• Dua - Sabima Abivandhya •

2.1K 248 38
                                    

Pukul 7 lewat 17 menit, Bima sudah duduk anteng di sofa. Si tampan itu nampak sudah rapi dengan seragam juga rompi sekolah yang melekat di tubuhnya.

"Susu dan buah datang!" Gilang datang dengan segelas susu, juga piring berisi beberapa buah utuh.

Senyum Bima kontan mengembang kala suara sang kakak mengalun di rungunya, terlebih saat merasakan sofa di sebelahnya bergerak turun, pertanda seseorang duduk di sana. Kepalanya Bima tolehkan ke kiri, ke arah suara kakaknya berasal.

Sementara itu, Gilang meletakkan piring di tangan kanannya ke meja dengan hati-hati, sedangkan tangannya yang lain sibuk memegangi segelas cairan berwarna putih. Susu.

"Ulurkan tanganmu," kata Gilang, kembali mendudukkan diri di samping sang adik.

Bima menurut dengan patuh. Tangan kanannya mengudara, kemudian segelas susu yang sebelumnya berada di tangan sang kakak lekas berpindah ke tangannya.

Hangat. Gelas di genggaman Bima terasa hangat. Dan tanpa menebak pun, Bima tau apa isi gelas tersebut. Susu vanilla, kesukaannya. Maka, tanpa membuang banyak waktu, Bima segera menenggak minuman tersebut, membiarkan rasa manis menjejak di lidahnya dan hangat membelai lembut kerongkongannya.

Beberapa saat setelah isi di gelasnya tandas, Bima kembali menyodorkan benda yang terbuat dari beling itu pada Gilang.

"Habis," kata Bima, menyengir lucu.

Gilang menggeleng pelan sembari tersenyum kecil. Entah kenapa, Bima selalu terlihat seperti bayi di matanya.

Gilang meraih gelas yang Bima sodorkan dan menaruhnya di meja, kemudian tangannya terangkat lagi guna menghapus jejak susu di bibir atas adiknya yang membentuk seperti kumis.

"Kan sudah kakak bilang, jika selesai minum susu, bekasnya jangan lupa dibersihkan." Gilang berucap demikian seraya menepuk sayang puncak kepala yang lebih muda. "Kalau tidak dibersihkan, adek seperti kakek-kakek yang punya kumis warna putih."

Bima terkikik sebentar, kemudian berujar, "Adek sengaja."

Alis Gilang terangkat. "Sengaja?"

"Iya, biar kakak yang bersihkan, lalu menepuk kepala adek seperti tadi."

Gilang mengulangi menepuk kepala sang adik, kali ini disertai dengan usapan pelan. "Seperti ini?"

Bima mengangguk. "Iya, seperti itu."

Senyum tipis terulas di bibir Gilang. Matanya menatap mata bulat sang adik yang menyorot hampa tanpa nyawa. Gilang sayang Bima. Sangat dan selalu. Bahkan, hampir semua waktu yang ia punya, ia habiskan untuk menemani adiknya. Mama dan papa tirinya? Kedua figur itu sibuk bekerja, pergi pagi dan akan kembali jika langit petang sudah membentang.

"Gilang, kenapa adek belum diberi buah?" Suara sang mama menginterupsi.

Gilang menoleh, kontan mendapati wanita yang amat ia cintai itu tengah melangkah menujunya. Koreksi, menuju Bima lebih tepatnya.

"Adek baru selesai minum susu, Ma." Ini Bima yang menyahut.

"Ini hampir jam setengah 8, dan adek belum selesai makan buah?"

Gilang diam kala mata mama lekas menatapnya, seolah tengah memarahi dirinya tanpa suara.

"Maaf, Ma," sesal Gilang.

"Bukan salah kakak, Ma. Tadi pagi, adek sakit perut jadi agak lama di wc." Lagi, Bima yang bersuara.

Mama menggusak rambut Bima, lantas membubuhkan sebuah kecupan di sana. Mata wanita itu tanpa sengaja memandang buah yang tergeletak tak berdaya di piring. Utuh.

Sejuta Sayang Untuk Gilang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang