5

680 73 15
                                    

Tok tok

"Aethie." Panggil Lumine dengan nama kecil Aether di depan pintu kamar saudaranya itu setelah 15 kali di abaikan oleh sang pemilik kamar.

"... Aku tidak mau makan lumi." Akhirnya si Aether menjawab. Meski nyaris seperti bisikan. Untung saja Lumine mempunyai indra pendengaran yang cukup tajam.

"Tapi kamu belum makan sedari tadi siang. Kamu tidak makan juga 'kan?"

"..."

"Aethie." Panggil Lumine dengan nada membujuk, mana memakai nada amat teramat sangat memelas.

Tak tega saudari kembarnya terus mengetuk pintu dengan nada ingin menangis, akhirnya Aether membuka pintu kamarnya. Yang Lumine pertemukan pertama kali adalah kamar yang begitu suram, tanpa adanya penerangan sedikitpun. Apa ada masalah dengan penerangan kamar Aether?

"Letakan saja di atas meja belajarku, Lu." Titah Aether dengan nada amat teramat sangat lelah. Lelaki itu kembali merebahkan badannya ke ranjang seolah tak memiliki tenaga lagi. Bahkan untuk sekedar memakan makan malamnya.

"Aethie...,"  Panggil Lumine tidak menyerah. Ia segera menyalakan lampu untuk melihat penuh keadaan saudaranya. Setelah itu ia meletakkan nampan berisikan Rice bun di atas meja. "Aku do'ain kamu di tumbuk babi kalau enggak mau makan."

"Kok, Lumi bilang kayak gitu?!" Protes Aether lemah sambil cemberut. Kepalanya ia tolehkan ke samping menghadap Lumine.

"Kyaaa lucu banget kembaran aku!!!" Teriak Lumine gemas sambil mencubit kedua pipi Aether pelan. Kalau pake tenaga takut kembarannya sakit. "Makan tidak?! Nanti makanannya nangis kalau Aethie tidak memakannya segera." Ancam Lumine lagi.

"Aku mau di suap sama Lumi." Pintanya dengan nada manja. Biasanya Aether begini ketika ia sakit. Lumine jadi sangat khawatir jika suatu saat Aether mendapatkan seseorang adalah sosok yang cuek, dan bermulut jahat. Ia tidak akan membiarkan itu terjadi. Semoga ke depannya Aether benar benar mendapatkan pendamping yang benar benar mengurus Aether sepenuh hati bahkan lebih baik dari Lumine sendiri. Itu adalah doa terdalam yang selalu Lumine panjatkan setiap ia ke Gereja.

"Iya, iya adekku yang manja." Lumine membawa nampan berisi makan malam yang ia buat sendiri mendekat ke saudaranya. Kalau pacar Lumine tau pasti Ajax akan menangis bombay, dan iri dengki ke Aether karena selama mereka pacaran, Lumine paling ogah menyuap Ajax meskipun Ajax sudah salto, ataupun Kayang.

"Untung si Ajax tidak tahu tentang ini. Mungkin habis aku kena pelotot, dan omel dia." Gumam Aether bercanda sambil membuka mulutnya lebar lebar. Kini Aether telah bersender di sisi kepala ranjang. Agar memudahkan Lumine dalam menyuapnya.

"Itu tidak akan terjadi. Memang dia berani menyakiti saudaraku secara langsung? Kalau iya, sudah jauh jauh hari aku memutuskannya, dan mencari pacar baru." Gerutu Lumine. Aether tersenyum, ia tahu sesayang itu saudarinya ke dirinya. Mereka berdua memang perduli satu sama lain sedari kecil. Ayah mereka adalah single parent. Yang membuatnya benar benar sibuk banting tulang untuk menafkahi mereka berdua yang tidak tahu apa apa. Dengan latar belakang seperti itulah yang membentuk karakter mereka berdua menjadi selalu saling menyayangi, melindungi dan perduli satu sama lain hingga sekarang.

"Aku lebih menghormati lelaki yang menghormati keluarga ku juga." Tukas Lumine final, dan kembali menyuapkan Aether.

Aether berusaha tidak menunjukkan wajah lelah, dan sedih di depan Lumine. Jika Lumine tau apa yang terjadi di sekolah, Aether tidak tahu harus bagaimana menghadapinya. Dia berharap saudarinya tidak mengetahui hal itu. Dan, dia berharap saudarinya juga selalu baik baik saja.

Ini semua gara gara Xiao. Kalau saja dia tidak ada, semuanya tidak akan menjadi seperti ini. Bahkan Aether sudah muak hanya membayangkan muka wakil ketua OSIS itu di dalam benaknya.

loco [Xiaother]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang