23

1.6K 136 11
                                    

𝓚𝓲𝓷𝓪𝓵 berlari memasuki rumahnya setelah menerima panggilan dari salah satu pekerja rumahnya. Ia bahkan meninggalkan kelas saat mendengar betapa paniknya suara Bi Yaya di telepon tadi. Langkah Kinal berhenti di hadapan Bi Yaya yang sedang berdiri dengan wajah khawatir di depan pintu kamar Shani.

"Bi pulang aja, Shani biar aku yang urus". Kinal berusaha tersenyum, ia mengatur napasnya terlebih dahulu.

"Shani, gue tau lo di dalem, buka pintunya sekarang", Kinal mengetuk pintu kamar Shani tidak sabaran.

"Pergi kak". Suara lirih Shani semakin membuat Kinal khawatir.

"Gue hitung sampe tiga, kalau lo ngga-"

"Pergi! Aku bilang pergi ya pergi! Nggak usah sok khawatir sama aku". Shani berteriak dari dalam kamar.

Kinal yang terlanjur tidak peduli benar-benar melihat kondisi kamar Shani yang terlihat sangat berantakan dengan tetesan darah di mana-mana. Kinal mendekati Shani yang duduk di tepi kasur, ia memaksa Shani membuka kepalan tangannya yang dipenuhi obat tidur.
"Jangan gila, Shani".

"Kenapa? Aku mati kalian juga nggak akan peduli kan? Bukannya kematian aku yang kalian inginkan? Aku yang buat Aran mati dan aku pantas mati, bener kan?" Shani menatap Kinal sambil menyembunyikan kepalan tangannya.

"Shani". Suara Kinal melembut, ia menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah Shani.

Shani menunduk, pundaknya bergetar hebat saat menerima perlakuan lembut dari Kinal. "Biarin Aku mati kak, biarin aku ketemu Aran secepatnya. Aku nggak kuat kalau harus hidup gini terus".

Kinal dengan hati-hati mencoba membuka kepalan tangan Shani, ia meringis pelan saat menemukan luka sayatan di pergelangan tangan Shani. Karena Shani tidak kunjung membuka kepalan tangannya, Kinal mengangkat kepala Shani menggunakan tangan kanannya.
"Gue percaya sama lo, Shan", Kinal menatap Shani lekat-lekat.

Shani balik menatap Kinal, ia mencoba mencari kebohongan dari kedua bola mata milik kakaknya. kinal menghela napas, ia menarik tubuh Shani ke dalam dekapannya. Setelah dua tahun lamanya, akhirnya Kinal mau menurunkan egonya. Kinal mengeratkan pelukan keduanya, kedua matanya terpejam, berusaha meredakan perasaan khawatir yang membuatnya serasa tercekik.

Obat tidur yang semula Shani genggam terjatuh di lantai, tangannya naik membalas dekapan Kinal, isak tangis Shani terdengar sangat pilu memenuhi keheningan kamar, seolah-olah ia sudah berdiri di garis keputusasaan saat ini.

"Bukan aku kak, demi Tuhan aku nggak pernah ngelakuin itu". Tangan Shani meremas erat kaus yang Kinal kenakan.

Kinal mengangguk, ia mengusap lembut surai Shani. "Kakak ngerti, kakak percaya sama kamu".

"Aku nggak pernah tidur sama siapa pun Kak Kinal, kenapa mereka nggak percaya sama aku? Aku benci ditatap seolah-olah aku orang paling hina di dunia".

Kinal memlih dia, ia terus mengusap lembut surai Shani hingga isakan pilunya berganti dengan dengkuran halus. Dengan hati-hati Kinal memindahkan Shani ke kasur, ia mengusap pipi Shani yang dipenuhi jejak air mata. Kinal menatap Shani, pasti adik satunya terlalu lelah nangis hingga jatuh tertidur seperti ini.

"Maaf karena kakak datang terlambat, Shan". Kinal ganti mengecup luka sayatan di kedua pergelangan tangan Shani.

                         ■□■□■□■□■

"Aku kira aku cuma mimpi tadi". Shani berkata dengan suara parau, ia menarik salah satu kursi meja makan.

Kinal meletakkan kotak P3K di atas meja, ia menarik kedua tangan Shani yang belum diobati.
"Beneran bukan mimpi?" Tanya Shani pada Kinal yang mulai membersihkan lukanya menggunakan cairan antiseptik.

GRACIOSHANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang