuai arahan.

"Oke saya mulai lagi". Pak Pucho mengetuk-ngetuk bagian belakang spidol di atas meja agar suasana kelas kembali tenang.

"Pak,cuma kasih tahu, orang yang suka memberi harapan palsu dosanya besar lho, pak". Oniel yang tidak kalah greget bisa mengeluarkan senyum penuh keterpaksaan.

Pak Pucho tergelak. "Iya-iya maaf, nih ya, Oniel bola m1 adalah 200 gram dan massa bola m2 adalah 100 gram. Kedua bola dihubungkan dengan kawat yang mempunyai panjang 60 cm dan massanya diabaikan. Sumbu AB adalah?"

Gracio yang sejak tadi menertawai keputusasaan teman kelasnya membuka buku catatannya. Matanya fokus memindai satu persatu rumus yang akan ia gunakan. Ketika berhasil menemukan rumusnya, Gracio merampas pensil yang sedang digunakan oleh Frans. Ya, Frans hanya bisa menghela napas sabar, kalaupun ia marah-marah Gracio tidak akan meladeninya sama sekali, lebih baik mengalah di saat-saat seperti ini.

"Diketahui massa bola m1 adalah dua ratus gram berarti nol koma dua kilogram," gumam Gracio dengan suara sepelan mungkin, tangannya dengan lihai mencoret-coret kertas.

Kurang dari tiga menit, Gracio mengangkat tangannya, namun Gracio tidak sendiri. Kelas yang tadinya tegang semakin mencekam saat Vino mengangkat tangan bersamaan dengan Gracio. Siswa kelas melirik satu sama lain, Oniel bahkan membelalakkan kedua bola matanya. Pak Pucho yang bisa merasakan aura mencekam mengukir tersenyum.

"Gracio sama Vino suit, deh".

Gracio dan Vino berdiri dari kursi mereka masing-masing, keduanya melakukan suit jarak jauh dikarenakan posisi duduk keduanya berjauhan. Gracio dibarisan belakang dan Vino dibarisan depan. Gracio berdecak pelan saat Vino mengeluarkan gunting sedangkan ia mengeluarkan kertas. Sebelum membalikkan badan, Vino melayangkan senyuman penuh kemenangan pada Gracio.

"Ternyata karma emang datengnya kilat banget ya, Ge".Frans yang pensilnya dirampas menepuk-nepuk pundak Gracio.

Gracio mendelik, atensinya kembali terfokus pada Vino dan pak Pucho.

GRACIOSHANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang