Part 1 Keikhlasan Seorang Istri

1.8K 182 10
                                    

Part 1 Keikhlasan Seorang Istri

"Apa kamu masih betah menjadi istriku dan tinggal di sini?" Pertanyaan Sandy membuat Lintang mengangkat wajah.

"Ya, tentu saja," jawab wanita itu sambil tersenyum.

"Apa sebaiknya kamu pulang saja. Di sini kamu tidak pernah dianggap sebagai menantu. Bahkan sudah seperti pembantu," ucap Sandy pada wanita yang sedang melipat baju di atas tempat tidur, di kamar mereka.

Bibir Lintang kembali mengukir senyum manis. "Ndak, Mas. Aku kan istrinya, Mas. Aku ndak boleh ninggalin Mas."

Sandy mengalihkan pandangan ke luar jendela. Senyum getir tersungging di bibirnya yang dinaungi kumis tipis dan cambang yang mulai memanjang.

"Aku suami tak berguna. Bahkan untuk membelamu dihadapan keluargaku saja aku tak bisa. Kamu hanya di manfaatkan mereka untuk merawatku yang tidak berdaya."

Wanita itu meletakkan baju yang dilipatnya, lantas mendekati suami yang duduk di kursi roda dekat jendela kamar.

"Aku ikhlas, kok, Mas. Ndak apa-apa aku begini. Toh, Bapak dan Ibu ndak pernah kasar padaku. Mereka semua baik."

Keduanya saling pandang. Wajah teduh perempuan itu menampakkan keikhlasan. Namun Sandy juga tidak tuli. Dulu ia sering mendengar istrinya terisak di tengah malam. Siapa wanita yang tidak sedih, dia wanita normal yang dipaksa menikah dengan pria lumpuh karena kecelakaan. Dan di rumah mertuanya dia diperlakukan seperti budak. Padahal ada dua pembantu rumah tangga dan seorang sopir di rumah itu.

"Bahkan untuk menyentuhmu saja aku tak bisa." Sesak saat Sandy mengucapkan kalimat itu. Setahun sudah mereka menikah, tapi hanya untuk mencium istrinya saja Sandy tidak berani. Dia merasa bersalah. Andai saja waktu itu dia menolak tegas dinikahkan dengan Lintang, tentu gadis itu tidak akan semenderita sekarang. Keluarga dan dirinya telah merampas kebahagiaan dan impian seorang gadis.

Lintang meraih tangan suaminya. "Ndak apa-apa. Mas, harus semangat. Perkembangan Mas sudah sangat bagus kata dokter Ethan. Ndak lama lagi pasti sembuh."

Sandy tersenyum tipis. Keduanya terdiam sambil menatap gerimis di luar.

Kamar ini sudah menjadi saksi duka laranya menjadi menantu keluarga bangsawan. Semua berawal di suatu malam. Ketika utusan Tuan Haryo datang ke rumah untuk melamarnya.

Penolakan yang diutarakan tidak pernah dipedulikan oleh orang tuanya. Terlebih oleh ibu tirinya yang menghendaki agar Lintang segera bisa keluar dari rumah mereka. Perempuan itu dan dua anaknya tidak sabar untuk menikmati uang hantaran yang jumlahnya tidak terkira, bahkan sebagian bisa untuk beli sepetak sawah. Wanita mata duitan itu tidak peduli dengan omongan sebagian orang yang bersimpati pada Lintang. Menutup telinga rapat-rapat ketika dipergunjingkan karena telah dianggap menjual anak.

Di rumah mertua tidak serta merta diperlakukan sebagaimana mestinya. Ketika menantu yang lain enak hidupnya dengan menikmati fasilitas yang ada, Lintang justru sebaliknya. Dia bertungkus lumus layaknya seorang pembantu.

Namun, dia tetap bersikap baik pada semua orang. Setidaknya dia mendapat tempat yang nyaman di rumah itu, mendapatkan uang bulanan dari Arya, adik iparnya yang mengelola bisnis keluarga. Lintang tetap hormat pada suami yang baru dikenalnya menjelang ijab qobul kala itu.

"Mas, aku buatkan minum, ya?"

Setelah suaminya mengangguk, Lintang memakai bergo yang tersampir di kursi meja rias, lantas bergegas keluar kamar. Saat melintas di ruang tengah, dia mendengar ibu mertuanya yang sedang berbincang dengan Anindita. Istrinya Arya.

"Sekarang cobalah ajak Arya untuk konsultasi ke dokter kandungan. Sudah waktunya kalian program punya anak. Mama juga pengen cepat-cepat punya cucu. Kalian sudah setahun lebih menikah lho."

Wanita Pemilik RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang