Hazel sedang melakukan pertaruhan harga diri ketika menerima ajakan Marvin untuk mengantarnya dan Marvel pulang.
Perasaannya menjadi semakin tidak menentu saat memasuki mobil. Marvin menyalakan mesin, sementara yang bisa dilakukannya hanya diam sambil menahan posisi tubuh Marvel supaya tetap nyaman.
Perjalanan pulang diisi oleh suara dari penyiar radio yang sedang menerima telepon yang masuk. Selain itu, mereka hanya sama-sama terdiam.
Momen yang begitu asing. Begitu langka.
Dan mungkin setelah ini tidak akan ada kesempatan yang sama lagi.
***
"Masuk dulu, Marvin."
Mama yang berdiri di teras memanggil Marvin yang hanya sempat membunyikan klakson.
Hazel memang tidak menawari Marvin untuk masuk. Dan Marvin juga tidak meminta untuk diijinkan mampir sebentar.
"Mama manggil." Hazel membuka pintu di sampingnya dan berusaha memutar posisi badannya menghadap pintu.
"Tunggu. Biar aku yang gendong Marvel."
Hazel tidak mengiyakan tapi menunggu sampai Marvin memutari mobil dan mencondongkan badannya untuk meraih Marvel yang didudukkan Hazel dengan tegak di pangkuannya.
"Hati-hati kepalanya," Hazel memajukan badannya sampai Marvel berhasil dipindahkan ke gendongan Marvin. Clutch yang tergeletak di atas jok diambilnya sebelum menutup pintu dengan sekali gerakan.
"Kasian Marvel sampai ketiduran gitu,"
Mama mengikuti langkah mereka masuk ke dalam rumah.
"Aku bawa ke kamar aja langsung,"
Hazel bertukar pandang sejenak dengan Marvin sebelum mendahului Marvin menuju lantai atas. Sampai di depan kamarnya, Hazel membuka pintu dan ternyata Marvin tetap masuk dan membaringkan Marvel di atas tempat tidur.
"Dibukain aja bajunya biar El nggak kepanasan."
Marvin membuka kancing jas yang dipakai Marvel, berikut kemeja putih, hingga menyisakan kaus dalam berwarna putih, berikut celana panjang hitamnya.
Hazel menyetel AC pada suhu yang sedikit di bawah suhu kamar. Meletakkan remote kembali ke tempatnya lalu mendahului Marvin keluar dari kamar. Marvin tidak langsung menyusul keluar, sebaliknya dia masih duduk sambil memperhatikan Marvel yang sedang tidur.
"Nggak dibuatin susu?"
"Iya, ini baru mau dibuatin," jawab Hazel sebelum benar-benar keluar dari kamar.
Mama ternyata sudah membuatkan susu untuk Marvel dan menyerahkannya kepada Hazel.
"Nih, Mama udah buatin susu." Pandangan mama terarah ke lantai atas. "Marvin masih di kamar?"
"Iya, Ma."
"Pasti dia kangen banget ya sama El?" Mama terlihat senang dengan kelonggaran yang diberikan Hazel sehingga kepada Marvin. Harapannya selama ini, akhirnya terkabul juga.
Hazel hanya mengangguk. Menerima angsuran botol susu dan kembali naik ke atas.
Marvin masih tetap pada posisi duduk yang sama, namun kini sedang mengusap-usap punggung Marvel yang memang punya kebiasaan tidur seperti itu.
"Anak kecil selalu terlihat menggemaskan kalau sedang tidur," kata Marvin tanpa sekalipun mengalihkan pandangan dari Marvel.
Hazel hanya mengiyakan dalam hati. Menurutnya Marvel selalu menggemaskan kapanpun dan apapun yang dilakukannya. Dunianya terasa begitu hidup hanya dengan menatap Marvel dan selalu berada di dekatnya.
"Kapan-kapan aku ingin tidur sama Marvel." Marvin mengelus pipi Marvel dengan jempolnya. "Boleh?"
Marvin berbalik melihatnya, seakan meminta persetujuan.
"Aku bisa datang kapanpun kamu mengijinkan," tambah Marvin.
Hazel belum ingin memberikan akses lebih kepada Marvin. Sebab bagaimanapun, mereka dibatasi oleh kehidupan yang telah berbeda. Marvin sudah menikah dengan Riana. Marvin bukan lagi laki-laki bebas karena posisinya kini adalah seorang suami dan kepala dari keluarganya yang baru. Sekalipun dia adalah ayah Marvel, tetap ada batasan yang harus diterapkan Hazel.
"Aku nggak tau, Marv." Jawaban Hazel begitu mengambang.
"Kamu bisa membuat semacam jadwalku menginap dengan Marvel. Aku bisa jemput dan mengembalikan Marvel sesuai kesepakatan."
Hazel lagi-lagi belum bisa memutuskan.
"Dulu kita tidak punya kesempatan untuk membahas hal ini. Aku pikir, hubungan kita sebagai orangtua Marvel sudah lebih baik, jadi aku hanya menawarkan sesuatu yang memungkinkan aku bisa lebih dekat dengan Marvel." Marvin sejenak berhenti mengusap-usap punggung si kecil yang tertidur nyenyak.
Saat Hazel tidak merespon, Marvin tetap melanjutkan apa yang harus dikatakan.
"Masih banyak yang mau aku bicarakan tentang Marvel. Termasuk apa saja yang menjadi hak finansialnya yang selama ini selalu kamu tolak."
Suara Marvin terdengar serius. Sepertinya Hazel sudah bisa menduga, ke mana arah pembicaraan itu akan bermuara.
***
"Kamu nggak perlu ngelakuin apapun untuk memberikan hak Marvel."
-TBC-
So sorry, ini lanjutannya seuprit banget. Kapan2 dilanjutin lagi :D
KAMU SEDANG MEMBACA
Hazel's Wedding Story (Second Impression) SUDAH DIBUKUKAN
RomanceKetika kenanganku tentangmu hanya rasa benci... Sekuel First Sight sekaligus buku ke dua Hazel's Wedding Story. Book 1 HWS (First Sight) sudah tersedia dalam bentuk cetak. Diterbitkan secara Self Publishing melalui Diandra Creative. Jangan sampai k...