Part 3 Cemburu

988 133 1
                                    

Part 3 Cemburu

"Kita Salat Maghrib dulu."

"I-iya." Lintang yang pipinya masih merona segera berdiri. Menyiapkan mukena dan sajadahnya. Sebab Sandy akan Salat di atas kursi roda.

Sandy memperhatikan wanita yang masih terlihat malu dan salah tingkah. Lintang diam sejenak, setelah gejolak di benaknya reda segera berbalik menghadap suaminya. "Mas, wudhu dulu, ya."

Kursi roda di dekatkan ke pintu kamar mandi. Lintang membantu dan menunggu Sandy seperti biasa. Pria itu salat lebih dulu, sedangkan Lintang masih berwudhu. Mereka salat sendiri-sendiri, karena Sandy tidak mau menjadi imam dengan kondisinya yang demikian.

Jam tujuh malam, mereka hanya makan berempat. Sandy, Arya, Lintang, dan Anindita. Pak Haryo dan istrinya sedang keluar, ada undangan dari partner bisnisnya.

Seperti biasa, Lintang melayani suaminya dengan sabar. Anindita berulang kali mencuri pandang pada mereka, sedangkan Arya dan Sandy bicara tentang pekerjaan. Bagi Anindita itu adalah hal yang paling membosankan. Sementara bagi Lintang, ia dapat menemukan hal baru. Istilah-istilah yang menyangkut bisnis dan segala intrik yang ada di dalamnya.

"Aku tunggu di ruang kerja, Mas." Arya segera berdiri setelah menyudahi makannya.

Sandy menghabiskan air putih di gelas. Lantas berpamitan pada Lintang dan menyusul adiknya di ruang kerja. "Mas ada kerjaan yang harus diselesaikan, mungkin sampai malam. Nanti kamu tidur saja dulu."

Lintang mengangguk sambil tersenyum.

Tinggallah dua ipar yang saling diam di meja makan. Tidak ada perbincangan, yang terdengar hanya denting sendok beradu dengan piring. Lintang sendiri tidak ingin memulai berinteraksi dengan Anindita yang tidak menyukainya.

"Jangan mencoba melirik pria lain di saat kamu nggak bahagia dengan pasanganmu." Tiba-tiba saja Anindita bicara sengit pada Lintang. Kobar kecemburuan ikut menyembur dalam ucapannya.

Lintang kaget, tapi disembunyikan dengan senyumnya. Tidak bahagia? Siapa yang tidak bahagia? Bukankah wanita itu sedang bicara untuk dirinya sendiri?

"Saya bahagia, Mbak."

"Bahagia katamu? Dengan kondisi Mas Sandy seperti itu kamu bahagia?"

"Apakah ukuran kebahagiaan itu dengan melihat fisik yang sempurna? Saya bahagia dengan cara saya sendiri, Mbak. Bahkan saya sekarang sedang bahagia-bahagianya."

Dahi Anindita mengernyit, menatap heran wanita yang berani membalas ucapannya. Padahal selama ini Lintang hanya diam saja ketika mendapat sindiran.

"Mas Sandy memperlakukan saya dengan baik. Dia pria yang menghargai istrinya."

"Damn it. Tapi kamu jangan coba-coba sok baik di depan Mas Arya." Anindita berdiri dan tergesa pergi dengan gemuruh di dadanya. Lintang hanya memandang hentakan langkah iparnya yang menaiki tangga.

"Sabar, ya, Mbak." Mbok Sarpin datang dan mengelus pundaknya.

"Jangan diambil hati ucapan Mbak Anindita."

"Ya, Mbok. Saya ndak apa-apa."

Sandy tadi pagi bilang, kalau dia berhak bersuara dan membela diri. Dan sekarang dia melakukannya.

Di ruangan seluas enam kali enam meter, duduk dua pria yang saling berhadapan dan terpisah oleh meja kerja. Ruangan yang berfungsi sebagai kantor itu tertata rapi. Ada empat meja dengan empat komputer di atasnya. Satu meja kosong yang penuh berkas dan ada dua laptop.

Di pojok ruangan ada beberapa kursi lipat. Hanya dipakai kalau ada meeting dadakan bersama staf terpercaya di perusahaan. Satu unit AC yang kini menyala berada di atas pintu.

Wanita Pemilik RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang