25

1.7K 133 8
                                    

𝓖𝓻𝓪𝓬𝓲𝓸 meregangkan tubuhnya, ia meraih kunci motornya setelah berpamitan terlebih dahulu pada kedua orangtuanya. Dengan kecepatan tinggi, Gracio memacu motornya membelah jalanan ibukota yang masih saja ramai. Kali ini Gracio hanya membutuhkan waktu kurang dari sepuluh menit sudah sampai.
"Loh kok balik?" Gracio menyisir rambutnya yang sedikit berantakan akibat helm yang ia kenakan.

Ollan dan Frans berlalu tanpa mengatakan sepatah kata pun, keduanya hanya menepuk singkat pundak Gracio lalu berlalu dari sana. Oniel yang baru keluar dari 𝘣𝘢𝘴𝘦𝘤𝘢𝘮𝘱 melakukan hal yang sama dengan Ollan dan Frans.

"Kok balik dah? Gue baru dateng, Lo balik juga Bil? Kondisi Anin gimanaa?" Gracio menahan tangan Nabil yang keluar belakangan.

"Anin nggak apa-apa. Lo jangan lupa ngobrol pake kepala dingin sama Vino".

Gracio menatap teman-temannya yang meninggalkan 𝘣𝘢𝘴𝘦𝘤𝘢𝘮𝘱, berarti saat ini hanya ada Gracio dan Vino di 𝘣𝘢𝘴𝘦𝘤𝘢𝘮𝘱 Enfant. Gracio menurunkan ritsleting jaketnya hingga menunjukkan kaus putih yang malam ini ia kenakan.
"Kenapa Vin?" Tanya Gracio tanpa berbasa-basi.

"Ayo ngobrol".

Gracio melepas jaketnya, ia duduk bersebrangan dengan Vino.
"Tentang hubungan Shani atau tentang foto yang hari ini kesebar?"

"Maksud lo?"

"Semua ini ulah lo sama Anin, kan?"

Gracio tertawa sarkas melihat reaksi Vino, ia mengeluarkan ponsel yang ada didalam saku jaketnya untuk menunjukkan sebuah foto pada Vino.
"Laki-laki ini, orang yang bawa Shani ke hotel sampe gue harus telat dateng ke pertandingan dan laki-laki ini jugaa yang bawa Shani pergi ke BAR, kan?"

"Lo tau dari mana?"

"Jadi bener?" Gracio mengangkat satu alisnya, ia menarik ponselnya lalu kembali mengulurkannya pada Vino. Kali ini layar ponsel Gracio menunjukkan tangkapan layar percakapan Vino dengan Anin. "Lo salah lawan kali ini Vin, gue nggak sebego itu".

"Gue nggak sepenuhnya ikut campur, Anin gerak sendiri selama ini."

Gracio mengusap kasar wajahnya menggunakan satu tangan, tidak percaya dengan ucapan yang baru saja dituturkan oleh Vino. "Lo cowok anjing, dan lo nyalahin semuanya ke Anin? Jelas jelas lo setuju buat kerja sama bareng Anin".

"Gue nggak setuju juga sahabat lo bakal tetep gerak bangsat". Vino ikut tersulut amarah.

"Lo beneran suka sama Shani nggak sih, Vin? Gini cara lo suka sama Shani?" Tangan Gracio ganti mengacak kasar rambutnya. "Kalau lo beneran sayang sama Shani, setidaknya cegah Anin".

"Lo berdua yang mulai. Lupa? Vino terkekeh sarkas. "Lo berdua yang main belakang, Gre".

Gracio bersandar pada sofa yang ia duduki, ia menatap Vino dengan intens. "Maaf"

Vino balik menatap Gracio.

"Maaf, Vin", ucap Gracio sekali lagi dengan tulus. "Buat masalah itu, baik gue atau Shani memang nggak ada pembenaran, gue dan Shani emang salah disini".

"Bagus kalau lo sadar".

Gracio membasahi bibirnya menggunakan lidahnya. "Tapi apa harus separah ini lo balas Shani? Gue rasa lebih baik lo bikin gue bonyok sampe masuk rumah sakit dibanding harus jebak Shani gini".

Vino menunduk, mencoba merenungi ucapan Gracio.

"Shani punya banyak orang yang percaya sama dia, lo kebayang nggak orang terdekatnya sekecewa apa kalau liat foto ini? Nggak usah jauh-jauh, ambil contoh orangtuanya, gue yakin Shani juga kebingungan buat ngejelasin kalau buktinya sejelas itu. Bangsat banget lo nggak ngasih celah sampe semulus itu jebakan Shani".

GRACIOSHANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang