DUA : Tragedi Hari Senin

1.2K 128 0
                                    

Mau kasih saran buatyang langganan nyucisepatu di hari minggu, kalo masih bersih mendinggak usah dicuci

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mau kasih saran buat
yang langganan nyuci
sepatu di hari minggu,
kalo masih bersih mending
gak usah dicuci. —Andira

⋇⋆✦⋆⋇ 

Aku tidak menyebut ini sial. Namun kalau senin jadi petugas upacara, lalu datang harus pagi sekali, ditambah motorku hilang. Tamat sudah. Ini kalau-kalau datang terlambat ke sekolah, bukan cuma wajah Jo yang memelototiku saja yang terlihat, tapi sebuah hukuman mengerikan ada di belakangnya.

TIDAK BISA YA.

"KAK NOVAAANNN!" Kayak orang gila aku teriak-teriak di pelataran rumah, lagian kenapa dia harus pakai motorku sih? Padahal dia punya motor sendiri, dan kalau bukan motor gede pasti sudah kupakai sekarang.

"Kenapa belum berangkat?" Di jalan Jo meneriakiku, sudah siap mau berangkat dengan motornya. Aku yakin, pertanyaannya akan jadi hal yang paling dia sesali setelah ini.

"Jo, nebeng!" Iya, kalau menunggu Kak Novan pasti lama, jadi buru-buru aku masuk ke dalam rumah untuk ambil sepatu.

Sebentar.

Sepatuku di mana ya?

"Anjeerrr." Lari lagi aku keluar, berdiri di depan pintu, celingakan ke kanan dan kiri. Mungkin Jo yang ada di jalan sana kebingungan lihat tingkahku pagi ini. Lupakan tentang itu dulu, soalnya, tidak tidak tidak! Please, jangan bilang ini musibah, jangan pokoknya!

"Aaaa sepatunya kebasahan!" Aku berlari ke samping rumah sambil teriak lagi. Benar, aku ini memang pelupa tingkat kecamatan. Sebab kemarin seperti tidak terjadi apa-apa, otakku tidak bisa menangkap hal penting di mana sepatu hitam untuk hari senin masih di atas kandang ayam. "Yahaha." Serius, aku mau nangis sambil jinjing sepatunya.

"Andira, buruan! Entar telat!" Jo berteriak lagi hingga akhirnya aku berlari tanpa memasang sepatu, sempat pakai helm saja. Jo juga sepertinya tidak terlalu memperhatikan kegaduhanku ini, aku yakin yang ada di kepalanya sekarang adalah upacara, upacara dan upacara.

"Udah?" tanyanya.

Aku mengangguk. Awalnya dia mau langsung tancap gas, tapi kemunculan seseorang dari rumah sebelah sama Tante Ratna menunda hal itu. "Dira, Dara! Barengin Anandra ya, satu sekolah."

Sebentar. Aku salah dengar tidak nih?

"Iya, Tante!" Jo langsung pamitan dan benar-benar mengendarai motor kayak orang yang mau jemput maut, lajunya tuh mirip lagi dikejar polisi. Alhasil kakiku yang tidak pakai alas apa-apa jadi dingin karena hawa pagi habis hujan . "Anan sekelas sama kita," kata Jo.

"Masa?" Sumpah aku masih kurang percaya kalau Anandra kembali, kupikir semalam cuma mimpi sebab bisa dengar nama meski sempat keliru orangnya. Maka dari itu, aku menoleh ke belakang.

Itu benar Anandra? Aku hanya takut jikalau mataku sedang melukis seni yang indah untuk menipu otak dan pikiran. "Anan janji bakal pulang?" Dulu kutanyakan hal ini dengan wajah yang begitu polos, lalu terlihat cerminan wajah Anan Kecil di sosok laki-laki yang mengendarai Vespa Biru di belakang sana.

MAMPU✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang