31

1.9K 150 4
                                    

"Berangkat bareng Gre lagi?" Tanya Feni saat Shani meletakkan tasnya diatas meja.

Shani mengangguk, ia menidurkan kepalanya diatas tasnya yang terletak di meja.

"Kamu beneran belum balikan sama Gre?"

"Belum"

"Serius?"

Shani memutar kepalanya menghadap Feni. "Serius belum, Fen. Kok kamu aneh banget?"

"Ya aneh lah, tiga bulan keliatan deket banget, ternyata belum balikan?"

Nggak tau, aku nyaman aja ada di hubungan kaya gini."

Feni memangku wajahnya sambil menatap Shani. "Iya kamu nyaman, Gracionya belum tentu, kan? Kalau misalnya dia capek gimana?"

"Yaudah istirahat."

"Yakin kamu? Kamu sendiri yang nangis-nangis waktu putus dari Gre waktu itu."

"Orang putus siapa yang nggak sedih coba? Kamu waktu dicuekin Frans juga nangis-nangis kan?"

Feni menutup mulutnya rapat-rapat. "Iya-iya, suka-suka kamu deh. Asal awas aja kalau nangis waktu Gre nemu cewek lain."

Shani memilih memejamkan matanya. Tidak benar-benar tertidur, ia justru memikirkan ucapan Feni. Tiga bulan sudah berlalu, hubungan Gracio dan Shani memang tidak menunjukkan kemajuan.

Lima menit berlalu, Shani masih tetap setia pada posisinya. Ia yang hampir saja terlelap terpaksa mengangkat kepala saat mendengar bel masuk berbunyi dengan nyaring. Bisa habis jika ia tertidur di jam pelajaran Bu Melody. Masih ingat Bu Melody, kan? Guru matematika perminatan yang super duper menyebalkan bagi setiap murid MIPA. Ah, rasanya sudah lama sekali tidak membahas Bu Melody.
"Shani, kamu melamun?"

Shani tersadar dari lamunannya, ia menatap Bu Melody yang menegurnya. "Ah iya, maaf Bu."

"Pimpin doa."

Shani tersenyum paksa, ia mengangguk kecil saat menerima tepukan Feni dipunggung tangannya. "Bersiap. Berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing, mulai."

Kelas hening untuk sesaat. Selepas berdoa, Shani mengangkat kepalanya terlebih dahulu. "Selesai, Beri salam."

"Selamat pagi, Bu," Seru murid sebelas MIPA tiga dengan kompak.

                          ●○●○●○●○

Gracio melambaikan tangannya pada Feni dan Frans yang baru saja berlalu. Ia duduk di sebuah kursi yang dipisahkan oleh sebuah meja yang biasa Feni dan Shani gunakan untuk menulis, menatap Shani yang sibuk memasukkan barangnya kedalam tas.

"Gee, duluan," Teriak Ollan dari depan kelas.

"Yo, tiati," Gracio balas teriakan tanpa menoleh, tangannya terulur menggapai sebuah kemasan yang Gracio yakini isinya adalah sebuah parfum beraroma vanilla, Gracio merasa tidak asing dengan kemasan yang ada ditangannya.

"Kamu beli parfum lagi?"

"Nggak, parfum yang aku beli bareng sama kamu masih banyak malah," Ucap Shani seraya memasukkan stabilo kedalam tempat pensil.

"Terus ini?"

Shani mengambil alih kemasan berisi parfum kesukaannya, membolak-balik parfum persis seperti yang Gracio lakukan sebelumnya. "Dari Nabil."

"Oh Nabil." Gracio terdiam beberapa saat. "Hah, Nabil? Nabil kakaknya Anin? Nabil ketua Enfant?" Heboh Gracio.

"Ya iya, emangnya siapa lagi?"

"Dalam rangka apa?"

"Dia bilang sih sebagai permintaan maaf."

Satu alis Gracio terangkat. "Hm mencurigakan, kok dia bisa tau kamu suka aroma vanilla?"

