Bab 4

25.5K 1.1K 45
                                    

Makan malam dengan menu masakan lezat yang tersaji di atas meja terasa lengkap dengan kehadiran Hazel bersamanya. Tidak hanya makan malam. Sarapan dan makan siang selalu mereka lewatkan bersama. Kini, hingga hari ke tiga di villa bersama Hazel, Marvin merasakan hidupnya jauh lebih bahagia dari sebelumnya. Kondisi fisiknya pun dirasakannya sangat membaik.

                Dia akan pulih dengan cepat sesuai janjinya waktu itu. Jika pulih dengan cepat, maka dia akan mampu meneruskan proyek resor dan memperbaiki hubungannya dengan Hazel. 

                Malam itu, Hazel hanya makan sedikit. Isterinya itu pun lebih banyak diam. Kontras sekali dengan keinginannya untuk mengajak Hazel mengobrol lebih lama.

                Ketika memasuki kamar setelah membantu Nunung membereskan meja dan dapur, Hazel langsung masuk kamar mandi. Dua puluh menit kemudian, Hazel sudah berganti pakaian. Mengenakan gaun tidur pink pastel ditutupi piyama sutra putih yang dihiasi corak bunga sakura. Rambutnya masih ditutupi handuk kecil berwarna putih. Aroma lily menyebar ke seluruh penjuru kamar. Wangi sekali.

                “Marv. Aku mau ngomongin soal pekerjaanku,” Hazel menyusulnya duduk di atas tempat tidur.

                “Ada apa?” Marvin langsung memfokuskan perhatian.

                “Aku nggak bisa cuti lama-lama,” Hazel tidak menatapnya terlalu lama. Waktu mengobrol itu lebih banyak dihabiskan Hazel menyibukkan diri dengan ponselnya.

                “Resign aja kalo gitu,”

                “Itu juga aku nggak bisa,” Hazel mulai mengajaknya berdebat untuk hal yang dianggapnya tidak perlu diperdebatkan.

                Apa susahnya  keluar dari pekerjaannya? Sementara Marvin sanggup menjanjikan pekerjaan di proyek  Prestige lainnya, andaikan Hazel memang ngotot untuk tetap bekerja.

                “Aku akan ngomong sendiri ke Pak Danar.” Marvin mengambil inisiatif. “Aku punya nomernya,”

                “Kita bisa tinggal di Jakarta selama masa pemulihan kamu, Marv.” Hazel kini menjatuhkan pandangan sepenuhnya padanya. Tangan Marvin yang terjulur ke nakas, tempat ponselnya diletakkan pun ditariknya kembali.

                “Ada apa dengan Lembang? Kamu nggak suka tinggal di sini?” tanya Marvin.

                “Iya.”

                Jadi, persetujuan Hazel waktu itu untuk bersedia menetap di Lembang bersamanya, hanya iming-iming manis belaka? Apa mereka harus membuat negosiasi baru sekarang?

                “Tapi kenapa? Kita bisa memulai hidup baru di sini. Aku nggak akan melarang kamu, kapanpun kamu mau pulang ke Jakarta. Tapi, kebersamaan kita bahkan baru dimulai.” Marvin kembali mengambil ponsel di nakas. Mengabaikan Hazel yang mencoba menghalanginya menelepon Pak Danar.

                “Jangan, Marv.”

                “Kenapa kamu jadi panik begitu?” Marvin hanya sekedar menggertak saja. Lagipula sekarang sudah malam. Dia juga tahu waktu yang tepat untuk menghubungi orang lain untuk urusan pekerjaan.

                “Aku nggak mau resign,” kata Hazel singkat.

                                                                                                ***

Hazel's Wedding Story (Second Impression) SUDAH DIBUKUKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang