Dua jam sebelum kepergian Chai ke Bangkok aku memintanya agar menemuiku di dekat sungai Ping. Berharap apa yang ingin aku sampaikan dimengerti olehnya. Mungkin aku sangat berharap lebih atas dirinya namun di sisi lain aku harus bisa menerima kalau saja aku pun harus terjatuh olehnya.
Aku duduk di sebuah kursi kayu yang mengahadapkanku ke depan sungai Ping. Pantulan sinar senja memantul dari permukaan sungai, bewarna magenta. Sepucuk surat yang aku pegang beberapa kali aku keluar-masukkan dari kantung kemeja, cemas menunggu kehadiran seorang Chai yang belum juga terlihat menampakkan batang hidungnya. Sampai tujuh menit kemudian ia datang dengan mengenakan pakaiannya yang paling rapi yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Ia melambaikan tangannya, angin pun mengikutinya.
"Maafkan aku Dao, aku harus berkemas banyak sore ini." Ucap Chai, ia masih berusaha mengatur alur napasnya. "Ada apa, Dao?" tanyanya.
Aku gemetaran, mengeluarkan surat yang ingin aku sampaikan pun rasanya susah sekali. Aku tatap Chai yang berdiri kurang lebih seratus senti di depanku, rambutnya kelimis ditata rapi dengan pomade. Bahkan saat masih di kampung halamanmu saja penampilanmu sudah seperti anak ibu kota.
"Chai, sudah terhitung lama kita berdua mengikat sebagai dua orang yang bersahabat. Sungguh aku tak akan pernah melupakan bagaimana caramu menjadikan aku sebagai seorang teman yang tidak pernah sekalipun aku dapatkan dari teman-teman yang lainnya. Kau selalu ada saat aku butuhkan, pun kau bilang tidak keberatan dan malu untuk berteman dengan seseorang yang sering menerima cercaan dari teman-teman," bahkan untuk mengatakan itu aku tidak berani menatapnya.
"Lalu?" Potongnya.
"Aku sudah berusaha untuk tetap menjaga persahabatan kita berdua tapi perasaan itu selalu muncul kala aku bersamamu. Sebelum kau meninggalkanku hari ini aku ingin jujur sekali saja mengenai perasaanku. Perasaan yang memaksaku kalau aku benar-benar mencintaimu......" aku terisak saat itu juga, masih tak berani menatap bagaimana ekspresi yang aku tunggu dari wajah Chai. Akhirnya aku mengatakan juga apa yang selama ini aku ingin katakan padanya. Beberapa detik kemudian aku masih belum menerima respon apapun yang keluar dari mulut Chai. Aku masih bisa melihat kakinya tetap berdiri di depanku, dengan bulir air mata yang terus turun aku memberanikan diri untuk menatap wajahnya, sekali lagi saja.
Tatapannya kosong, meski ia menatapku lekat-lekat namun dalam pantulan iris matanya seolah tak ada bayangan diriku yang muncul. Aku yang mengadah dengan postur pendekku mencoba merasakan tatapan Chai yang perlahan menjadi dingin. Aku tidak ingin melupakan sepucuk surat yang telah aku tulis susah payah semalaman, mungkin Chai akan tahu lebih banyak mengenai perasaan dan alasan aku mencintainya dari surat yang aku tulis. Belum saja aku merogoh kantung kemejaku untuk menyerahkan surat itu Chai membalikkan badannya tanpa satu katapun yang terucap dari bibirnya lalu meninggalkanku yang masih berdiri terpaku. Jelas Chai tidak menerimaku. Itulah waktu dimana aku sebagai seorang Dao -sahabat yang mempunyai perasaan lebih terhadap sahabatnya sendiri- melihat sosok Chai untuk terakhir kalinya.
Ia tidak meninggalkan apapun untukku, bahkan setelah aku pulang pun Chai sudah meninggalkan Chiang Mai beserta kenangan yang telah ia buat selama menjadi tetangga dan sahabatku. Aku resmi kehilangan sosoknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hurt Your Heart
RomanceHurt Your Heart by Rizky Ho -------------------------------------- Sudah sepuluh tahun rahasia itu tersimpan. Aku hanya ingin bersamanya seperti apa yang aku harapkan, walau memang aku harus bersandiwara. Bukankah itu menyakitkan? Aku pun tertawa me...