Shani bangkit sambil memasang tasnya dipundak. "Mana aku tau, aku kira dia tau dari kamu."

"Nggak, dia nggak ada tanya sama aku." Gracio ikut bangkit, keduanya berjalan di Koridor saat ini.

"Mungkin Nabil tanya sama Ollan atau Oniel." Shani memilih tidak ambil pusing.

"Kayaknya mereka nggak tau juga deh." Gracio menggelengkan kepalanya cepat-cepat saat memikirkan Nabil menyukai Shani. "Pokoknya kamu harus jauh-jauh deh dari Nabil."

"Dih ngatur?"

Gracio menghentakkan kakinya seperti anak kecil. "Ah, kamu sih, setiap aku ajak balikan nggak mau terus."

"𝘚𝘴𝘴𝘵, udah diam."

Langkah Gracio dan Shani terhenti saat seorang guru kesiswaan melewat didepan keduanya. Dengan sopan Gracio dan Shani menyalami guru kesiswaan laki-laki yang mungkin umurnya hampir setara dengan kedua orangtua Gracio dan Shani.
"Bakti sosial Enfant ke panti sosial jadi?"

Gracio menarik Shani agar lebih merapat dengannya. "Diundur, harusnya kan minggu ini, tapi gara-gara Vino sama anggota OSIS yang ada di Enfant lagi sibuk-sibuknya urus PENSI, akhirnya Nabil minta diundur. Kamu jadi ikut?"

"Ikut kalau boleh."

"Nggak bakal ada yang larang, Ollan udah baik-baik aja kan sama kamu?" Gracio mengacak puncak kepala Shani, senyumnya memudar beberapa detik kemudian. "Ah atau kamu nggak usah ikut aja kali ya? Nanti kalau kamu makin lengket sama Nabil, gimana?"

"Lebay, ah." Shani mendorong pelan tubuh Gracio.

Langkah keduanya kembali berhenti, kali ini keduanya berhenti di tepi lapangan saat seorang kakak kelas laki-laki memanggil Gracio.
Gracio menoleh pada Shani. "Sebentar ya, shan."

Shani mengangguk, ia menggeser tubuhnya. Memberi ruang pada Gracio untuk berbicara lebih leluasa bersama temannya. Dilanda rasa bosan, Shani membuka ponsel, jemarinya langsung berselancar bebas di sosial media. Karena terlalu fokus pada ponsel, Shani tidak menyadari jika sebuah bola melesat dengan cepat kearahnya.

𝘣𝘶𝘨𝘩.

Shani mengerjap. Bukan. Bola itu tidak mengenainya, bahkan menyentuh bagian tubuhnya satu inci pun tidak. Shani menyimpan ponselnya, mendekati Gracio yang baru saja melindungi Shani. Iya, Gracio yang terkena lemparan bola tersebut.
"Gee, nggak apa-apa?"

Gracio mengusap keningnya. Ia menggeleng pelan. Seorang laki-laki berlari ke arah Shani dan Gracio.

"Sorry, Gre," Ucap Gito, salah satu anggota Enfant.

Gracio berlagak hendak melempar bola basket kearah Gito, ia mendengkus. "Hati-hati woy, untung nggak kena cewek gue."

𝘊𝘦𝘸𝘦𝘬 𝘨𝘶𝘦, ulang Shani dalam hati.

"Hehe iya maaf maaf, maaf juga Shan. Untung kena Gre."

"Dih, nih ambil." Gracio mengembalikan bola basket yang ada di tangannya. "Lagi ngelatih adek kelas lo?"

"Yoi, lo tau sendiri lo sama Vino nggak bisa wakilin maju ke tingkat nasional."

"Loh, kenapa emangnya?" Sahut Shani.

Gracio diam-diam melambaikan tangannya, meminta Gito untuk menutup mulutnya. Gito yang tanggap menormalkan ekspresi wajahnya. "Biasalah Shan, masalah internal. Kalau gitu gue balik kelapangan ya."

"Oke, semangat Gito."

GRACIOSHANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang