• Di mana Sayang Untuk Gilang? •

4.6K 329 40
                                    

Dulu, Gilang kecil selalu bertanya pada dirinya. Apakah ia nakal? Apakah ia tidak bisa diatur? Atau, apakah ia pembangkang? Sampai-sampai mama enggan menunjukkan setitik afeksi padanya.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu, Gilang mengetahui satu fakta pahit yang harus ia telan sejak belia. Lewat mulut tetangga yang kerap menggunjing mama, Gilang tau bahwasanya, hadirnya hanya kesalahan di masa lalu. Hadirnya hanya sesuatu yang tak perlu. Hadirnya tak pernah membawa bahagia, justru hanya menyayat goresan luka di hati mama.

Anak haram, begitu gelar yang kerap wanita-wanita bermulut ular itu ucapkan, sebab mama mempunyai Gilang tanpa suami. Gilang benci setiap kali para tetangga mencemooh mama. Gilang ingin melawan, tapi setiap kali dirinya marah pada tetangga, mama akan jauh lebih murka. Mama bilang, ucapan para wanita tua itu tidak salah.

Lantas, apakah itu artinya gelar yang mereka lontarkan itu benar?

Meski mama tak pernah mengungkapkan secara gamblang, Gilang tau jika eksistensinya di hidup mama bagaikan benalu. Akan terus merugikan jika tak disingkirkan. Akan terus merusak jika dibiarkan membiak. Gilang adalah refleksi trauma bernyawa yang mama pertahankan kendati menyakitkan. Sebab itu, sepanjang yang Gilang ingat, tak pernah sekalipun mama menghadiahi dirinya senyum hangat atau peluk erat sebagai lambang cinta.

Kendati begitu, Gilang tak pernah marah pada mama. Karena mama adalah bagian terpenting dari hidupnya. Karena mama adalah alasan utama jantungnya masih berdenyut sesuai irama. Gilang tak mau terlalu banyak menuntut cinta dari mama, sebab mama sudah terlalu lelah bekerja untuk menghidupinya.

Lalu, ketika Gilang berusia 6 tahun, mama menikah dengan pria pilihannya. Gilang memanggilnya, Papa.

Semenjak menjalin hubungan dengan papa, Gilang mulai merasakan jika mama 'hidup'. Senyum yang mulanya asing kini kerap mama ukir. Cantik. Mama dan senyum adalah perpaduan yang amat Gilang sukai, meski senyum itu bukanlah bentuk hadiah yang diberikan untuknya. Rona di wajah mama pun mulai cerah, tak suram seperti sebelumnya. Pipi mama juga kerap bersemu merah. Indah. Dan Gilang amat sangat bersyukur atas itu semua sebab mama memang pantas berbahagia setelah melalui semua duka.

Hingga berselang setahun kemudian, sesosok mungil hadir di tengah-tengah mereka, mengisi hari-hari berikutnya dengan gelak tawa kecil yang menggema seisi rumah. Ialah si anggota baru, Sabima namanya, si gembul yang pipinya meluber seperti ditumpahi bahan pengembang.

Bima itu lucu. Lucu sekali.

Demi apapun, Gilang menyayangi Bima, sama besarnya dengan rasa sayang pada mama. Bahkan sejak kali pertama, mata bulat Bima yang indah dengan binar serupa gemerlap bintang di langit malam mampu menyedot atensi Gilang. Namun sayang beribu sayang, takdir malang harus menimpa si adik kecil.

Bima, sosok mungil itu tak bisa melihat pancarona yang dunia miliki. Yang Gilang tau, Bima hanya punya satu warna dalam penglihatannya. Hitam. Hanya hitam. Hitam yang suram dan kelam.

Sekali lagi, Gilang menyayangi Bima. Gilang tak masalah jika adiknya tak bisa melihat dunia, sebab ia tak akan keberatan untuk menjelaskan semua yang tak bisa adiknya tangkap lewat mata. Gilang akan rincikan bentuknya. Gilang akan sebutkan warnanya. Dan Gilang akan jelaskan rupanya.

Gilang akan menjadi mata untuk adiknya.

Lalu, hari itu datang. Gilang ingat benar, di senja yang disertai rintik gerimis tipis, mama berucap satu hal yang membuat kepingan hati Gilang hancur berantakan. Lebur bak pecahan kaca yang berhambur.

"Gilang, donorkan korneamu untuk adik."

Iya, Gilang akan menjadi mata untuk adiknya. Tapi, bukan seperti ini yang ia maksud. Bukan mendonorkan korneanya. Sebab, yang Gilang tau, kornea mata hanya bisa didonorkan oleh orang yang sudah meninggal. Dan bukankah Gilang masih hidup?

"Tolong, izinkan adikmu melihat dunia."

Yang Gilang ingat, sepanjang hidupnya, ini kali pertama mama memohon. Ini juga kali pertama mama meminta sesuatu darinya.

"Jika Gilang donorkan kornea Gilang, apakah mama akan senang?"

Gilang lihat bagaimana mama terdiam dengan mata bulat serupa milik Bima yang menatapnya sejenak tanpa setitik emosi. Gilang juga lihat bagaimana mata itu perlahan berkaca-kaca, entah untuk alasan apa. Sedih kah? Atau justru bahagia?

"Ya."

Jawaban mama membuat semesta Gilang seakan runtuh, luluh-lantak bak dihantam angin puyuh.

"Jadi, tolong donorkan korneamu."

Sekarang, hati kecil Gilang semakin meraung kesakitan.

Dimana letak kasih sayang untuknya? Bahkan mama pun lebih senang ia hilang ketimbang memberinya waktu lebih lama untuk menyaksikan senyum mama?

-•-•-•-

ㅡyoursunrisegirl, 17 April 2023

-•-•-•-

Sunrise_notes
Ini short story yang panjang setiap chapter-nya cuma berisi 500an kata. Udah lama ngedekem di draft, awalnya mau dijadiin long story, tapi aku ngga mau nambah cerita panjang lagi, jadi aku singkat aja deh:')

Semoga suka yaw<3

Sejuta Sayang Untuk Gilang [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang