• Sayang Tak Hingga Untuk Gilang •

2.8K 241 41
                                    

"Kakak! Selamat datang di rumah!"

Kaki Gilang membeku tepat di ambang pintu kala mendapati sang adik berlari ke arahnya. Kemudian, satu dekapan hangat ia terima selama sekian detik selanjutnya.

Bima kemudian melepaskan rengkuhannya sembari menatap tepat ke mata Gilang.

Lagi, Gilang membeku. Mata bulat adiknya tak lagi hampa. Mata bulat adiknya kini memancarkan cahaya kehidupan. Gilang bisa lihat jelas, kebahagiaan berpendar dari dalam sana.

"Kak?" Bima mengedip beberapa kali, memandangi kakaknya yang tak jua membuka suara. Hanya berdiri kaku bak patung kayu di tengah pintu.

Senyum lebar kemudian tercetak di bibir Bima. "Kakak pasti terkejut, ya?" katanya, kembali memeluk Gilang yang lebih tinggi darinya. "Adek sudah bisa melihat, Kak. Adek sudah bisa lihat warna lain selain hitam. Dunia adek tidak hanya malam dan kelam saja, Kak."

Entah kenapa, kalimat adiknya yang terakhir terdengar begitu lirih memasuki telinga Gilang. Ada sekelebat kesedihan yang bisa ia tangkap.

"Tempo hari, adek ingin mengunjungi kakak." Bima melepaskan tangannya yang melingkari pinggang Gilang dan berpindah, memegangi sepasang lengan yang lebih tua. Netra yang lebih muda kembali menyorot pasang mata layu nan sembab milik sang kakak.

"Tapi, kata papa, adek belum boleh ke luar rumah untuk meminimalisir infeksi."

Bima lantas menarik lembut lengan Gilang, menggiringnya untuk masuk ke rumah sebab sang kakak sudah terlalu lama berdiam di ambang pintu.

"Ayo, Kak!" ajak Bima riang. "Selama di rumah, papa meminjami adek ponsel mama dan adek belajar beberapa hal loh, Kak, lewat YouTube."

Saliva yang mengalir di kerongkongan Gilang terasa tersumbat kala mendengar kata 'mama' yang Bima ucapkan.

"Kakak kenapa diam saja dari tadi?"

Gilang menelan ludahnya kepayahan, menatap sendu mata sang adik yang berpijar terang. Apakah adiknya sudah tau jika kornea baru yang membuatnya mampu melihat dunia adalah milik mama?

Tidak. Sekalipun adiknya belum tau, Gilang tak akan mampu memberi taunya.

"Dek ..."

"Ya?" Mata Bima berkedip lucu bersama senyum yang kembali merekah sempurna, hingga gigi kelinci sang empu turut unjuk diri.

"Adek senang bisa melihat?"

Senyum Bima perlahan memudar. Namun, beberapa sekon kemudian, kepalanya mengangguk pelan. "Ternyata kakak tampan. Lebih tampan daripada bayanganku selama ini. Hidung kakak lebih mancung. Mata kakak juga lebih bagus."

Gilang tersenyum kendati hatinya merasa begitu perih. Kenapa begini? Kenapa ia tak bisa sepenuhnya turut berbahagia atas apa yang adiknya rasakan?

"Adek juga sudah lihat stroberi. Ternyata, bijinya berada di luar, sama seperti yang pernah kakak jelaskan."

Gilang mengangguk pelan. Jemarinya kemudian berlabuh di pucuk kepala sang adik, mengusap lembut helaian raven sang empu.

"Adek, tolong antar kakak ke kamar, ya? Kakak masih perlu beristirahat. Adek jangan ajak main kakak dulu, oke?" Papa menginterupsi. Pria tinggi itu kini berdiri tepat di belakang Gilang dengan tangan yang sibuk menjinjing tas.

Bima sendiri mengangguk patuh. "Oke, Pa." Atensinya kemudian beralih pada sang kakak yang sedari tadi tak henti menatapnya. "ayo, Kak, adek antar ke kamar. Oh iya, adek sudah tau loh, nama-nama dan letak ruangan di rumah kita ini. Nanti adek buktikan setelah kakak puas beristirahat, ya?"

Gilang menganggukㅡlagi, hanya tersenyum tipis menanggapi celotehan sang adik selanjutnya.

Adiknya benar-benar terlihat bahagia.

Sejuta Sayang Untuk Gilang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang