• Empat - Filosofi Stroberi •

1.6K 235 34
                                    

"Kenapa kakak suka stroberi?" Bima bertanya sembari menyuap sepotong stroberi untuknya sendiri. "padahal, stroberi tak selalu manis. Tempo hari, adek makan stroberi yang rasanya asam dan itu tidak enak."

Gilang menghela napas pelan guna menetralkan kesedihannya. Setelah itu, ditatapnya wajah polos sang adik. "Kenapa adek suka apel?"

Kedua alis Bima nampak sedikit bertaut. "Tentu karena apel rasanya manis. Adek tidak pernah bertemu apel yang asam."

"Belum, Dek, bukan tidak," jawab Gilang. "Adek tau tidak? Roda kehidupan yang kita jalani ini tidak selamanya manis. Kadang ada masa asamnya juga. Asam dan manis, pasang dan surut, terang dan gelap, juga siang dan malam. Semua hal itu ada waktunya agar kehidupan kita tetap seimbang."

"Begitu?"

"Tentu saja."

"Tapi, di hidup adek kenapa hanya ada malam dan gelap saja tanpa siang dan terang, Kak?"

Jantung Gilang bak disengat listrik detik itu. Dadanya semakin sesak mendengar kalimat yang Bima ucapkan. Benar, semua ini ada waktunya agar seimbang. Lantas, kapan waktunya siang dan terang untuk Bima? Kapan dunia Bima lepas dari cengkeraman kegelapan?

Apakah Gilang satu-satunya cahaya yang bisa mengakhiri gelap yang selalu mendekap adiknya?

Gilang lihat Bima terkekeh pelan sembari tersenyum dan kembali mengunyah stroberi. "Tidak usah dipikirkan, Kak, adek hanya asal berucap kok, hehe."

Gilang diam. Kemudian, hening terbentang selama beberapa detik.

"Kakak ..."

"Ya?"

"Kakak suka stroberi karena suka perpaduan asam dan manisnya, begitu?"

Gilang mengangguk pelan. "Benar."

"Kakak juga bilang, semua itu ada waktunya, bukan?" tanya Bima lagi.

"Iya," sahut Gilang.

"Maka tidak apa bersedih dan menangis jika memang sudah waktunya, Kak." Kepala Bima menoleh ke arah yang ia yakini sebagai kakaknya. Mata kosong sang empu kemudian berkedip beberapa kali.

"Adek tidak bisa melihat kesedihan di mata kakak, tapi adek bisa merasakan dan mendengarnya lewat suara kakak."

Air mata Gilang kontan menetes saat itu juga.

"Tidak apa-apa jika kakak ingin menangis. Jangan malu mengeluarkan semuanya. Adek tidak bisa lihat kok, jadi tidak bisa mengejek kakak." Bima tersenyum lagi. "Sejak kecil, kakak selalu bilang pada adek untuk bercerita tentang apa yang adek rasakan."

Gilang menggigit bibir agar suara tangisnya tak terdengar. Namun, air mata yang membanjiri pipinya tak jua berhenti.

"Karena itu, kakak juga boleh bercerita jika mau. Adek mau mendengarkan walau mungkin tidak terlalu mengerti," sambung si pemilik netra bulat.

Bima lantas mengayunkan tangannya meraba-raba udara, dan tanpa sengaja berlabuh di pundak Gilang. Rabaan tangannya kemudian bergerak naik ke leher dan berakhir di pipi basah Gilang.

Jemari Bima mengusap lembut pipi tirus Gilang bergantian. Lalu, tangannya bergerak lagi, naik ke puncak kepala Gilang dan mengelusnya beberapa kali, seperti yang kerap Gilang lakukan untuknya.

"Good job, kakaknya adek hebat," kata Bima, meniru sikap sang kakak yang kerap menghadiahinya usap juga ucap lembut. Setelahnya, Bima sedikit menggeser tubuhnya guna mendekap erat tubuh sang kakak, bermaksud menyalurkan kehangatan yang ia punya untuk menenangkan yang lebih tua.

"Kakak tau kenapa aku lebih memilih stroberi daripada kakak saat itu?" Suara Bima kembali terdengar diantara pelukan eratnya.

Bima dapat merasakan sang kakak menggeleng singkat.

"Karena aku tau kakak sangat menyukai stroberi," sahut Bima. "setidaknya, sebelum aku bisa melihat kakak, aku harus lihat stroberi dulu supaya bisa membawakannya untuk kakak. Supaya kakak senang dan aku bisa melihat senyum kakak dengan mataku secara langsung."

Bukannya reda, tangis Gilang justru semakin deras turun membasahi pundak Bima. Tak pernah ia sangka jika Bima punya alasan tersendiri saat menjadikannya opsi kedua.

"Lalu, kenapa waktu itu pilih mama?" Suara Gilang terdengar sedikit serak. Ia tau pertanyaannya bodoh, karena pasti anak akan memilih ibu dari kakaknya. Tapi, jawaban Bima setelahnya justru kembali membuat Gilang tersentuh.

"Kakak itu bagian dari diri dan hidup adek yang tak bisa dipisahkan. Jadi, untuk apa adek memilih diri sendiri? Karena itu, adek pilih mama."

Gilang terenyuh. Dadanya yang sesak kini menghangat menyadari jika dirinya tak pernah sendiri, sebab selalu punya Bima dalam hidupnya.

Gilang merasa bodoh, selalu mengharap secuil kasih dari mama, padahal ada Bima yang dengan senang hati memberi sejuta sayang untuknya tiap detik tanpa pamrih.

Bima menyayanginya lewat cara paling sederhana, dengan kata yang kadang tak terutara. Bima mengasihinya lewat cara paling luar biasa, meski dengan mata yang tak bisa berbinar penuh puja.

Bima benar-benar segalanya untuk Gilang.

Bima itu seperti stroberi, satu buah yang memiliki banyak biji. Satu orang yang memiliki banyak cinta.

"Kakak, apapun yang terjadi, hadapi bersama adek, ya?"

-•-•-•-

ㅡyoursunrisegirl, 20 Mei 2023

-•-•-•-

Sunrise_notes
Hayooo siapa nih yang kemaren kesel sama jawaban adek? Ada alasannya loh ternyata (⁠.⁠ ⁠❛⁠ ⁠ᴗ⁠ ⁠❛⁠.⁠)

Nangis ngga?

Sejuta Sayang Untuk Gilang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang