POV - Nina
Jantungku terus berdegup dengan kencang ketika Mas Henri menyetir mobilnya untuk pulang. Aku terbayang betapa marahnya bila aku diam-diam menghubungi nomor kontak itu. Sejujurnya aku takut dianggap mengkhianati cintanya, padahal yang aku lakukan murni demi Mas Henri pula.
"Kok diem?" suara Mas Henri mengagetkanku, "Ini udah sampai di rumah, Sayang."
"Eh, iya." Aku tidak langsung membuka pintu mobil, tapi menatap Mas Henri untuk sejenak. Tekadku sudah bulat membantu suamiku dengan apa pun caranya. Perasaanku masih berkecamuk pada risiko kemarahannya nanti, tapi terbayang Mas Henri yang menderita, aku lebih tidak tega.
Aku mencium Mas Henri dengan sepenuh cintaku. Gerak bibirnya merespons gerak bibirku dan napas kami saling tertahan sejenak. Aku melepas ciuman itu dan menormalkan napasku, dia melakukan hal yang sama, tapi sedikit menatapku dengan heran.
"Hati-hati di jalan," ucapku tersenyum.
"Ya. Nanti kita lanjutkan lagi," goda Mas Henri.
"Gak mau, pil KB-ku baru habis," ucapku dengan sedikit manja dan mulai membuka pintu mobil.
"Aku belikan mau?"
"Gak!" Aku membanting pintu mobil dengan sedikit terkekeh. Sedangkan Mas Henri malah tersenyum melihat tingkahku.
Mobil pun langsung melaju pergi, seketika pula perasaan sedih menghampiriku. Aku merasa sedikit mengkhianati kepercayaan Mas Henri, tapi bagaimana pun aku tak berniat sedikit pun mengkhianati pernikahan kami. Mobil itu telah tak terlihat, aku membulatkan tekad.
Aku mengambil ponsel di dalam tas jinjing dan langsung memesan ojek online. Kutulis daerah yang aku tuju, rencanaku sederhana untuk saat ini, aku mau meminta nomor kontak itu dari Thomas. Aku sedikit gugup karena tahu betul watak sahabatnya suamiku itu.
Bukan hanya dari percakapan tadi, Thomas pada dasarnya merupakan laki-laki hidung belang. Aku dengar dari Mas Henri, dia sering main perempuan diam-diam di belakang istrinya. Ya, terkadang aku pun khawatir Mas Henri ketularan nakal seperti Thomas.
Tukang ojek pun datang menjemput, aku memintanya untuk mengantar ke apotek yang searah ke tujuan. Perkataanku sebenarnya jujur tadi, 'pil KB-ku habis', sekaligus jaga-jaga sebagai alasan kalau Mas Hendri tiba-tiba pulang sedangkan aku belum di rumah. Tak lama berkendara dari apotek itu, aku pun tiba di rumah Thomas.
Jantungku berdegup sangat kencang ketika melewati pagar rumah yang tidak terkunci itu. Langkahku sedikit gemetar ketika sampai di depan pintu. Aku menoleh ke jalan, berharap tak ada satu pun tetangga yang melihat kedatanganku. Sejujurnya aku masih khawatir jika Mas Henri memergokiku di sini meski tidak mungkin. Sedangkan Alisa, istri Thomas, aku dengar dia sedang mengurus orang tuanya yang sakit di luar kota.
Ting. Bunyi bel terasa menggelegar di hatiku. Degup jantungku terasa semakin ingin meledak saat menunggu pintu terbuka.
"Ya?" terdengar suara di balik pintu yang terbuka. Wajah Thomas tampak sedikit mengerutkan alisnya, "Nina?"
"Thomas, bisakah kita bicara sebentar?" ucapku.
Dengan tampak canggung dan melirik ke arah keluar, Thomas mempersilahkan aku masuk, "Ya, mana Henri?"
Aku masuk ke ruang tamu tanpa menjawab perkataannya, aku masih gugup untuk duduk. Sedangkan Thomas langsung duduk dengan santai di sofa.
"Ada apa? Duduklah, apa yang mau kamu katakan?"
"Aku datang ke sini sendiri," ucapku saat duduk di sampingnya.
"Ya, sepertinya begitu." Dia pasti menyadarinya karena tidak melihat mobilnya Mas Henri. Di meja masih terdapat gelas bekas minum tadi, aku hanya mencicipi minuman anggur itu tak lebih dari setengah gelas karena aku tak begitu suka. Sedangkan Mas Henri hanya menghabiskan satu gelas saja, sebab aku melarangnya berlebihan karena dia akan menyetir nantinya.
"Sejujurnya, aku paham maksudmu kemari," ucap Thomas kembali menuang anggur di gelas bekasnya. Perkataan itu terdengar mengintimidasi diriku. "Meskipun kamu menawarkan apa pun itu, maaf Nina, aku benar-benar tidak memiliki uang. Alisa yang memegangnya dan dia gunakan untuk keperluan orang tuanya yang sakit."
Thomas salah. Aku menjelaskan maksudku tanpa berbasa-basi sedikit, "Beri aku nomor kontak itu."
"Ughk." Thomas tersedak oleh minuman anggurnya, "Apa Henri tahu?"
"Sudah kubilang, aku datang kemari sendiri."
"Henri melarangmu melakukan itu," ucap Thomas. Aku tidak mengira dia masih memperingatkanku, "Jika dia tahu aku yang memberimu nomor kontak itu, dia bisa menghajarku."
Aku semakin membulatkan tekadku, "Aku tidak akan mengatakannya itu darimu."
Thomas terdiam sejenak saat meletakkan gelas anggurnya. Dia seolah-olah berat melepaskan genggaman tangannya itu, atau mungkin dia sedang memikirkan keputusannya.
"Bagaimana bila aku tidak mau memberikannya?" Thomas melirikkan pandangnya dengan senyum yang mengerikan.
"Aku mohon," mungkin perkataanku terdengar tidak tulus.
Thomas tiba-tiba mendekatkan wajahnya dengan senyum yang semakin melebar. Dia tampak seperti laki-laki bejat dengan senyum menjijikkan, "Kamu ingin jadi pelacur, ya? Hahaha."
Aku diam tak menjawab pertanyaan itu, bau anggur sedikit tercium dari mulutnya yang tertawa. Aku coba tak memedulikan perkataannya, "Beri saja aku nomor kontak itu."
"Beri? Memberimu gratis?" nada Thomas mengejek, "Jika Henri tahu aku yang memberimu nomor kontak itu, dia akan menghajarku. Bagaimana caramu menjaga mulutmu?"
"Aku tidak akan mengatakannya, aku bersumpah," janjiku.
"Tidak-tidak, aku perlu jaminan darimu, Nina."
Aku mengerutkan alis, "Apa maksudmu?"
"Kau pasti tahu, Henri akan sangat malu bila tahu kamu menjadi pelacur bukan? Bagaimana kalau aku jadi pelanggan pertamamu?" goda Thomas terdengar sangat menjijikkan.
Spontan aku menjauh dari Thomas, aku bergeser ke pojok sofa panjang di mana kami duduk bersama.
"Kamu gila!" umpatku.
"Gila? Ya, jujur aku tergila-gila padamu Nina, bagaimana mungkin Henri bisa mendapatkan wanita secantik dirimu." Thomas semakin mendekat dan menyudutkanku di pojok sofa. Ia tak mengalihkan pandangannya, "Anggap ini sebagai asuransiku, kau tak mungkin mengatakan pada Henri, mendapatkan nomor kontak itu dengan cara seperti ini. Setidaknya bila Henri tahu, pastinya dia akan malu menemuiku."
Thomas mengeluarkan kartu nama dari saku kemejanya, aku yakin itu adalah nomor kontak itu. Ia meletakkannya di meja, membuatku semakin penasaran dan ingin segera mendapatkannya.
"Kok diem?" Thomas semakin mendekat, ia menjulurkan lengannya ke sandaran sofa di belakangku. Meski tak menyentuh punggungku, aku sadar sikapnya telah melebihi batas. Bukankah dia sahabatnya suamiku? Bukankah dia punya istri yang cantik pula? Bagaimana mungkin dia masih berpikiran ingin menyentuhku? Aku lupa, dia seorang yang berhidung belang.
"Bagaimana?" Tangan Thomas menyentuh lututku yang tak tertutup rok. Sialku juga, aku mengenakan dress yang di atas lutut. Tangannya mulai bergerak perlahan, aku tahu ke mana arah yang ia tuju. Jantungku semakin berdebar-debar dalam kebingungan, aku harus cepat mengambil keputusan.
<< CERITA INI BERLANJUT DI APLIKASI FIZZO - JUDUL: ISTRIKU KERJA MEMBAYAR HUTANG - AUTHOR: JINADA >><< UPLOAD SETIAP HARI MULAI 1 APRIL SAMPAI TAMAT >><< BACA DI FIZZO 100% GRATIS, TANPA IKLAN, DOWNLOAD ALPLIKASINYA >>
KAMU SEDANG MEMBACA
Istriku Kerja Membayar Hutang
RomanceWarning Content 21+ Harap Bijak Membaca. Satu bulan lagi Henri harus membayar hutang 800 juta ke bank. Jika tidak, rumahnya akan disita. Istrinya khawatir jika karier suaminya akan memburuk, dicap miskin oleh rekan-rekan pebisnisnya, dan semakin mem...