• Satu - Sagilang Abisatya •

2.5K 270 31
                                    

Namanya Sagilang Abisatya, dan mungkin, itu adalah hadiah terindah yang sudi mama berikan untuknya. Gilang, demikian orang-orang memanggilnya. Akan tetapi, selama hidupnya, Gilang banyak sekali mendapat nama panggilan lain, mulai dari anak haram, si bodoh, hingga si idiot. Gilang tak masalah dengan nama-nama tersebut sebab ia tak pernah peduli. Telinganya ia biarkan menuli, karena semua itu akan kalah dengan satu panggilan yang sangat ia sukai, yakni, panggilan 'Kakak' yang keluar dari bibir tipis adiknya.

Sedari kecil, Gilang sudah nampak berbeda dari anak seusianya. Ia cenderung pendiam dan tidak banyak bunyi, bahkan di banyak kesempatan, Gilang hanya merespon kalimat lawan bicaranya dengan anggukan atau gelengan tanpa seutas rangkai kata. Oleh karena itu, Gilang kecil kerap dipanggil 'si bodoh' oleh teman-temannya. Kemudian saat Gilang masuk sekolah dasar, gelar 'si idiot' berhasil disandangkan padanya karena ia pernah tak naik kelas, sebab tak mampu mengimbangi teman-temannya dalam mencerna pelajaran.

Gilang mengalami diseleksia, yakni gangguan yang ditandai dengan keterlambatan dalam membaca, mengeja maupun menulis. Bahkan hingga kelas 3 SD, Gilang belum terlalu lancar membaca. Masih terbata dalam mengeja dan kesulitan dalam mengira. Kondisi Gilang diperparah karena tak adanya figur yang sudi mengajarinya di rumah. Gilang tak punya ayah. Gilang punya mama, namun tak bisa mengajarinya karena harus bekerja. Sekedar mengandalkan guru di sekolah pun tidaklah cukup untuk menangani diseleksia yang Gilang derita.

'Percuma aku menyekolahkanmu lebih tinggi dari ini. Buang-buang uang.'

Gilang masih ingat, mama mengatakan itu dengan mata yang memandangnya begitu jijik, seolah ada kotoran yang menghiasi wajahnya. Tapi, Gilang maklum. Mungkin, mama kepalang malu terus-terusan mendapat teguran dari pihak sekolah. Mungkin juga, mama sudah kelewat muak dengan nilai-nilainya yang tak bisa dibanggakan seperti anak-anak lain.

'Berhenti sekolah dan berhenti menyusahkanku.'

Gilang tak bisa melawan, sebab mama benar. Dan semenjak itu, Gilang putus sekolah. Semua waktunya ia habiskan untuk menjaga juga mengajak main sang adik kecil. Menjadi tangan yang siap menuntun kemana sang adik melangkah. Menjadi suara yang selalu bercerita dan menenangkan sang adik kala gundah. Juga, menjadi mata yang siap mendeskripsikan bagaimana indahnya dunia yang tak dapat sang adik tilik.

'Bergunalah sedikit, Gilang. Jika bukan untukku, maka lakukan untuk adikmu.'

Kalimat penutup yang mama lontarkan minggu kemarin masih setia menggantung dalam pikiran Gilang, menyusup ingatan serta menggerogoti hatinya hingga lapisan terdalam, lantas meninggalkan lubang bernama kesakitan.

"Kakak ..."

Suara itu membuat Gilang menggeleng kecil sebab tersadar dari lamunan. Saat matanya menatap ke depan, hal pertama yang ia dapati adalah senyum sang adik. Hangat selayak mentari, sekaligus sejuk seperti semilir angin sore ini.

"Adek mau apa?" Gilang memegangi tangan Bima yang meraba-raba udara, berniat meraihnya.

Bima meraba perlahan di sekitaran tempatnya duduk bersila guna meraih sebongkah tanah liat berwujud seperti kucing. Benda itu ia bentuk kurang lebih setengah jam lalu setelah mendengar deskripsi rinci dari sang kakak.

"Lihat, kucing adek sudah jadi." Bima tersenyum lebar hingga gigi kelincinya mengintip tanpa tau malu. Sang empu berucap bangga dengan dada yang sedikit membusung dan jemari menengadah berisi patung kecil mahakaryanya.

Gilang tersenyum, kendati senyumnya tak pernah nampak dalam atensi sang adik. Tangannya lantas terayun dan berlabuh tepat di atas kepala yang lebih muda.

"Hebat. Adek kakak selalu hebat." Gilang mengusap lembut helaian surai legam Bima.

Bima cekikikan lucu dengan senyum yang mengembang kian lebar. Ia selalu suka ini, saat sang kakak menepuk dan mengusap surainya kala ia berhasil membuat suatu karya. Kakaknya selalu mengapresiasi jerih payahnya, entah itu besar maupun kecil. Ini bukan patung pertamanya, namun suara dan nada bangga sang kakak tak pernah berkurang sedikitpun.

Di sisi lain, bersama dengan merekahnya bibir Bima, perlahan lengkungan senyum Gilang memudar dan akhirnya hilang. Ada bagian sudut hatinya yang kembali mengingat perkataan mama.

'Jadi, tolong donorkan korneamu.'

"Adek," panggil Gilang.

"Hm?"

"Kalau nanti bisa melihat, apa yang pertama kali ingin adek lihat?"

"Kakak."

"Ya?"

"Kakak." Bima menaruh patung kucing kecilnya ke tanah. Tangan kotornya kemudian ia lap ke bajunya beberapa kali, kemudian terangkat menyentuh wajah sang kakak.

Gilang diam saja, tak menolak kendati tangan adiknya masih dihiasi kotor bekas tanah yang mulai mengering. Gilang juga masih diam kala tangan itu mulai bergerak, meraba dan menjelajah lekuk wajahnya.

"Adek mau liat kakak."

'Bergunalah sedikit, Gilang.'

Mata Gilang mengerjap pelan, memandang netra sang adik yang tak memiliki kehidupan. Kosong. Hampa.

Tak lama setelah itu, Bima menjauhkan tangannya.

"Hmm, tapi, sebelum bisa melihat kakak, adek mau lihat stroberi dulu." Bima menyahut dengan hidung yang sedikit mengerut.

'Jika bukan untukku, maka lakukan untuk adikmu.'

"Begitu, ya? Jadi, kakak ada di urutan kedua?"

"Iya."

Gilang kembali diam. Ia ada di urutan kedua dalam daftar yang ingin Bima lihat. Jadi, jika dirinya hilang, tidak masalah 'kan? Bima tak akan terlalu sedih 'kan? Toh, hal pertama yang ingin adiknya itu lihat adalah stroberi. Bukan dirinya.

-•-•-•-

ㅡyoursunrisegirl, 22 April 2023

-•-•-•-

Sunrise_notes
Sagilang Abisatya, sebulan lagi, usinya 18 tahun.

Sunrise_notesSagilang Abisatya, sebulan lagi, usinya 18 tahun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sejuta Sayang Untuk Gilang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang