TIGA BELAS : Cerita Dalam Hujan

598 114 0
                                    

Katanya yang suka hujan adalahorang yang punya banyak luka, ya? —Andira

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Katanya yang suka hujan adalah
orang yang punya banyak luka, ya?
—Andira

⋇⋆✦⋆⋇ 

Tak akan kudefinisikan bagaimana enaknya bakso yang dibuat oleh Mama dan kawan-kawannya, nanti kalian iri. Kalau iri, takutnya aku kena ain. Kalau kena ain, aku yang sakit. Kalau sakit, bakal masuk rumah sakit. Kalau masuk rumah sakit, nanti jadi beban keluarga. Kalau orang tua merasa terbebani, bisa-bisa aku dibiarin mati. Kalau mati, maka cerita ini selesai.

Jadi akan kulompati pada bagian di mana hanya ada kami bertiga --Andira, Anandra dan Jondara di meja kecil ruang tengah rumahku. Sial, kenapa Mama justru menyiapkan tempat di mana kami semua harus berkumpul? Padahal bisa saja ikut satu meja dengan mereka di dapur sana. Jangan bilang para orang dewasa itu masih punya stok gibah yang tidak bisa mereka bagi pada kami.

"Enak!" Aku memulai percakapan di saat hanya ada suara dentingan garpu dan sendok yang menemani suasana di sini, tapi baik Anan mau pun Jo, tidak ada yang menyahuti ucapanku itu.

KURANG AJAR MEMANG!

"Mau sampai kapan kita bertiga enggak bisa akur? Kenapa harus kayak gini? Apa susahnya buat temenan dan lewatin hari bareng-bareng?" Kutanya dengan suara pelan, rasanya cukup kecewa kalau menyadari hubungan kami tidak bisa seindah yang kubayangkan. "Lu berdua saling menyalahkan di atas alasan yang enggak jelas, Anan yang keras kepala sama Jo yang mudah emosi. Padahal kalo kalian turunin sedikit hal itu, semua pasti bakal terasa asyik," kataku lagi.

"Gue kayak gini karena belain lu ya, Dir. Apa lu enggak sadar kalo Anan semakin kurang ajar? Dia enggak bisa menghargai lu sebagai seorang sahabat," ujar Jo.

Sendok tidak lagi berada di tangan masing-masing, antara tempat duduk yang berseberangan, Jo dan Anan saling menjatuhkan tatapan yang sangar. Masalahnya kalau terjadi perang di sini, bisa hancur meja kaca punya Mama, apalagi kalau Jo keceplosan menghempas tangan, pasti tamat sudah.

"Tau apa lu tentang gue?" tanya Anan, "Tau apa lu sampai ngomong sembarangan kayak gitu? Emang lu pikir Andira bukan orang yang berharga buat gue? Lu bahkan enggak bisa menggambarkan gimana besarnya perjuangan gue supaya bisa balik ke sini, dan kehadiran lu cuma mengganggu apa yang seharusnya itu punya gue."

Jo terlihat senyum tipis, lalu dia berkata, "Gue emang enggak tau siapa lu sebenarnya, Anandra. Tapi gue jauh lebih tau siapa itu Andira, sedangkan lu cuma pendatang yang sebenernya jauh mengganggu. Dan ini bukan lagi tentang siapa yang kenal Andira lebih awal, tapi siapa yang berteman sama dia lebih lama."

Lihat, mereka berdebat lagi. Nyatanya menyatukan Jo dan Anan bersama bakso tidaklah berpengaruh besar, aku jadi ingin menyiram wajah mereka menggunakan kuah yang perlahan mendingin ini. "Kenapa lu berdua enggak bisa akur? Cuman itu yang mau gue cari jawabannya, bukan tentang siapa yang ganggu, karena emang enggak ada pengganggu di antara kita," ujarku.

MAMPU✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang