Gilang dan mama kini berada dalam perjalanan pulang, saat jam digital mobil mama menampilkan 16.21 di layarnya.
"Mama, kita boleh mampir sebentar ke taman?" Suara Gilang akhirnya keluar, setelah sekian lama tertelan. Ia takut mama akan menolak, sebab hari ini dirinya sudah terlalu banyak meminta.
Tapi, ajaibnya, mama justru mengangguk mengiyakan. Wah, Gilang ingin mengingat lagi, mimpi apa dirinya semalam hingga bisa seberuntung ini.
"Terima kasih, Ma."
Gilang tak tau, sudah berapa banyak dirinya tersenyum hari ini. Biar saja. Biar bibirnya pegal.
-•-•-•-
Di sinilah ibu dan anak itu berada, duduk di salah satu bangku taman kota. Di depan mereka ada banyak keluarga maupun pasangan yang juga datang berkunjung. Untuk piknik kecil-kecilan, atau sekedar duduk-duduk menikmati angin sore, seperti mereka.
Seingat Gilang, ini kali pertama ia duduk sedekat ini dengan mama tanpa kehadiran orang lain. Tanpa adik. Tanpa papa. Hanya dirinya dan mama. Maka dari itu, Gilang sama sekali tak masalah jika mereka berdua hanya duduk tanpa seutas topik pembicaraan. Tak apa. Gilang suka kesunyian seperti ini. Kesunyian yang ia lewati bersama mama terasa amat menyenangkan.
Entah sudah berapa menit yang terbuang tanpa kata. Baik Gilang maupun mama sama-sama betah bergelut dengan pemikiran sendiri tanpa berminat berbagi.
Gilang kemudian teringat hasil photo booth mereka tadi. Dirogohnya saku kemejanya dan mengambil 2 lembar strip dengan masing-masing 3 kotak foto itu.
Bibir Gilang mengembang, lagi. Lucu. Meski suasana canggung itu kentara jelas, foto mereka tetap lucu di mata Gilang. Ia kelihatan heboh sendiri melakukan beberapa pose acak. Berbanding terbalik dengan yang mama duduk kalem di depannya, kadang berpose jempol, kadang juga huruf V.
Empat dari enam kotak foto itu memuat ekspresi datar mama. Satu lainnya bergaya (sedikit) mulut bebek. Sedangkan satu sisanya lagi tersenyum tipis.
Cantik sekali. Gilang tak akan pernah bosan memuji kecantikan sang mama.
Gilang terlalu fokus menatap fotonya, tak menyadari jika mama turut menatap 2 lembar kertas berisi wajah mereka berdua itu. Gilang juga tak sadar jika mama menatapnya yang tak henti tersenyum.
Namun, mama lekas mengalihkan atensinya ke depan. "Kenapa tidak menolak permintaanku tempo hari?" Suara mama mengalun.
Gilang menoleh, memandangi wajah wanita yang telah melahirkannya itu dari samping. Cantik dan sempurna. Mama tak ada celahnya.
"Karna ini pertama kalinya mama meminta sesuatu pada Gilang."
"Aku tau, kau bodoh dalam pelajaran. Tapi, tak bisakah sedikit kau gunakan otakmu itu?" Mama menyugar poninya, lantas memukul sanggahan bangku taman hingga membuat Gilang terperanjat kecil.
Kenapa ... mama nampak emosi? Padahal, biasanya mama paling bisa mengendalikan diri.
"Kau akan mati, Gilang. Mendonorkan kornea sama dengan menyerahkan nyawamu." Mata mama menatap Gilang. Sesuatu yang jarang Gilang dapati. Dua iris berwarna cokelat ini benar-benar mengarah ke matanya.
"Gilang tau, Ma." Gilang balas menatap mata sang mama. Tatapannya lembut dan sarat puja, berbanding terbalik dengan mama.
Namun, sekian detik kemudian, Gilang mengalihkan fokusnya ke depan tanpa pusat atensi. Hanya menatap jauh, seolah menerawang kembali kepingan memori yang terekam dalam sanubarinya.
"Mama bilang, mama akan bahagia jika Gilang donorkan kornea Gilang. Maka, tak ada alasan Gilang untuk menolak. Mama adalah nyawa sekaligus sumber kehidupan Gilang."
Gilang lalu menghela napas pelan. "Mama tetap membawa Gilang ke dunia, meski tak pernah menginginkan Gilang ada. Mama memberi Gilang kehidupan, memberi rumah untuk pulang, memberi sosok papa yang bertanggungjawab, juga memberi adik yang menggemaskan."
Mama diam.
"Gilang sadar, selama ini tak pernah membawa bahagia, justru terlalu sering menyusahkan dan membuat mama bersedih. Karna itu, Gilang tak masalah jika harus mengorbankan nyawa demi membayar bahagia mama yang Gilang renggut. Gilang senang melakukannya, karena setidaknya, mama pernah bahagia karena Gilang."
Mama masih betah bungkam. Ada bagian hatinya yang terasa diremukkan sampai patah beberapa bagian. Nyeri. Dan entah kenapa, matanya mulai memanas.
"Tapi, sebelum itu, Gilang ingin meminta maaf," ucap Gilang, menelan saliva yang tersangkut di kerongkongannya barang sejemang. "Ma, maaf karena Gilang telah hadir. Maaf karena Gilang terlahir sebagai anak mama. Maaf karena Gilang menghancurkan masa muda mama yang indah dan gemilang. Maaf karna Gilang, mama harus menanggung semua cacian serta hinaan yang tak seharusnya mama dapatkan."
Mama membuang atensi, menggigit bibir bawahnya keras-keras guna menahan sesak yang menggerogoti jantungnya.
"Setelah Gilang meninggal nanti, mama tidak perlu sedih lagi, ya. Berbahagia lah, Ma. Tidak boleh lagi ada luka yang menyelimuti mama."
-•-•-•-
ㅡyoursunrisegirl, 21 Juni 2023
-•-•-•-
Sunrise_notes
Siapa yang kaget user ini double up?Siap-siap yaa, Gilang bakal tamat dalam minggu iniii>,<
KAMU SEDANG MEMBACA
Sejuta Sayang Untuk Gilang [END]
Novela Juvenil❝Satu hari saja, Ma. Tolong izinkan Gilang merasa jika Gilang berharga untuk mama.❞ -·- Gilang, hampir 18 tahun usianya, tapi tak pernah sekalipun ia mendapat tatapan penuh cinta dan senyum sarat puja dari mama. Adakalanya, Gilang bertanya pada San...