POV - Henri
Ting. Bel rumah berbunyi, pintu segera terbuka, dan seorang pria menyapaku, "Henri, wah datang juga kemari. Apa kabarmu?"
Thomas mengulurkan tangannya, kami berjabat tangan. Dia adalah sahabatku dan kami sudah dua minggu tidak bertemu. Ya, sejak aku mendapat sial, entah aku yang terlalu sibuk, atau Thomas yang menghindar, kami jadi jarang bertemu.
'Kabarku? Sangat buruk,' jawabku dalam hati. Aku baru saja ditipu oleh seseorang yang menawarkan tender proyek besar. Kini aku masih berhutang di bank hingga 800 juta rupiah, belum di hitung dengan bunganya.
"Baik," jawabku dengan tersenyum palsu.
"Masuklah kalian berdua," ajak Thomas padaku dan istriku. Nina sengaja menemaniku, dia tak ingin melihatku menanggung beban masalahku sendirian. Sungguh rasanya sangat beruntung memiliki istri seperti Nina yang sangat peduli dengan masalahku.
Kami pun duduk di ruang tamu, rumah itu tak terlalu mewah, tak ada pembantu, tapi propertinya cukup berkelas.
"Aku akan mengambil minum," ucap Thomas yang segera masuk ke dalam rumahnya. Dia kemudian datang dengan sebotol anggur di tangannya. Wajahnya tampak berseri-seri seperti tak peduli dengan masalahku dan maksudku kemari.
"Ah kau, Thomas, tidak perlu repot-repot. Kamu tahukan kedatanganku kemari untuk apa?" ucapku yang sebenarnya ingin meminta bantuan soal hutang. Thomas menyuruhku datang ke rumahnya karena mengatakan bisa membantu. Meski tidak terang-terangan mau meminjamiku uang, dia mengatakan tahu caranya agar aku bisa melunasi hutang.
"Kita bahas nanti, ayo kita minum-minum dulu, Henri. Iya kan, Nina?" Thomas segera duduk dan meletakkan botol anggurnya dengan bangga, dia memang sahabat yang sedikit gila. Dia mungkin juga sedang bercanda karena datang tanpa membawa gelas.
"Ah, aku lupa membawa gelas. Eh maaf, Nina, maukah kamu mengambilkan gelas di dapur? Aku tak bermaksud...." Thomas memberi isyarat pada pandangannya ke arahku.
Aku paham maksudnya, "Ya, tolong Nina."
Nina mengangguk dengan paham. Saat Nina berdiri, Thomas langsung berpindah duduk di sampingku. "Gila, meski istrimu sudah punya anak dia tetap..."
Thomas langsung menahan mulutnya yang hampir keceplosan tidak sopan. Aku tak tersinggung karena sudah hafal watak Thomas yang mesum.
"Jadi, bagaimana caramu menolongku?" ucapku berterus terang.
"Ah soal itu." Dia berbisik semakin dekat. "Mungkin terdengar gila, solusi yang kemarin aku ceritakan.... Ada pekerjaan yang mungkin tawarannya sangat besar, tapi pekerjaan itu untuk istrimu," ucap Thomas dengan canggung.
Dug. Perasaanku hancur saat membayangkan cerita Thomas. Uang dan wanita, uang dengan jumlah besar dan instan, pekerjaan khusus untuk wanita, aku terbayang hal yang sangat buruk dalam maksud Thomas.
"A-apa maksudmu?" tanyaku langsung geram.
"Aku punya nomor kontak jika istrimu mau jadi pelacur, mungkin dia bisa menghasilkan uang yang sangat besar. Hutangmu bisa lunas, Henri!" ucap Thomas dengan menundukkan kepalanya dan tak berani menatapku. Dia pasti hafal dengan sifatku yang mudah tersinggung.
Plak! Aku spontan menampar Thomas karena tidak sudi. Suami macam mana yang mau menjual istrinya untuk membayar hutang. Aku tak tersinggung atau marah bila dia mencuri-curi pandang melihat kemolekan tubuh istriku. Akan tetapi, menyarankan Nina menjadi pelacur, aku merasa diriku sedang dihina.
"Jaga mulutmu!" Aku mencengkeram kerah Thomas. Andai dia bukan sahabatku, aku sudah menghajarnya.
"Aku tidak bercanda," ucap Thomas tanpa takut.
"Diam! Aku tidak sudi melihat Nina seperti itu! Lebih baik kami jatuh miskin dari pada menerima pekerjaan kotor itu." Sungguh amarahku memuncak, aku akan menghajarnya bila Thomas masih menyarankan Nina menjadi pelacur lagi.
Tiba-tiba Thomas terkekeh, dia tidak terlihat marah karena aku menamparnya. Bahkan dia tidak terlihat takut ketika aku mengancamnya. "Kita semua mengerjakan pekerjaan kotor Henri. Dia juga tahukan kita sering terlibat suap untuk mendapatkan pekerjaan kita, bukan?"
Ya, pekerjaan kami memang kotor. Aku seorang kontraktor yang mengincar tender dari pemerintah kota. Sedangkan Henri merupakan anggota dewan kota. Suap adalah bagian dari modal pekerjaan kami. Tanpa suap dan koneksi, aku tidak akan memenangkan kontrak tender dan Henri tidak akan menjadi anggota dewan.
"Nina dan kita berbeda!" Aku mengepalkan bogem tanganku untuk segera menghantam mulut kotor Thomas.
"T-tunggu," ucap Thomas panik. "A-aku mengatakannya untuk anakmu, apa kamu tega kalian menjual rumah dan kalian tinggal di kolong jembatan? K-kau pernah mengatakan bahwa kamu ingin memberi hal yang terbaik untuk anakmu, bukan?"
"Sial!" Aku melepas cengkeraman di kerah baju Thomas dan mengendurkan kepalan tanganku. Perkataan Thomas benar, seburuk-buruknya pekerjaanku yang kulakukan semata-mata untuk membahagiakan keluargaku dan menyekolahkan anakku di sekolah terbaik.
"K-kau ingat soal hutangku untuk membeli suara dan mendapatkan kursi dewan? Alisa melakukannya untukku, Henri." Thomas mulai membetulkan kerah bajunya.
"Cuih, aku tak sudi," selaku.
"Ya, ya, terserah kau. Aku cuma mau mengatakan, kamu tidak tahu bukan, padahal kita di circle yang sama. Itu sebabnya, Alisa dan aku mau melakukannya. Nomor kontak yang kuberikan aku jamin aman, tak ada satu orang pun yang tahu," tutur Thomas.
'Hah? Jadi itu cara Thomas membayar hutang-hutangnya' kagetku dalam hati. Aku memang pernah membantu membayarkan sebagian hutangnya untuk mendapatkan kursi dewan. Aku sungguh tak mengira dia mengganti uangku dan membayar sisa hutangnya dengan cara seperti itu.
"B-bagaimana? Kok bengong?" tawar Thomas dengan nada yang semakin menggoda.
'Mengapa lama sekali? Apa Nina diam-diam mendengar perkataan kami?' pikirku semakin gugup.
Aku menjawab, "Tidak. Aku tidak sudi melihat Nina bekerja seperti itu."
"Oh sayang sekali. Kau sahabatku, Henri, jadi aku tidak keberatan menceritakannya. Hutangku lebih banyak dari kamu, bukan? Alisa bisa melunasinya kurang dari tiga bulan, dia hanya beberapa kali melakukannya."
Aku menatap tajam-tajam perkataan Thomas. Tiba-tiba Nina datang dengan nampan berisi gelas. Aku sedikit kaget, berharap Nina tidak mendengarkan perkataan kami.
"Mas, ini gelasnya," ucap Nina tersenyum dengan sangat cantik. Nina memang punya pesona wanita yang luar biasa, dadanya berisi, lekuk tubuhnya montok, dan tipe idaman semua pria. Aku yakin jika Nina menjadi pelacur, banyak sekali pria yang akan tergoda dengan dirinya.
'Tidak, tidak. Aku tidak tega melihat Nina seperti itu,' pikirku.
"Mas Henri, kok bengong?" tanya Nina.
<< CERITA INI BERLANJUT DI APLIKASI FIZZO - JUDUL: ISTRIKU KERJA MEMBAYAR HUTANG - AUTHOR: JINADA >><< UPLOAD SETIAP HARI MULAI 1 APRIL SAMPAI TAMAT >><< BACA DI FIZZO 100% GRATIS, TANPA IKLAN, DOWNLOAD ALPLIKASINYA >>
KAMU SEDANG MEMBACA
Istriku Kerja Membayar Hutang
RomanceWarning Content 21+ Harap Bijak Membaca. Satu bulan lagi Henri harus membayar hutang 800 juta ke bank. Jika tidak, rumahnya akan disita. Istrinya khawatir jika karier suaminya akan memburuk, dicap miskin oleh rekan-rekan pebisnisnya, dan semakin mem...